Mereka Mencintai Perempuan Sederhana dengan Syarat dan Ketentuan

"Aku suka perempuan yang sederhana."

Kalimat itu kerap meluncur dari bibir laki-laki—terdengar manis, bahkan memikat. Seolah cinta adalah hal yang mudah, selama perempuan tahu cara mengecilkan dirinya sendiri. Sederhana, katanya, tapi sederhana yang seperti apa? Apakah yang tidak banyak bicara? Tidak banyak bertanya? Tidak banyak ingin? Tidak banyak memoleskan riasan di wajahnya? Tidak banyak menuntut? 

Dari kontemplasi itu, pertanyaan pun menyeruak di dada saya, sebagai seorang perempuan: Kenapa kami harus terus mengecil agar bisa dicintai? Mengapa cinta yang katanya tulus justru datang bersama syarat-syarat yang perlahan meluruhkan siapa kami sebenarnya? Apakah seperti ini bentuk cinta sesungguhnya?

"Sederhana" telah lama dijadikan standar emas untuk mencintai perempuan—tapi standar itu tak pernah benar-benar netral. Ia bukan hanya tentang hidup apa adanya, melainkan tentang bagaimana perempuan meredam diri dengan semestinya. Perempuan ideal katanya adalah yang irit bicara, tak banyak menuntut, tak berambisi, dan tampil sewajarnya. Cantik, tapi jangan mencolok. Cerdas, tapi jangan mendebat terlalu pedas. Mandiri, tapi jangan tegar seorang diri. Padahal, di balik semua itu, tersembunyi bentuk kontrol yang halus tapi dalam; agar perempuan tetap nyaman untuk dikuasai, agar cinta tetap terasa seperti kuasa, bukan kesetaraan.

Aku, seorang perempuan yang lahir dan tumbuh dari keluarga sederhana—bukan karena pilihan, tapi karena keadaan. Aku tahu rasanya menahan keinginan, tahu caranya bersyukur pada yang sedikit, tahu betul seni bertahan dengan apa yang ada. Tapi sejak kecil aku juga belajar bahwa aku tidak ingin hidup hanya untuk bertahan. Aku ingin lebih. Aku ingin bicara dengan lantang, ingin berpakaian seindah yang aku mau, ingin berjalan ke mana pun tanpa merasa harus minta izin, ingin memoleskan riasan pada wajahku tanpa harus diberikan pujian kosong, "kamu lebih cantik tanpa make up, sayang."

Sayangnya, rasa skeptisku terlanjur tumbuh besar. Sehingga, respons yang kuberikan sekadar, "oh, benarkah?"—Ini semua karena kesederhanaan telah membentukku, tapi tidak membatasiku. Dan, karena pernah hidup dalam kekurangan, aku tahu betapa berharganya saat seseorang mulai berani mengambil ruang.

Make up yang kutempel di wajah, baju warna-warni yang kupilih sendiri, belanja kecil yang kulakukan setelah menabung lama, makan jajanan enak—semua itu bukan soal pamer, bukan pula soal berlebihan, apalagi karena aku boros seperti yang orang bilang. Itu tentang kendali. Tentang mengklaim tubuhku, gayaku, pikiranku. Tapi setiap kali aku tampil sedikit berbeda, sedikit lebih percaya diri, selalu ada suara lirih yang menggertak dari balik kepala, “kamu bukan perempuan baik-baik.” Seolah menjadi diriku sendiri adalah sebuah kesalahan. Seolah, keberanian untuk menjadi kompleks mencederai kesederhanaan yang mereka puja.

Mereka bilang, mereka suka perempuan yang tidak ribet. Tapi cinta macam apa yang hanya ingin tenang, tapi tidak siap menampung badai? Cinta macam apa yang hanya menyukai siluet perempuan, tapi tidak isi kepalanya, tidak sejarah lukanya, tidak ambisi liarnya? Kadang aku bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar siap mencintai perempuan, atau mereka hanya siap mencintai ketenangan yang muncul saat perempuan tahu kapan harus mengalah?

Aku tidak ingin lagi dicintai karena aku sederhana, aku tidak ingin meromantisasi kesederhanaan yang ditawarkan untuk perempuan. Karena sering kali itu hanya berarti aku cukup kecil untuk tidak mengganggu egonya. Aku ingin dicintai ketika aku sedang menjadi yang paling utuh—ketika aku menentang, ketika aku memiliki mimpi yang besar, ketika aku berani menentukan pilihan hidupku. Karena, menjadi perempuan bukan soal membuat diri mudah dicintai, tapi soal berani tetap berdiri meski mengusik kenyamanan orang lain. Karena, kebenaran memang tidak selalu menyenangkan, dan keutuhan diri tak selalu mudah diterima.

Kalau mencintai perempuan harus dimulai dari memotong sayapnya, maka itu bukan cinta—itu adalah penjinakan.

Aku tak lagi mau mengecil demi masuk ke ruang sempit cinta yang dangkal. Perempuan bukan lukisan minimalis yang hanya indah jika warnanya sedikit dan bingkainya tipis. Kami bukan puisi sunyi yang harus dibaca pelan-pelan agar tak membangkitkan rasa takut. Kami bukan tokoh tambahan dalam cerita hidup laki-laki. Kami adalah kisah utama—dengan plot rumit, bab-bab gelap, dan konflik yang tak selalu nyaman untuk ditonton. Tapi begitulah manusia; tak selalu mudah, tak selalu manis, tapi selalu layak dihargai sepenuhnya.

Kami adalah tubuh dan pikiran yang terus tumbuh, berubah, bertanya, bahkan mencari. Kami punya sisi yang tak sederhana—dan kami bangga karenanya. Jika mencintai harus dimulai dari menyederhanakan kami, maka mungkin itu bukan cinta, melainkan upaya diam-diam untuk memadamkan cahaya yang baru kami nyalakan. Cinta sejati tak akan meminta kami menjadi kecil agar terasa cukup. Cinta sejati akan membiarkan kami meluas, mekar, tak tertebak, dan bahagia. Ia tak takut dengan perempuan yang banyak: banyak suara, banyak rasa, banyak tanya, atau banyak menuntut.

Maka hari ini, untuk semua perempuan yang pernah menahan suara, menelan impian, atau melipat sebagian dari dirinya agar tetap dianggap layak dicintai—ketahuilah: kita tidak pernah salah. Dunia saja yang belum cukup besar untuk memeluk kita sepenuhnya. Tapi bukan berarti kita harus mengecil. Hari ini, kita justru belajar berdiri utuh, berjalan penuh, dan mencintai diri sendiri tanpa syarat yang membuat kita terpotong-potong. Karena kami tak lahir untuk menjadi kecil. Kami lahir untuk menjadi nyata. Maka hari ini, untuk seluruh perempuan, kita layak dicintai, oleh dan siapa diri kita sebenarnya. 

0 comments

Leave a Comment