Revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang baru saja disahkan oleh DPR RI pada 20 Maret 2025 telah memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, terutama dari perempuan dan aktivis hak asasi manusia. Sebagai media edukasi feminis, Perempuan Threads mengecam keras proses legislasi yang dianggap terburu-buru dan tidak melibatkan aspirasi masyarakat. Hal ini karena pengesahan RUU TNI berdampak langsung terhadap kebebasan hidup rakyat sipil, khususnya perempuan.
Perempuan Threads menyoroti bagaimana proses pengesahan UU ini mengabaikan suara rakyat, meskipun berbagai kelompok masyarakat telah menyatakan penolakan. Proses yang tidak partisipatif ini mencerminkan kemunduran dalam demokrasi dan membahayakan prinsip keterbukaan dalam pembuatan kebijakan publik. Perempuan Threads juga mengkritik bagaimana DPR lebih mengutamakan pengesahan RUU TNI dibandingkan RUU lain yang lebih mendesak, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah lama diperjuangkan tetapi masih terkatung-katung. Hal ini menunjukkan ketimpangan dalam prioritas legislatif yang lebih mengakomodasi kepentingan elite dibandingkan kepentingan kelompok rentan.
Pengesahan RUU TNI yang dilakukan secara manipulatif dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR, Puan Maharani, dengan kehadiran pejabat tinggi negara, termasuk Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Revisi ini membawa perubahan signifikan, salah satunya adalah peningkatan jumlah kementerian yang dapat diisi oleh prajurit aktif dari 10 menjadi 16 lembaga. Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran luas akan kembalinya dwifungsi militer, konsep yang sebelumnya telah dihapus di era Reformasi.
Mengulang Orde Baru, Militerisasi dan Keterlibatan Militer dalam Politik
Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang diikuti oleh pembunuhan massal terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya, militer mengambil alih kekuasaan dengan dalih menjaga stabilitas nasional. Proses ini ditandai dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang memberikan legitimasi kepada militer untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan. Dalam periode ini, antara 500 ribu hingga satu juta orang diperkirakan menjadi korban genosida, yang menciptakan trauma mendalam bagi masyarakat dan menandai awal dari dominasi militer dalam politik Indonesia.
Pengesahan UU TNI membawa kembalinya pola-pola otoritarian yang pernah ada selama Orde Baru (1965-1998). Pada era tersebut, Suharto menerapkan kebijakan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), ketika TNI tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara tetapi juga sebagai kekuatan politik yang berperan dalam pengambilan keputusan di berbagai sektor pemerintahan. Saat itu, militer difungsikan sebagai perpanjangan tangan penguasa dengan terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi, termasuk pengambilan keputusan di lembaga legislatif dan eksekutif.
Revisi UU TNI ini memungkinkan lebih dari 2.500 prajurit aktif TNI yang sudah menduduki jabatan sipil, dapat memperluas jumlah tersebut dan memperkuat kembali dominasi militer dalam politik dan pemerintahan, mirip dengan kondisi selama era Orde Baru. Dengan keterlibatan militer yang lebih besar dalam urusan sipil, kekhawatiran bahwa tindakan represif terhadap kritik dan protes masyarakat akan meningkat.
Dampak UU TNI terhadap Kehidupan Rakyat Sipil, termasuk Perempuan
Salah satu kekhawatiran dari pengesahan RUU TNI adalah potensi bersatunya militer dan polisi untuk semakin menekan rakyat sipil. Dengan adanya ketentuan yang memperbolehkan prajurit aktif TNI menduduki jabatan di lembaga sipil, hal ini akan memungkinkan rakyat sipil, terutama perempuan, semakin terpinggirkan dan tidak memiliki kekuatan untuk bersuara serta ruang untuk berserikat.
Sejarah kelam tentang kekerasan negara terhadap perempuan terus terulang. Contoh paling tragis adalah Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh secara brutal oleh pihak militer pada 1993 setelah memperjuangkan hak-hak buruh di pabrik tempatnya bekerja. Kasus Marsinah menjadi simbol bagaimana militerisasi bisa membungkam suara perempuan yang berani melawan ketidakadilan.
Menurut Fifa dari Aliansi Perempuan Indonesia (API), meningkatnya peran militer dalam ranah sipil dapat menghidupkan kembali trauma kolektif perempuan akibat sejarah panjang kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer. Data Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam rentang 2020-2024, terdapat 190 kasus kekerasan terhadap perempuan oleh prajurit TNI. Dengan aturan baru ini, kekerasan berbasis gender yang melibatkan militer dikhawatirkan akan meningkat, sementara mekanisme akuntabilitas masih lemah karena peradilan militer sering kali tidak memberikan keadilan bagi korban.
Militerisasi di Indonesia sering kali berhubungan dengan peningkatan kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam catatan sejarah, selama operasi militer di daerah konflik seperti Aceh dan Papua, banyak perempuan menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual oleh aparat militer. Misalnya, dalam operasi militer di Aceh, setidaknya 117 perempuan mengalami pemerkosaan. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa kehadiran militer dalam situasi konflik seringkali disertai dengan pelanggaran berat terhadap hak-hak perempuan.
Selain itu, pengesahan RUU TNI juga mengancam ruang bagi partisipasi politik perempuan. Ketika militer menjadi kekuatan dominan, suara dan aspirasi perempuan sering kali diabaikan. Sejarah mencatat bahwa di bawah Orde Baru, organisasi-organisasi perempuan progresif seperti Gerwani dibubarkan dan digantikan oleh organisasi yang lebih mendukung agenda negara. Hal ini menciptakan lingkungan yang semakin memblokade akses perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh ke ranah publik dan privat mereka.
Pengesahan RUU TNI 2025 merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan hak asasi manusia, terutama perempuan. Proses legislasi yang tidak transparan dan substansi revisi yang membuka jalan bagi meningkatnya peran militer dalam ranah sipil harus tetap dikritisi dan dilawan. Maka dari itu, kita harus terus mengawasi kebijakan ini, memperkuat gerakan publik, dan memastikan bahwa suara perempuan serta kelompok marginal lainnya tidak diabaikan dalam proses demokrasi di Indonesia.
0 comments