Maskulinitas Gereja Katolik: Simbol, Kuasa, dan Representasi Tuhan
Pagi itu di gereja, seluruh perempuan seperti ditampar.
Romo yang berkhotbah adalah laki-laki berusia enam puluhan, besar kemungkinan tidak menikah selama hidupnya, sebagai salah satu syarat utama seorang pastor Katolik.
Pria itu berkata, “Sepasang suami istri adalah satu dan tak boleh tercerai berai, maka mereka harus saling memahami. Bila istri cerewet, suami harus mendengarkan. Dan bila suami memukul, istri harus menerima, lapang dada.”
Saat mendengarnya, saya menoleh ke perempuan lainnya. Tak ada reaksi. Mereka menganggapnya seperti angin lewat.
Saya bertanya-tanya, kenapa laki-laki yang tak mempunyai pasangan berpikir bahwa seorang istri boleh dipukul oleh suaminya?
Ketika berjalan keluar dari gedung gereja, saya mendengar seorang anak bertanya ke Ibunya, “Apakah Ibu menerima dengan lapang dada ketika dipukul Bapak?”
Ibu itu terdiam, tak bisa menjawab. Saya paham diamnya, dan juga perempuan lainnya di gereja yang sama-sama tahu betapa biadabnya ucapan Sang Romo.
Kami, para umat awam, percaya bahwa Romo (dan/atau pemimpin agama lainnya) adalah perpanjangan mulut dari Tuhan. Tidak ada yang cukup berani untuk menyanggah, dan bahkan merasa berdosa bila tak setuju dengan perkataan mereka.
Baca Juga: Mengurai Kata “Malam”: Mitos Perempuan dalam Gelap yang Sering Kali Membelenggu Ruang Gerak
Tapi saya bertanya-tanya, apakah Tuhan juga akan mengatakan hal yang sama?
Ataukah ini cermin dari maskulinitas tatanan gereja karena minimnya keterlibatan perempuan dalam hierarki Gereja Katolik Roma?
Jalan Pengabdian Terbagi Dua: Imam dan Biarawati
Dalam tahapan menjadi “pelayan gereja”, laki-laki dan perempuan menjalani pembinaan dan pendidikan yang berbeda, meski tujuannya sama, yaitu mengabdikan diri sepenuhnya pada Tuhan. Misalnya, pendidikan kitab suci dan teologi yang bisa diakses laki-laki (diakon) dan perempuan (biarawati).
Namun, sangat disayangkan akhir dari tahapan tersebut berbeda. Laki-laki (diakon) diperbolehkan melanjutkan tahap penahbisan menjadi seorang Imam yang dapat memimpin ekaristi dan memberikan sakramen. Sementara perempuan, tetap berkarya dalam ordo (kelompok biarawan/biarawati) yang bertugas menjalankan misi, seperti pendidik, perawat, atau peran pendukung gereja lainnya.
Bahkan ketika perempuan memiliki kesempatan untuk memimpin dalam yayasan atau ordo, serta terlibat dalam misi global, pendidikan, dan pelayanan sosial gereja, kerja-kerja yang ia kerjakan masih lekat akan ‘tugas perempuan’ yang bersifat praktis. Sementara ruang strategis, seperti pengambilan keputusan pastoral tertinggi, tetap berada dalam genggam laki-laki.
Namun, kenapa gereja tetap didominasi dengan kepemimpinan laki-laki?
Ketika Tradisi Dijaga, Kesetaraan Hilang
Gereja menganggap pemilihan laki-laki sebagai Imam merupakan tradisi konstan dan praktik kerasulan yang tidak dapat diubah. Katanya, ini dilakukan demi menjaga kesetiaan mereka terhadap ajaran Tuhan. Sosok Imam pemimpin–terutama dalam ekaristi–dikatakan sebagai perwujudan dari Yesus, yang merupakan seorang laki-laki. Hal ini juga diperkuat dengan fakta bahwa Yesus hanya memilih laki-laki sebagai kedua belas rasul.
Menurut Haskins (2003) gereja kemudian menginterpretasikan keyakinan ini bahwa hanya sosok laki-laki yang mampu mewakili secara “simbolis” kehadiran Yesus di hadapan umat dan “membatasi” perempuan untuk menjadi seorang Imam. Sementara perempuan, dalam Alkitab (khususnya di zaman Israel kuno) hanya memiliki peran domestik yang sebagian besar dikecualikan dalam kepemimpinan religius.
Baca Juga: Luka dalam Iman: Religious Trauma dan Terjal Perjalanan Perempuan dalam Mengenal Tuhannya
Padahal, seharusnya jenis kelamin dari Yesus, maupun kedua belas rasul yang dipilih olehnya, bukan alasan bagi gereja untuk membatasi peran kepemimpinan perempuan dalam gereja.
Hal ini bertentangan dengan Artikel 29 dalam Gaudium et Spes (2021) yang merupakan dokumen konstitusi pastoral terkait peran Gereja dalam dunia dewasa. Bahwa, terdapat tentangan yang keras terkait diskriminasi jenis kelamin dan bagaimana gereja menjunjung kesetaraan hak perempuan dalam bidang sosial, ekonomi, dan agama, serta meraih kebudayaan yang sama seperti laki-laki. Prinsip ini menegaskan bahwa cinta kasih dan ajaran Yesus tidak seharusnya dibatasi pada peran gender tertentu, sebab perempuan dengan panggilan yang sama pun mampu mewujudkan pelayanan dan menghadirkan kasih Tuhan secara utuh.
