Penangkapan Aktivis sebagai Pembungkaman Suara Kritis: Ketika Negara Memproduksi Kekerasan Maskulin

Di akhir bulan kemerdekaan, Indonesia kembali diwarnai gelombang demonstrasi menolak berbagai kebijakan otoriter pemerintah. Namun, ruang demokrasi yang seharusnya melindungi hak warga justru dipenuhi kekerasan aparat. Sepuluh nyawa hilang, ribuan jiwa ditangkap dan dikriminalisasi tanpa ada keadilan, sementara aparat yang melakukan kekerasan, diberi penghargaan setinggi-tingginya.

Sekitar 29 Agustus–2 September, empat aktivis ditangkap paksa aparat. Mereka adalah Delpedro Marhaen, Muzaffar, Khariq Anhar, dan Syahdan Husein. Penangkapan ini menegaskan suatu hal, bahwa negara secara konsisten melakukannya dengan cara-cara dan logika maskulin, mengandalkan kekerasan tubuh, kontrol, dan dominasi.

Maskulinitas Beracun dalam Proses Penangkapan

Rabu, 10 September 2025, Tim Perempuan Threads berkesempatan menemui salah satu dari mereka di tahanan. Salah satu dari mereka memberikan keterangan kepada kami bahwa represi yang didapatkan tak berhenti diproses penangkapan, tetapi juga di balik jeruji besi. Brutal, penuh intimidasi, dan tanpa prosedur hukum yang jelas.

Khariq Anhar, mahasiswa Universitas Riau, ditangkap pertama kali pada 29 Agustus di Bandara Soekarno-Hatta. Lima orang tanpa atribut kepolisian menghadangnya, lalu memiting, memukul wajahnya, dan menyeretnya masuk mobil. Dan, tanpa surat tugas resmi, saat sehari sebelumnya Khariq sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Delpedro Marhaen diciduk pada 1 September di kantor Lokataru Foundation. Satpam yang kami temui menuturkan bahwa polisi berpakaian preman mengancamnya dengan kalimat kasar, memaksa masuk tanpa surat panggilan, lalu menyisir ruangan. Mereka juga diancam akan “diangkut” jika menolak. Delpedro yang saat itu bersikap kooperatif akhirnya dibawa ke Polda Metro Jaya. Bersama koleganya, walau tak diperkenankan masuk.

Beberapa jam setelah Delpedro ditahan, 2 September dini hari, Muzaffar ditahan saat sedang menunggu kabar tentang Delpedro. Tanpa surat pemberitahuan, Muzaffar langsung dibawa. Dalam hitungan jam statusnya ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan provokasi dan ujaran kebencian.

Sementara Syahdan Husein, aktivis mahasiswa yang dikenal lewat Gejayan Memanggil, juga ditangkap pada 1 September dini hari. Namun, ini bukan pertama kalinya ia ditangkap. Pada 2022, ia sempat dituduh melakukan provokasi dalam aksi protes.

Sayangnya, penangkapan tersebut betapa negara memakai maskulinitas beracun sebagai senjata. Kekerasan digunakan sebagai bahasa utama yang diperlihatkan dengan nihilnya kompromi, diskusi, dan ruang aman untuk mendiskusikan hukum yang seharusnya hadir bagi para korban. Dan, penangkapan itu hanyalah pintu masuk untuk represi lainnya. 

Baca juga: Prabowo Penuh Omon-Omon: Menagih Janji Presiden Terhadap Pengesahan RUU PPRT

Negara Bak “Bapak yang Berkuasa”

Melalui UU ITE Pasal 28 ayat (2) tentang penghasutan, alat hukum yang masih penuh dengan pasal karet itu digunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi. Hal ini memperlihatkan produk undang-undang yang diciptakan hanya memperkuatkan legitimasi negara sebagai “bapak yang berkuasa”. Sebab, dengan logika kontrol total, mereka merasa berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sipil.

Bentuk patriarki negara juga terjadi dalam penggeledahan apartemen Delpedro. Dengan penuh paksaan meski keluarga menolak, polisi menyita buku, laptop, hingga catatan pribadi. Kantor Lokataru tak luput jadi sasaran, spanduk dan publikasi penelitian turut dibawa. Bahkan kamar kos Khariq digeledah, laptopnya disita, dan akun Instagram @aliansimahasiswapenggugat dengan 90 ribu pengikut dihapus begitu saja. Seolah-olah buku dan catatan diperlakukan sebagai barang bukti kriminal.

Ketakutan negara terhadap buku dan catatan datang tanpa sebab. Fernando Báez dalam A Universal History of the Destruction of Books (2008) mengatakan setiap kekuasaan otoriter memiliki ciri yang sama, yaitu ketakutan pada buku. Karena, ia adalah perpanjangan dari ingatan kolektif manusia yang menciptakan suatu kebudayaan. Karena itu, menghancurkan buku sama saja dengan menghancurkan identitas. Dengan cara ini, negara menciptakan amnesia historis agar warga tak lagi punya pijakan untuk melawan.

