The Ugly Step Sister (2025): Membongkar Warisan Beracun Standar Kecantikan Dongeng Tradisional

Di umur berapa kamu menyaksikan Cinderella di layar TV? Dongeng klasik tentang seorang gadis muda yang diperlakukan buruk oleh ibu tiri dan saudara tirinya setelah sang ayah meninggal. Cinderella digambarkan sebagai sosok protagonis; gadis cantik, lemah lembut, dan penuh penderitaan, sedangkan 2 saudara tirinya digambarkan antagonis; wajah buruk rupa, suara melengking, dan perilaku kejam. Visualisasi tersebut begitu melekat dalam ingatan saya, menanamkan pesan bahwa kecantikan adalah moralitas, sementara jelek sebagai simbol  kejahatan.

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton The Ugly Step Sister (2025). Kisah Cinderella pun bertransformasi menjadi film horor yang secara simbolis memperlihatkan betapa mengerikannya standar kecantikan. Horor dalam film ini, tak memberikan formula jumpscare ala horor kebanyakan. Lebih dari itu, film ini justru memberikan gambaran kengerian bagi perempuan yang tak memenuhi standar kecantikan. Disingkirkan, dicemooh, dan direndahkan adalah konsekuensinya.

Ketika Kecantikan Jadi Siksaan Fisik

Beauty is pain. Tiga kata itu yang terlintas di benak saya ketika melihat Elvira. Terlebih, saat gadis malang itu menjalani serangkaian operasi tanpa anestesi. Dari hidung sampai bulu mata, seratus persen saya yakin penonton akan turut merasakan rasa sakit yang dirasakan Elvira. Teriakannya memekakan telinga sekaligus menyadarkan saya bahwa beauty is pain bukan sekadar metafora. Karena itu adalah kenyataan paling brutal yang ada di dunia.

Tak berhenti sampai situ, usaha Elvira untuk mendapatkan tubuh ideal harus dilakukan dengan menelan telur cacing pita. Sampai akhirnya, cacing itu terus bertumbuh besar hingga memengaruhi kesehatannya. Saya melihat, upaya ini adalah pengaruh dari obsesi masyarakat yang memaksa perempuan ke titik bunuh diri estetis. Pemujaan terhadap kecantikan secara berlebihan adalah luka kolektif perempuan yang sebenar-benarnya, sangat menyiksa.

Baca juga: Tubuh Perempuan sebagai Objek: Kritik atas Industri Budaya dan Media

The Ugly Step Sister mengubah persepsi saya soal saudara tiri dari Cinderella. Saya diperlihatkan bahwa Elvira bukan sosok antagonis, melainkan korban dari sistem yang tidak memberi ruang bagi perempuan dengan tubuh dan wajah “biasa”. Elvira terus hidup dalam bayang-bayang Agnes, sosok perempuan yang ramping, anggun, dan dengan mudahnya mencuri perhatian semua orang. Kebencian itu tak muncul sebab iri dengan sifatnya, tapi karena Agnes selalu mendapat tempat yang Elvira perjuangkan habis-habisan; pada mereka yang memenuhi standar kecantikan versi masyarakat.

Elvira adalah simbol dari banyaknya perempuan yang hidup dalam tekanan standar kecantikan. Mungkin kita tidak hidup di dunia dongeng, tapi tekanan untuk menjadi “cantik” tetap terasa nyata adanya. Kita bisa memilih untuk berhenti menyalahkan tubuh sendiri, berhenti membandingkan diri dengan versi sempurna yang diciptakan layar. 

Standar Kecantikan Perempuan Modern: Filter dan Ilusi Kesempurnaan

Di balik visual mengerikan dan nyaris tak bisa ditonton tanpa “meringis”, The Ugly Step Sister memperlihatkan realitas yang sangat dekat dengan kehidupan perempuan masa kini. Jika dahulu perempuan hanya dituntut tampil seperti putri raja atau bangsawan dalam dongeng dengan standar berkulit cerah, bertubuh mungil, dan berambut panjang, kini perempuan di era modern dibebani dengan tuntutan serupa, namun disamarkan.

