Merefleksikan Anime Stars Align (2019): Menjadi Feminin dalam Dunia Laki-Laki
Dari koridor sekolah, terdengar teriakan beberapa anak laki-laki,
“Hati-hati, jangan tersentuh dia! Nanti ketularan jadi banci!”
Sambil tertawa, mereka saling mendorong tubuh temannya ke arah anak laki-laki yang sedang istirahat. Yang terdorong paling dekat, akan menjerit dan lari terbirit-birit seperti baru menyentuh hal paling hina di dunia. Di usia saya yang bahkan belum 15 tahun, saya melihat peristiwa itu.
Aneh, tapi saya merasa familier. Kini, meski waktu terus berjalan, pemandangan serupa tak pernah benar-benar hilang.
Pernah saya mengobrol dengan seorang sopir angkutan umum. Ia bercerita tentang masa lalunya sebagai pegawai salon kecantikan–betapa terampilnya ia menata rambut, bahkan merias wajah. Namun, getir menyeruak saat mengingat dirinya yang dulu–banci, katanya. Karena kini, ia telah bertobat dan kembali menjadi ‘laki-laki’, sesuai kodrat Tuhan.
Saya heran, mengapa laki-laki yang mengekspresikan sisi femininnya akan menjadi bahan perundungan laki-laki–maupun perempuan–yang masih memegang stereotip gender umum di masyarakat. Mereka dicap berlaku seperti perempuan; tidak ‘jantan’, lemah, dan emosional. Bahkan, memiliki sahabat laki-laki pun membuat mereka dianggap homoseksual.
Familier, tapi saya merasa aneh. Mengapa laki-laki yang memiliki sifat ‘seperti perempuan’ sering kali direndahkan dan dihina? Apakah menjadi feminin otomatis menjatuhkan martabat seorang laki-laki?
Pengalaman dan pertanyaan itu pun saya refleksikan melalui sosok Yuta Asuka dalam anime Stars Align (2019).
Anak Laki-Laki di Bawah Bayang Maskulinitas
Tidak banyak anime yang secara terbuka membahas konflik identitas gender pada remaja, khususnya di tengah masyarakat Jepang yang patriarkal. Namun, berbeda dengan Stars Align yang menceritakan tim soft tennis di sebuah sekolah yang berusaha bangkit dari kekalahan demi kekalahan. Di balik kisah itu, anime ini justru menyoroti kehidupan pribadi para anggotanya, seperti Katsuragi Maki dan Shinjou Toma.
Di antara semua itu, saya terpikat oleh Yuta Asuka. Meski bukan protagonis, laki-laki yang digambarkan pendiam ini memiliki kompleksitas terkait identitas gendernya. Sebagai manajer klub, Yuta dikenal sebagai sosok yang lembut, penuh perhatian dan terampil mengurus hal domestik.
Hidup berdampingan dengan kedua kakak perempuan juga membuat Yuta tumbuh akrab dengan dunia kecantikan dan pakaian. Namun, sifat dan penampilannya yang lebih feminin dibanding teman-teman laki-lakinya justru membuatnya dirundung dan dianggap “menyimpang”.
Baca Juga: Apakah Kita Sudah Layak Memiliki Anak? Ulasan Takopi’s Original Sin (2025)
Menyadari dirinya ‘berbeda’, Yuta lantas mempertanyakan identitasnya. Ia tak merasa sepenuhnya cocok dengan kategori 'laki-laki', tetapi juga tak ingin dianggap 'perempuan'.
Ditambah, ia membaca buku bertopik queer yang membuatnya mengira bahwa dirinya seorang nonbiner (identitas gender yang tidak termasuk dalam kelompok laki-laki maupun perempuan). Namun, Yuta merasa identitas tersebut tidak pantas digunakan karena masyarakat menuntut kepastian biner dalam segala hal.
Ketakutan Yuta terhadap identitas gendernya membesar ketika sang ibu menekankan bahwa ia adalah anak laki-laki dan tidak mengharapkan anak perempuan selain kedua kakaknya. Yuta yang membawa pakaian perempuan dan wig membuat sang ibu gelisah bahwa ia akan bersikap seperti perempuan.
Bahkan, perempuan itu menyalahkan dirinya sendiri dengan berkata, “Ibu pikir Ibu sudah membesarkanmu dengan benar," seolah sifat feminin Yuta sebuah kesalahan pola asuh dalam rumah tangga.