Negara menganggap pengetahuan bebas sebagai hal yang berbahaya sehingga harus dikriminalisasi. Karena, mereka tak ingin status quonya sebagai patriarki berwajah negara terguncang. Mereka merasa perlu ‘mengatur anak-anaknya’, menghapus memori yang dianggap berbahaya, dan memastikan hanya ada satu suara yang didengar, yaitu suara sang bapak.

Baca juga: Bendera One Piece dan Simbol Perlawanan Perempuan di Bulan Kemerdekaan

Pemelintiran Restorative Justice untuk Kriminalisasi Aktivis

Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra, menyebut bahwa opsi restorative justice (RJ) bagi Delpedro Marhaen dan aktivis lain tetap terbuka, tapi hanya bisa dijalankan setelah penyidik yakin kasusnya layak dilimpahkan ke pengadilan. Sementara Natalius Pigai, Menteri HAM, memberi sinyal berbeda. Ia menyatakan pemerintah memberi atensi khusus pada masyarakat sipil yang terjerat kasus hukum pasca-unjuk rasa, dan RJ disebutnya sebagai “jalan keluar” yang dipertimbangkan.

Masalahnya, sejak awal aktivis tidak seharusnya dipidana. Aktivitas menyerukan aksi, membuat poster, atau memposting di media sosial adalah bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Jika hukum dipakai secara proporsional, kasus ini seharusnya dihentikan lewat SP3 (karena kebebasan berekspresi dijamin dijamin UUD 1945 Pasal 28 (E), bukan dipelintir ke jalur restoratif. Karenanya, penerapan RJ untuk kasus ini pun bertentangan dengan dasar hukumnya. 

Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 menyebut RJ hanya berlaku untuk tindak pidana ringan dengan ancaman di bawah 5 tahun, adanya korban nyata, serta adanya kesepakatan damai antara pelaku dan korban. Sementara pasal yang menjerat para aktivis adalah Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara. Kriteria vonis ini pun sudah tak memenuhi syarat untuk dilakukan RJ. Bahkan, siapa sebenarnya “korban” dalam kasus ini pun tak jelas.

Hadirnya RJ memperlihatkan upaya negara agar terlihat “adil” dan “berpihak” pada korban. Padahal, jika kasus ini dibawa ke pengadilan, publik bisa melihat dan mengawal proses hukum, termasuk membuktikan jika tuduhan penuh kecacatan. Namun, jika RJ dilakukan, negara justru seperti menghindari pengawasan publik. Ditambah lagi, stigma “residivis politik” akan tetap tercatat, dan aktivis tetap dikontrol oleh negara.

Baca juga: Dari Janda ke Perempuan Kepala Keluarga: Mengubah Bahasa, Menghapus Stigma

Memudarnya (atau Hilang) Demokrasi di Negara Ini

Dua puluh tujuh tahun setelah keruntuhan Orde Baru, pola pembungkaman kembali berulang. Mahasiswa, buruh, jurnalis, seniman, bahkan organisasi masyarakat sipil semakin mudah dikriminalisasi lewat instrumen hukum seperti UU ITE. Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini patut kita terus pertanyakan, ke mana perginya ruang kebebasan itu?

Hal mengkhawatirkan pun menghantui kita. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Indonesia sudah memasuki tahap otokrasi elektoral. Represi tidak lagi hadir lewat kudeta militer atau pembubaran partai politik secara frontal, melainkan melalui jalur yang lebih halus.

Pemilihan umum pun dijalankan hanya semata-mata untuk menunjukkan negara kita masih berdemokrasi. Padahal, pelaksanaannya penuh dengan kecacatan. Oposisi semakin sempit, institusi hukum, parlemen, hingga media arus utama banyak dikendalikan rezim, sehingga kritik sering dilabeli sebagai ancaman stabilitas.

Institusi hukum, parlemen, hingga media arus utama dikuasai oleh rezim. Akibatnya, kritik sering kali dilabeli sebagai ancaman terhadap stabilitas. Aktivis, mahasiswa, dan jurnalis yang bersuara dikriminalisasi. Bahkan mekanisme hukum yang seharusnya netral, dipakai untuk melanggengkan kekuasaan.

Kasus ini memperlihatkan rapuhnya demokrasi substantif di Indonesia. Padahal, demokrasi juga mencakup jaminan terhadap kebebasan berpendapat, berkumpul, dan penghormatan pada hak asasi manusia. Namun, sayangnya kritik kita atas kebijakan yang sembrono justru dianggap sebagai ancaman–bahkan musuh oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan.

Hari ini, Delpedro, Muzaffar, Khariq, dan Syahdan memang ditangkap. Tetapi esok, bisa jadi siapa pun dari kita yang berbicara akan mengalami hal serupa. Dan di balik semua itu, ada perempuan–para ibu, saudara, rekan, bahkan aktivis perempuan–yang menanggung beban represi dengan cara yang tak selalu terlihat.

Jika kita membiarkan represi ini berlangsung, demokrasi pun akan luntur. Keadilan, kesetaraan, dan kebebasan akan menghilang. Tanpa suara kritis, keberanian perempuan dan laki-laki untuk menolak diam, perlahan, demokrasi di negeri ini hanya tinggal jargon semata.

0 comments

Leave a Comment