Film Pangku (2025) menjadi debut pertama Reza Rahadian sebagai sutradara. Pangku berhasil membawa empat penghargaan Piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI) 2025, termasuk Film Cerita Panjang Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik (Reza Rahadian & Felix K. Nesi), Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik (Christine Hakim), dan Penata Artistik Terbaik (Eros Eflin).
Sejak hadir di bioskop, film Pangku menarik perhatian bagi saya sejak awal keluar trailernya, dimana film ini mengangkat fenomena kopi pangku dan realitas perempuan yang terjebak dalam lingkarannya.
Selama hampir 2 jam film ini memukau saya secara visual yang ditampilkan. Bagaimana Reza mencoba menggambarkan kehidupan perempuan pesisir, suasana gerah, dan panasnya pantura. Cerita diawali dengan Sartika yang diperankan oleh Claresta Taufan yang tengah hamil besar pergi bersama truk untuk mencari kerja, namun alih-alih diantarkan justru Sartika ditinggalkan di tengah jalan.
Tanpa arah Sartika justru terus menelusuri jalan dan sampai pada sebuah warung kopi milik Bu Maya yang diperankan oleh Christine Hakim. Sartika yang tidak tahu harus pergi kemana, ditawari oleh Bu Maya untuk tinggal di rumahnya dan diajak bekerja di warung kopi Bu Maya sebagai Kopi Pangku, dimana seorang perempuan tidak hanya menyajikan kopi kepada pelanggan laki-laki, tetapi juga menemani mereka duduk, berbincang, atau bahkan dipangku dengan imbalan uang atau tip tambahan.
Baca juga: Merefleksikan Anime Stars Align (2019): Menjadi Feminin dalam Dunia Laki-Laki
Keterpaksaan Bukan Pilihan Pada Perempuan
Dalam masyarakat yang ditandai oleh ketimpangan ekonomi dan norma patriarkal, pilihan perempuan jarang benar-benar lahir dari kehendak bebas. Pilihan tersebut sering kali merupakan hasil dari kondisi struktural yang membatasi ruang gerak mereka sejak awal.
Perempuan yang bekerja di ruang-ruang “gelap” seperti warung kopi pangku kerap dipersepsikan sebagai individu yang “memilih” pekerjaannya secara sadar dan bebas. Namun kenyataannya, pilihan itu hadir dari keterpaksaan atas himpitan ekonomi dan budaya patriarkal.
Sartika memilih untuk menjadi pelayan kopi pangku di warung Ibu Maya. bertahun-tahun, Sartika melayani kopi pangku dengan dilematis merenggut dirinya. Ia sering merasa bersalah dengan anaknya, Bayu yang semakin lama semakin besar melihat ibunya bekerja menjadi kopi pangku.
Perasaan bersalah Sartika seakan menggambarkan bahwa apa yang dipilihnya bukan karena keinginan bebas melainkan keterpaksaan. Realitas kenyataan yang menekan, perempuan harus menanggung beban ganda: menjadi pencari nafkah sekaligus penjaga moral keluarga. Tidak ada pilihan yang baik, yang ada hanya bekerja dengan penuh stigma atau mati kelaparan.
Baca juga: Minimnya Sensitivitas Gender dalam Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Peliknya Persoalan Administratif yang Maskulin
Film Pangku juga mengungkap realitas ibu tunggal yang berhadapan dengan sistem administratif yang maskulin dan eksklusif. Sartika yang bekerja di warung kopi Pangku Ibu Maya semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dan menyekolahkan Bayu, anaknya.
Namun, ketika uang telah terkumpul dan ia hendak mendaftarkan Bayu ke sekolah, Sartika justru dihadapkan pada persoalan birokrasi: Bayu ditolak karena tidak memiliki Kartu Keluarga dan nama ayah tidak tercantum dalam formulir pendaftaran.
Situasi ini mencerminkan sistem sosial yang eksklusif dan patriarkis, di mana negara dalam latar 1990-an yang dihadirkan film tidak mengakui perempuan kepala keluarga sebagai subjek utuh, karena legitimasi identitas anak masih bergantung pada keberadaan figur laki-laki.
Administrasi kependudukan dan pendidikan dibangun dengan logika patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pusat legitimasi, memaksa perempuan seperti Sartika berhadapan dengan dinding birokrasi dari struktur yang tidak lagi mereka miliki.
Meski saat ini akta kelahiran anak secara hukum dapat diterbitkan hanya dengan mencantumkan nama ibu sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, persoalan akses terhadap dokumen resmi masih terus berlangsung. Hingga hari ini, banyak keluarga di Indonesia belum memiliki dokumen kependudukan yang lengkap, sehingga tetap terhambat mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial.
Baca juga: Dilema Damsel in Distress: Peran Perempuan dalam Video Game
Dari Kekerasan Ekonomi sampai Relasi Pernikahan
Sartika bertemu dengan Hadi, diperankan oleh Fedi Nuril, seorang supir truk yang menjual ikan. Saat itu, Hadi dan temannya, beristirahat di warung kopi Ibu Maya dan kemudian Sartika melayani Hadi dan temannya namun, Hadi justru menghindar dari Sartika dan hanya melihat temannya memangku Sartika.