Lelakikah Tuhan?
Seperti perempuan yang mudah menerima tatanan patriarki di rumah, umat Katolik juga terbiasa dengan struktur dominasi laki-laki dalam kepemimpinan gereja. Sebab, institusi agama juga menjadi aktor penting dalam melegitimasi dan mereproduksi budaya patriarki.
Secara tak sadar, kita mengalami pemiskinan epistemik karena tak dibentuk untuk jadi umat yang kritis. Mempertanyakan sosok Tuhan yang kerap disuarakan oleh laki-laki akan dianggap sebagai pembangkang. Atau kenapa Tuhan selalu disebut dengan “He”, “King”, dan “Father” disebut mencederai sosok-Nya. Seolah kasih ilahi hanya bisa dimaknai melalui sosok laki-laki padahal hakikat-Nya melampaui batasan gender.
Sebut saja sifat-sifat Tuhan di kitab suci universal yang tak mendikotomi peran perempuan maupun laki-laki, seperti “Maha Kuasa”, “Maha Pengampun”, “Penolong dan Pengasih”, “Adil dan Setia”, serta “Maha Tahu dan Bijaksana”.
Baca juga: Luka dalam Iman: Religious Trauma dan Terjal Perjalanan Perempuan dalam Mengenal Tuhannya
Pendapat Mary Daly dalam Beyond God the Father (1973) membantu saya dalam membaca situasi ini. Ia menulis, “If God is male then the male is God” yang berarti mustahil bagi seorang feminis untuk beriman kepada Tuhan yang dikonsepsikan secara maskulin. Karena, ideologi patriarki justru menciptakan kebalikan dari Trinitas Kudus yang seharusnya memberi kasih dan kehidupan. Sementara, dalam kerangka patriarki, ia berwujud kekuasaan, dominasi, dan kehancuran yang melahirkan kekerasan seksual, pembunuhan, dan perang.
Ia mengkritik umat beragama yang menggambarkan Tuhan secara eksklusif sebagai laki-laki dengan sifat-sifat maskulin yang destruktif. Dalam masyarakat patriarkal, citra ini kemudian berkembang menjadi justifikasi bagi kekerasan, dominasi, dan perang—hal-hal yang justru bertentangan dengan esensi dan tujuan sejati dari agama itu sendiri. Seperti ucapan Romo yang melegitimasi pemukulan terhadap istri.
Namun, saya memahami bahwa Tuhan tak mungkin mengajarkan seperti itu. Tafsir yang dipelintir, perspektif pemimpin gereja yang keliru, lalu direproduksi oleh umat yang tak kritis–semua ini adalah upaya hegemoni untuk merendahkan perempuan. Seakan-akan ia dieksklusi dari umat yang harus dilindungi, dan justru harus ditundukkan.
Tuhan yang Saya Yakini
Walaupun, dapat dipahami bahwa penggunaan kata ganti laki-laki dan citra maskulin lahir dari konteks sejarah dan budaya patriarki zaman Alkitab. Namun, konteks itu seharusnya tidak menjadi alasan untuk terus meneguhkan struktur gereja yang maskulin hingga hari ini. Meskipun Yesus dan kedua belas rasulnya adalah laki-laki, hal itu tidak berarti semua aspek dalam Gereja Katolik harus dipusatkan pada jenis kelamin mereka.
Baca Juga: Kasus Bunuh Diri Ibu dan Anak di Bandung: Wajah Femisida Struktural
Karena itu, gerakan feminisme yang juga telah berakar ratusan tahun lamanya menghadirkan refleksi baru terhadap relasi kuasa dan representasi dalam iman. Dari sanalah lahir para feminist biblical scholars yang menafsirkan ulang Alkitab dari sudut pandang perempuan. Begitu juga para feminist theologians yang lantang mengkritisi struktur hierarkis Gereja Katolik yang cenderung male-centric, serta kecenderungan menggambarkan Tuhan semata melalui simbol dan suara maskulin.
Kritik mereka menyoroti bagaimana gereja menafsirkan dan menyampaikan ajaran agama dalam lensa patriarki. Sebab, struktur gereja yang maskulin ini sangat memengaruhi kebijakan, interpretasi ajaran, dan legitimasi peran perempuan dalam gereja.
Dan meski kritik feminis menyoroti praktik patriarki dalam gereja, satu hal yang saya tekankan: gambaran Tuhan sejati tidak terikat oleh simbol gender dan peran yang dibuat manusia. Tuhan melampaui keduanya, hadir bagi setiap umat tanpa memandang laki-laki atau perempuan.
Karena saya yakin, Tuhan tak pernah lelaki, manusialah yang menjadikannya demikian.
Karena Tuhan adalah penghibur seperti Ibu yang menghibur anaknya (Yes 66:13), pelindung seperti rajawali yang melindungi anak-anaknya (Ul 32:11-12), dan penuh perhatian seperti Ibu yang tidak pernah melupakan bayi dalam kandungannya (Yes 49:15).
Saya yakin, Tuhan bukan lelaki.
Sebab bila Ia hadir di bumi, Tuhan tak akan membiarkan perempuan mendapat kekerasan dari pasangan sehidup sematinya.
Social Media Kami