Sydney Sweeney dalam Bayang-bayang Gaze yang Membelenggu

Hollywood senang merayakan perempuan—asal cantik, muda, dan pas di kamera. Di balik keglamorannya, industri ini masih condong membiarkan lensa-lensa patriarki bekerja: mengemas tubuh aktris sebagai tontonan, lalu mengecilkan kerja keras mereka menjadi sekadar estetika. Objektifikasi seolah jadi syarat tak tertulis; perempuan boleh muncul, asal bisa memuaskan ekspektasi visual dari sistem patriarki. 

Salah satu aktris yang kerap menjadi korban adalah Sydney Sweeney. Sosoknya terus dinegosiasikan melalui kamera, pasar, hingga ekspektasi audiens. Karenanya, saya jadi bertanya-tanya: Apakah Sydney benar-benar punya kendali atas citra yang ia bangun? Atau jangan-jangan, perempuan sepertinya ditakdirkan untuk terus menjadi pusat gaze, dan bukan pusat narasi?

Ketika Sydney Sweeney Menjadi Korban Male Gaze

Setiap menonton film, pembangunan karakter secara emosional merupakan aspek utama yang memikat sudut pandang saya dalam menilai. Selama pandemi, saya menonton serial Euphoria. Walaupun dalam benak, saya bertanya-tanya motif pembuatan serial yang berisi sikap apatis dan seksualitas yang menurut saya terlalu berlebihan ini.

Namun, karakter Cassie Howard memikat saya. Diperankan Sydney Sweeney, ia menghadirkan kisah hidup yang kompleks, seperti trauma masa kecilnya. Namun, di musim kedua, saya tak lagi memiliki pandangan yang sama. Karena sutradara yang meminta Cassie berbohong pada sahabatnya, Maddie, sekaligus perasaan tak nyaman saat lensa kamera menyorot tubuh Sydney terlalu dekat.

Sumber: IMDB

Laura Mulvey, dalam Visual and Other Pleasures (1989), menyebut bahwa media visual sering kali dibentuk untuk menyenangkan mata laki-laki dan memberi mereka ilusi dominasi dan kepemilikan terhadap tubuh perempuan. Bukan hanya itu, male gaze juga secara aktif mendukung voyeurisme guna membatasi sudut pandang audiens perempuan.

Dalam hal ini, karakter yang dimainkan Sydney lekat akan male gaze. Sutradara Euphoria, Sam Levinson, beberapa kali mendapat kritik karena menyorot tubuh karakter Cassie secara eksplisit–dengan framing yang terasa berlebihan dan tak berpengaruh pada perkembangan cerita. Bahkan Sydney sendiri sempat mengungkap ia harus berdiskusi ulang mengenai adegan nudity yang menurutnya tidak perlu.

Baca Juga: Membongkar Mitos Keperawanan yang Selama Ini Dibentuk Hegemoni Maskulinitas

Tak hanya dari balik kamera, sebagian audiens pun akhirnya ikut terjebak dalam sudut pandang yang sama. Sayangnya, mereka lebih sering melihat Sydney dari tubuhnya dan melekatkan pada hal-hal sensual, alih-alih sebagai aktris yang mencoba menyampaikan pergulatan batin karakter yang ia mainkan. Kondisi yang menunjukkan bahwa struktur male gaze masih mendominasi perspektif penonton, meski diantisipasi dari dalam produksi.

Ketika Sydney Sweeney Mereplikasi Male Gaze

Sydney mendapatkan spotlight-nya sebagai Cassie Howard di Euphoria, baik kita suka atau tidak. Seolah ingin lepas dari citra perempuan yang terus-menerus menjadi objek seksual, Sydney mencoba membangun ulang identitasnya sebagai aktor melalui peran-peran yang lebih berlapis. Ia bermain dalam film horor psikologis Immaculate (2024) dan komedi romansa Anyone But You (2024), memperlihatkan upaya kreatif dalam memilih peran yang memberinya ruang untuk otonomi tubuh dan agensi naratif.

Namun, citra ini seketika goyah karena kolaborasi dengan sebuah brand sabun dengan target pasar laki-laki yang mencampurkan air bekas mandinya dalam produk bernama Sydney’s Bathwater Bliss. Proyek ini memicu pro-kontra: ada yang menganggapnya sebagai strategi pemasaran unik, sementara yang lain yang melihatnya sebagai bentuk objektifikasi diri. 

