Sejak pertama kali dirilis, serial Netflix Adolescence sukses mengundang perhatian publik karena berhasil merangkum kompleksitas rantai kekerasan berbasis gender di kalangan remaja. Kehadiran serial ini telah memantik diskusi lebih dalam mengenai patriarki, maskulinitas beracun (toxic masculinity), dan misoginisme. Serial ini patut diberikan apresiasi karena idenya datang dari keresahan seorang laki-laki.
Co-author dari Adolescence, Stephen Graham, mengungkapkan inspirasinya muncul setelah ia membaca berita tragis tentang seorang anak laki-laki yang membunuh anak perempuan seusianya. Dalam wawancaranya di The Tonight Show bersama Jimmy Fallon, Graham mengatakan ia merasa sangat sedih setelah membaca berita tersebut dan mulai merenungkan apa yang salah dalam masyarakat kita saat ini, terutama terkait pola asuh, sistem pendidikan, dan pengaruh komunitas terhadap anak-anak.
Adolescence mengajak penonton untuk memahami rantai kekerasan dan pembunuhan melalui perspektif kompleksitas kehidupan tokoh utamanya, Jamie Miller. Jamie adalah seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dan ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap Katie Leonard, teman satu sekolahnya. Konflik berawal dari komentar bullying yang Katie tinggalkan di akun Instagram Jamie. Katie menyebut Jamie “incel”, akronim dari involuntary celibate; laki-laki yang merasa putus asa karena tidak mampu menjalin hubungan romantis dengan perempuan.
Di episode 3, Jamie menceritakan bahwa ia menyukai Katie, namun ia merasa tidak percaya diri karena tidak memenuhi kriteria “laki-laki ideal” menurut standar patriarki. Perasaan rendah diri ini diperparah oleh konstruksi gender yang dibangun media sosial, termasuk komentar negatif dari Katie, sehingga akhirnya memicu Jamie untuk membunuhnya.
Ideologi “Incel” yang Turut Menyuburkan Maskulinitas Beracun dan Misoginisme
Dilansir Historia, istilah “incel” pertama kali diperkenalkan oleh perempuan dengan nama samaran Alana pada 1997. Ia membentuk komunitas “incel” menggunakan perantara situs web sebagai ruang dukungan bagi setiap orang yang merasa kesepian dan tidak dapat menjalin hubungan romantis. Awalnya, komunitas ini dibuat untuk memberikan dukungan emosional bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam kehidupan cinta mereka.
Seiring berjalannya waktu, “incel” justru bertransformasi menjadi sebuah ideologi yang lebih gelap dan misoginis. Komunitas ini kemudian mulai dimasuki orang-orang; didominasi oleh laki-laki, yang mengadopsi pandangan untuk membenci dan menyakiti perempuan. Mereka membangun narasi bahwa perempuan dan gerakan feminisme adalah penyebab utama dari penderitaan emosional yang mereka rasakan.
Saat ini, komunitas ini pun semakin menyebar dari Reddit hingga platform terbuka, seperti media sosial. Diskusi-diskusi mereka sering kali dipenuhi penggunaan istilah-istilah kasar yang merendahkan perempuan. Mereka mengobjektifikasi dan membagi perempuan ke dalam beberapa kategori, seperti foid (female humanoid), roastie, dan cumdumpster. Berbagai istilah ini menggambarkan betapa komunitas “incel” juga menormalisasi seksisme dan memandang perempuan hanya sebatas objek biologis yang tidak berperasaan.
Berangkat dari pandangan misoginis tersebut, dalam berbagai diskusi lainnya, mereka juga mengglorifikasi tindakan kekerasan, termasuk fantasi akan pemerkosaan dan pembunuhan. Beberapa dari mereka bahkan mengaku pernah berkeinginan untuk melakukan kekerasan sebagai bentuk balas dendam terhadap perempuan yang menolak cinta mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana pemahaman misoginis dapat mendorong seseorang mempertimbangkan untuk melakukan sesuatu yang membahayakan nyawa.
Kasus AI (16) di Lamongan, Jawa Timur yang membunuh teman sekelasnya juga menunjukkan bagaimana narasi maskulinitas beracun dan konstruksi patriarkal bisa mengakar sejak usia anak-anak dan remaja. Kisah Jamie dalam Adolescene juga memiliki pola yang serupa: marah, frustrasi, dan kekecewaan akibat kegagalan memenuhi standar laki-laki ideal yang diglorifikasi oleh budaya patriarki.