Perhatian Hadi terhadap Sartika, seakan luluh saat melihat Bayu memanggil Ibu kepada Sartika saat sedang dipangku oleh teman Hadi. Hadi melihat Sartika berbeda dengan perempuan kopi pangku lainnya, Sartika hanya menemani sambil dipangku oleh laki-laki yang mengopi tanpa harus berhubungan seksual seperti lainnya. Rasa penasaran Hadi terhadap Sartika semakin dalam, sehingga dari awal pertemuan itu membuat hubungan Sartika dan Hadi semakin dekat.
Kedekatan hubungan Sartika dan Hadi sampai pada ujung pernikahan, dalam dialog Hadi mengatakan bahwa “saya menginginkan seorang anak, kamu membutuhkan suami” dari kata-kata itu hubungan mereka akhirnya masuk dalam pernikahan.
Kebahagian keluarga kecil dalam masyarakat kelas bawah digambarkan. Meskipun susah, namun mereka bertahan bersama. Namun pada akhirnya, tiba masa Hadi meninggalkan Sartika bahwa ia akan bekerja namun tidak pernah kembali lagi. Yang menyakitkan adalah bahwa sebenarnya Hadi memiliki istri diperankan oleh Happy Salma yang bekerja sebagai buruh migran.
Film Pangku memang sejak awal menarik perhatian saya, namun saya terlalu berekspektasi tinggi. Saya berpikir bahwa film ini bukan hanya menggambarkan realitas perempuan pesisir kelas bawah tetapi seharusnya juga menunjukan bagaimana agensi perempuan tersebut.
Namun, Sepanjang film, saya hanya melihat bagaimana cerita kemiskinan diperlihatkan tanpa ada ruang agensi atau pun cara perlawanan yang dilakukan Sartika Padahal, ketika film ini berusaha menggambarkan realitas perempuan kelas bawah di Pantura, seharusnya ada ruang untuk memperlihatkan bagaimana perempuan seperti Sartika tidak hanya menjadi korban, tetapi juga memiliki cara-cara kecil untuk bertahan dan menegosiasikan hidupnya.
Baca juga: Perkawinan Nyentana di Bali sebagai Ruang Negosiasi dalam Sistem Patriarki
Cerita Sartika: Representasi Tanpa Perlawanan
Pangku tampak berhenti pada level realisme sosial tanpa benar-benar memberi ruang bagi subjek perempuannya untuk bersuara. Sartika digambarkan terus mengalami kekerasan dalam sistem sosial yang rusak dan bahkan pada relasi pernikahan yang sudah dua kali ditinggalkan, namun, dalam film saya menunggu bagaimana ia memaknai atau melawan keadaan itu, bahkan dalam bentuk perlawanan sunyi sekalipun.
Saya melihat, Film Pangku mencoba menghadirkan pengalaman perempuan dan realitas kelas bawah, tetapi sayangnya masih terjebak dalam pola naratif lama sinema Indonesia: perempuan diposisikan terutama sebagai subjek penderitaan, bukan subjek yang memiliki kesadaran kritis atas struktur yang menindasnya.
Adegan pertemuan antara istri Hadi dan Sartika semakin menegaskan problem ini. Alih-alih membuka percakapan tentang tanggung jawab laki-laki, relasi kuasa gender, atau norma sosial yang mentoleransi pengkhianatan laki-laki, film justru mereproduksi pola perempuan vs perempuan.
Seperti apa yang dikatakan oleh Bell Hooks dalam bukunya Feminist Theory: From Margin to Center (1984), adegan ini justru mempertahankan internalized patriarchy, yakni kondisi ketika perempuan melalui ideologi supremasi laki-laki diarahkan untuk saling menyalahkan satu sama lain, sementara kemarahan dialihkan dari pelaku dan sistem patriarki yang memungkinkan kekerasan itu terjadi.
Alih-alih membuka percakapan tentang tanggung jawab laki-laki, relasi kuasa gender, atau norma sosial yang mentoleransi pengkhianatan laki-laki, film justru mereproduksi pola lama perempuan versus perempuan. Konflik emosional dipusatkan pada relasi antar sesama perempuan, seolah-olah akar persoalan perselingkuhan terletak pada keberadaan “perempuan lain”, bukan pada pilihan, privilese, dan impunitas laki-laki.
Film Pangku dan Agensi Perempuan
Alur cerita yang melompat-lompat dengan cepat seakan-akan menjadi film dokumenter kisah Sartika tetapi tidak menangkap agensi Sartika sebagai perempuan. Akhirnya, kita sebagai penonton seolah hanya diajak berempati terhadap nasib perempuan, tetapi tidak diajak untuk memahami mengapa sistem yang ada terus menciptakan penderitaan itu.
Sartika menjadi tubuh yang didera oleh sistem, bukan subjek yang melawannya. Padahal, dalam perfilman yang mengangkat cerita perempuan, seharusnya representasi agensi harus dihadirkan meskipun tidak harus hadir dalam bentuk perlawanan heroik, melainkan bisa juga melalui tindakan kecil yang menunjukkan kesadaran dan negosiasi terhadap situasi penindasan.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa film Pangku tetap diapresiasi sebagai film yang mengangkat realitas perempuan kelas bawah dan fenomena kopi pangku yang jarang dibahas. Film ini berhasil menampilkan lapisan sosial yang kompleks tentang perempuan dalam kemiskinan dan hegemoni patriarki.
0 comments