Melihat itu, saya merasa iba pada Yuta. Sebab, ia telah terjebak. Terjebak dalam tubuh laki-laki, ideologi maskulinitas, dan ekspektasi keluarga serta masyarakat yang menolak identitasnya di luar kategori ‘laki-laki’.
Baca juga: Lovely Man (2011): Ketika Tubuh, Cinta, dan Identitas Tak Pernah Tunggal
Terseret dalam Konstruksi Gender
Yuta mengingatkan saya pada penyataan tenar Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949), “One is not born, but rather becomes, a woman.”. Meski ia berkonteks perempuan, saya merasa ia juga bisa berlaku untuk laki-laki yang juga sama-sama dibentuk, “One is not born, but rather becomes, a man.”
Menjadi laki-laki, bagi Yuta, bukan hanya perkara biologis, tapi ia juga harus memenuhi ekspektasi sosial dan budaya tentang bagaimana laki-laki seharusnya berperilaku. Padahal, laki-laki tidak diharuskan menjadi maskulin.
Menurut Mansour Fakih dalam Analisis Gender & Transformasi Sosial (1996) sifat-sifat maskulin dan feminin yang dikonstruksikan sebenarnya dapat saling dipertukarkan. Laki-laki bisa lembut dan penuh empati, sementara perempuan bisa rasional dan tegas.
Bagi masyarakat patriarki, sifat yang berhubungan dengan perempuan dianggap lemah. Posisinya pun lebih rendah daripada laki-laki, sehingga menunjukkan sikap feminin berarti menurunkan ‘derajat’nya. Dan, itulah yang menimpa Yuta–dan mungkin anak laki-laki lainnya. Mereka terkekang dalam kerangka maskulinitas yang ideal, hingga memunculkan perilaku hipermaskulinitas.
Sayangnya, stereotip dan pelabelan gender ini kebanyakan sudah diperkenalkan melalui pola asuh dan pendidikan sejak dini. Baik secara langsung dengan melalui mainan dan pakaian, maupun tidak langsung dari interaksi serta peran orang tua dalam rumah tangga (Shindura & Kumar, 2025). Pemahaman stereotip gender yang keliru ini kemudian berpengaruh terhadap cara pandang anak.
Baca Juga: Mengupas Spektrum Maskulinitas dalam Sore: Istri Dari Masa Depan (2025)
Akhirnya, timbul perasaan bersalah ketika ia berperilaku tak sesuai ekspektasi keluarga yang terkukung dalam kerangka heteronormativitas. Dan, begitulah yang dirasakan Yuta. Padahal identitas gender adalah pengalaman hidup yang dirasakan dari dalam tubuh.
Saat Feminin Dianggap Salah dalam Dunia Maskulin
Hingga berakhirnya anime, keputusan Yuta mengenai identitasnya tidak dijelaskan secara gamblang. Namun, Maki–sang tokoh utama–memberikan keyakinan bahwa Yuta tidak harus menghadapi keresahannya sendirian.
Ada orang yang bersedia memahami dan menerima Yuta, sama seperti Maki yang berusaha memahami teman ibunya yang seorang transgender. Dukungan itulah yang perlahan memberi Yuta kekuatan untuk tetap menjadi dirinya sendiri.
Melihat perjalanan Yuta, anak-anak laki-laki yang dulu dirundung, hingga sopir yang saya temui, saya menyadari betapa posisi ‘menjadi perempuan’ sering membuat seseorang merasa kecil dan rendah–bahkan bagi laki-laki.
Kemampuan dan bakat mereka kerap diabaikan, sementara sifat feminin yang mereka tunjukkan seolah menurunkan nilai mereka. Sungguh, saya merasa sedih ketika menyadari bahwa mereka bisa melihat diri sendiri lebih rendah dibandingkan laki-laki lainnya, dan bahkan merasa berdosa.
Seharusnya, tidak ada laki-laki yang merasa malu atau kecil hanya karena mengekspresikan sisi femininnya. Tidak seharusnya mereka dikucilkan atau direndahkan karena bersikap ‘seperti perempuan’.
Lagipula, sifat perempuan mana yang pantas untuk direndahkan?
Editor: Alifia Putri Yudanti


Social Media Kami