Clean girl aesthetic, salah satunya. Tren ini tersebar luas di media sosial dan menuntut perempuan tampil alami, segar, dengan fokus pada kulit sehat nan glowing, serta make up minimalis. Hourglass figure juga membuat perempuan harus memenuhi bentuk tubuh tubuh tertentu, meski tak semua orang terlahir dengan struktur tubuh yang sama.

Kemudian yang paling membingungkan adalah standar kecantikan ini bersifat kontradiktif dan berubah ubah. Di satu sisi, perempuan dituntut tampil cantik secara alami, tetapi juga dituntut untuk menghilangkan rambut tubuh, mengecilkan pori-pori, dan menjaga berat badan ideal. Singkatnya, perempuan harus tampil santai dan effortless,  tetapi tetap harus “sempurna” dalam kacamata mayoritas.

Apakah kamu terbiasa menggunakan filter digital?
Pernahkah kamu merasa ragu mengunggah wajah alamimu?
Atau, pernahkah kamu mengulang selfie karena merasa kurang ‘sempurna’?
 

Mungkin tanpa sadar, perasaan itu telah menjerat kita dalam standar yang tak masuk akal. Bahkan, ia telah tumbuh dalam genggaman kita sendiri. Lewat layar handphone yang setiap hari kita lihat, di aplikasi untuk mempercantik diri, dan dalam algoritma yang menentukan siapa yang pantas mendapat perhatian. Kitalah ‘pelaku’ sekaligus korban dari standar tersebut.

Perlu direnungkan bahwasanya filter digital yang dengan mudah menyulap wajah menjadi simetris, bercahaya, dan tanpa cela bukanlah jalan pintas menuju kesempurnaan. Justru, ia bisa menjadi gerbang menuju ketidakpuasan yang tak berujung: perlahan meretakkan kepercayaan diri, membuat kita meragukan wajah dan nilai diri kita yang sebenarnya. Seperti Elvira yang selalu merasa dirinya belum cukup untuk disebut layak, kita pun bisa terjebak dalam rasa kurang yang terus-menerus. Maka, jangan heran jika hidup kita dipenuhi ketidakpuasan yang tak pernah usai.

Baca juga: Feminine Energy dan Masculine Energy: Narasi Palsu Pemberdayaan yang Memenjarakan Perempuan

Keluar dari Dongeng yang Manipulatif

Pesta dansa, yang jadi momen ikonik dari dongeng Cinderella adalah puncak film ini. Elvira menghadiri pesta dansa dengan penampilan yang sangat memukau dan berhasil mencuri banyak perhatian, tak terkecuali sang pangeran. Namun, saat Agnes datang, sang pangeran lebih memilih Cinderella dibanding dirinya. Wajah dan tubuh Elvira rusak, jari kakinya dipotong oleh ibunya yang sangat tamak. 

Walau banyak menganggap akhir dari film ini menyedihkan, namun saya bahagia dengan munculnya ‘sad ending’. Karena jikalau ditutup dengan Elvira yang akhirnya diterima, dipuji, atau mendapatkan pangeran setelah mengubah seluruh tubuhnya secara ekstrem, maka pesannya bisa salah dipahami. Hal itu akan memperkuat narasi bahwa perempuan hanya akan bahagia jika berhasil memenuhi standar kecantikan dominan. Pesan ini justru menjebak kita pada pola dongeng lama yang ingin dihancurkan oleh film ini.

Bagi saya, The Ugly Step Sister adalah bentuk perlawanan terhadap logika dongeng tradisional. Sudah saatnya kita berhenti mengejar standar yang tidak realistis, yang menyakitkan secara fisik dan mental. Karena kenyataanya hal tersebut tidak akan membuat kita dicintai, sebab sistem itu sendiri sudah tidak adil sejak awal. Ketidaksempurnaan bukanlah kekurangan. Kamu tidak harus memaksakan diri untuk muat dalam “sepatu kaca” siapa pun demi merasa layak dicintai. Tubuhmu, wajahmu, dan dirimu sudah sepatutnya layak untuk dirayakan.

0 comments

Leave a Comment