Jamie, yang merasa ditolak Katie dan tidak mampu mengaktualisasikan citra “Chad” yang diagung-agungkan komunitas incel, akhirnya memilih jalan kekerasan sebagai bentuk kompensasi terhadap identitasnya yang ia rasa telah direndahkan. Sama seperti AI yang merasa ditolak dan kemudian melampiaskan amarahnya dengan cara brutal, keduanya adalah contoh bagaimana sistem patriarki bisa menciptakan kondisi psikologis yang penuh tekanan bagi laki-laki dan berujung pada tindak kriminal.
Mengapa Perempuan Sering Terjebak dalam Ilusi Konstruksi Patriarki?
Adolescence membuat kita menyadari bahwa ideologi “incel” yang merupakan hasil konstruksi patriarki terlihat seperti menguntungkan dominasi Katie di media sosial, sehingga ia merasa leluasa untuk mem-bully Jamie. Meskipun serial ini tidak menggunakan sudut pandang Katie atau korban, tetapi secara tidak langsung kita diajak berpikir mengenai ilusi konstruksi patriarki yang sering kali menjebak perempuan.
Katie diceritakan sebagai seorang anak perempuan yang disukai oleh banyak laki-laki seusianya di sekolahnya. Ketika Jamie bersaksi bahwa foto-foto Katie tanpa busana tersebar luas di grup Snapchat sekolahnya, Katie juga mengirimkan foto-foto tersebut ke beberapa laki-laki. Artinya, Katie merasa dirinya masuk dalam kategori perempuan yang menjadi incaran “incel” dan memiliki dominansi untuk “menyeleksi” laki-laki yang menyukainya.
Hal ini memperlihatkan bagaimana rumitnya konstruksi gender dalam sistem patriarki yang dibuat oleh komunitas “incel”. Karena, baik laki-laki maupun perempuan akan terjebak dalam peran gender yang saling menguatkan sifat-sifat diskriminatif. Walaupun, perempuan jelas menjadi korban utama dari misoginisme, tapi patriarki juga menginginkannya disalahkan sebagai “dalang” utama. Padahal, hal ini semakin merefleksikan bahwa kekerasan berbasis gender dimulai dari proses internalisasi maskulinitas beracun dalam kehidupan laki-laki.
Alih-alih menunjuk siapa yang salah dan siapa yang benar, penting bagi kita untuk lebih memahami konsep maskulinitas beracun agar dapat membongkar akar kekerasan, membangun relasi yang lebih setara, dan memaknai ulang definisi menjadi manusia yang utuh di luar batasan gender tradisional. Dengan empat episode yang mampu menyingkap berbagai lapisan realitas sosial, Adolescence mengajak kita merefleksikan kebutuhan mendesak transformasi budaya dan sosial dalam menanggulangi maskulinitas beracun dan misoginisme di masyarakat.
Adolescence juga menghadirkan sebuah refleksi tajam bahwa solusi tidak semata-mata terletak pada pengawasan atau pembatasan perilaku remaja dalam menggunakan gawai pintar dan media sosial. Perlu adanya ruang dialog yang terbuka dan kolaboratif antara orang tua, guru, pembuat kebijakan, peneliti, dan anak-anak.
Karena, masa anak-anak dan remaja sangat krusial; mereka mulai mengeksplorasi siapa dirinya, bagaimana mereka melihat dunia, dan bagaimana mereka memaknai relasi sosial, termasuk relasi berbasis gender. Tanpa pendampingan yang tepat dan ruang diskusi yang aman, mereka rentan menginternalisasi narasi-narasi beracun dari lingkungan sekitar atau dari media sosial, seperti yang terjadi dalam komunitas “incel”.
Mungkin Indonesia bisa mengadopsi langkah progresif pemerintah Inggris yang merevisi kurikulum pendidikan mereka dengan menambahkan aspek antimisoginis. Hal ini dapat dilakukan untuk memastikan bahwa anak-anak sejak dini dididik dengan peran dan nilai gender yang lebih sehat dan inklusif.
0 comments