Promosi produk ‘seperti mandi bersama Sydney’–dikonfirmasi sendiri oleh sang aktris–secara tak langsung memperkuat dominasi pandangan laki-laki dalam kultur populer. Bahkan ketika Sydney berusaha turut serta dalam proyek kolaborasi ini, ia tetap menjadi ‘korban’ untuk memenuhi konsumsi dari fantasi laki-laki.

Publik mempertanyakan mengapa seorang aktris yang sudah menjadi wajah Armani Beauty dan Jimmy Choo masih merasa perlu meluncurkan produk sabun yang secara literal menggunakan air bekas mandinya? Karena langkah ini tak sejalan dengan narasi female gaze yang sebelumnya sempat coba dibangun Sydney melalui peran-peran yang ia pilih.

Melepaskan Diri dari Belenggu “Gaze” yang Menindas 

Baik Cate Blanchett maupun Margot Robbie pernah didefinisikan oleh pandangan patriarkal—penampilan fisik yang dipuja, tetapi kerja keras mereka tidak dianggap serius. Namun, keduanya berhasil menegosiasikan citra tersebut dengan memilih peran-peran kompleks, mengembangkan proyek film sendiri, dan terlibat dalam diskusi kritis tentang gender di dalam dan luar layar. Dengan begitu, mereka membuktikan bahwa daya tarik fisik bisa dikombinasikan dengan kecerdasan naratif dan otonomi artistik untuk menghapus stigma dumb blonde.

Sydney pun sempat menunjukkan arah yang sama dengan memproduseri dua film anyar: Anyone But You dan Immaculate. Namun, narasi female gaze yang coba dibangun terasa belum cukup dalam. Beberapa penonton menganggap bahwa penolakannya terhadap objektifikasi terasa kontradiktif ketika hanya berselang waktu singkat, ia justru merilis produk sabun yang menjual tubuhnya sebagai pengalaman konsumsi harfiah.

Sumber: IMDB

Namun, male gaze bukan sekadar cara kamera menyorot tubuh perempuan secara seksual. Ini adalah sistem yang mengatur sudut pandang, menentukan siapa yang berkuasa dalam memandang dan siapa yang menjadi objek pandangan. Bahkan ketika perempuan memegang kamera atau menulis cerita, gaze ini bisa tetap hadir jika tidak disadari atau dilawan secara kritis.

Baca Juga: Feminine Energy dan Masculine Energy: Narasi Palsu Pemberdayaan yang Memenjarakan Perempuan

Film Anyone But You juga kerap disebut sebagai contoh female gaze, ketika tubuh pemeran utama pria diperlihatkan secara eksplisit, seolah menjadi “objek” bagi mata perempuan. Namun, pertanyaannya, untuk apa? Jika tubuh laki-laki hanya ditampilkan sebagai balasan dari praktik male gaze sebelumnya, tanpa narasi yang membangun kerentanan atau kedalaman emosional, ia hanyalah replikasi penindasan dengan aktor yang berbeda.

Merancang Ulang Gaze yang Membelenggu Kita Selama Ini

Langkah awal untuk membongkar cara pandang yang menindas perempuan seperti Sydney di layar adalah dengan menyadari bahwa gaze–baik male gaze maupun bentuk-bentuk lainnya–adalah bentuk kekuasaan visual yang membentuk persepsi dan relasi antara penonton dan karakter.

Karena itu, penting untuk terus menyuarakan ketidakadilan dalam sistem pandang ini. Kritik terhadap gaze bukan ditujukan untuk mengoreksi pilihan individu aktris atau tokoh tertentu semata. Melainkan, membuka ruang bagi perempuan agar dapat berekspresi secara bebas, tanpa harus tunduk pada syarat visual yang ditentukan industri atau hasrat penonton.

Salah satu upaya sederhana tapi berdampak adalah dengan mengalihkan perhatian dari potongan tubuh aktris yang disorot secara sensasional. Emosi, gestur, suara, dan ekspresi yang membentuk karakter bisa menjadi pusat narasi alternatif. Sebagai penonton, kita perlu bertanya: saat melihat perempuan dalam film, apakah kita tertarik pada tujuan karakternya, atau sekadar terpikat pada estetikanya? Apakah kita benar-benar ingin memahami, atau hanya menatap?

Media sosial pun bisa menjadi ruang penting untuk membalik narasi. Di tengah dominasi visual yang sering mengobjektifikasi, konten digital dapat dimanfaatkan untuk mengangkat suara, pengalaman, dan agensi perempuan. Membagikan kritik, diskusi, atau bahkan sekadar apresiasi yang tidak berlandaskan seksualisasi bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap gaze yang membungkam.

0 comments

Leave a Comment