Luka dalam Iman: Religious Trauma dan Terjal Perjalanan Perempuan dalam Mengenal Tuhannya
Perempuan sering kali menjadi sasaran penghakiman atas pilihan hidupnya soal agama, religi, atau spiritualitasnya. Mulai dari cara mengenakan kerudung, menjalankan ibadah, hingga keputusan-keputusan personalnya yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dominan. Dan, tanpa sadar bertransformasi menjadi religious trauma atau kekerasan spiritual.
Hal ini mengingatkan saya pada Marshanda dalam salah satu video reels Instagram-nya, ia menjelaskan bahwa agama dan spiritualitas adalah dua hal yang berbeda. Bahwa, orang yang spiritual tidak memiliki kebutuhan untuk membujuk, mengajak, atau bahkan memaksa orang lain untuk berpikir atau berkeyakinan seperti apa yang mereka jalani.
Pada kasus lain, misalnya, Gita Savitri Devi yang sejak lama dihujat karena pilihannya untuk childfree dianggap menyalahi “kodrat” perempuan. Dalam Instagram Stories-nya, Gita pernah menyatakan bahwa ujaran kebencian yang ia terima sempat membuatnya berpikir untuk mengakhiri hidup.
Apa Itu Religious Trauma?
Michelle Panchuk dalam Religious Trauma (2024) menjelaskan religious trauma terjadi karena pengalaman buruk yang sangat terkait dengan struktur keagamaan atau praktik religius seseorang. Trauma ini mengganggu hubungan seseorang dengan keyakinannya, terutama jika pengalaman tersebut melibatkan figur otoritatif agama, seperti imam atau pendeta, serta orang tua atau keluarga yang sangat religius.
Ia juga bisa dibenarkan lewat tafsir agama atau muncul dalam praktik spiritual yang dijalankan oleh komunitas keagamaan tertentu, seperti ritual atau pengalaman mistik yang berujung pada trauma. Contohnya, kriminalisasi terhadap korban kekerasan dengan menyalahkannya, kemudian dipaksa menjalani ruqyah sebagai bentuk tobat.
Mengutip Dehan dan Levi (2009), religious trauma mencakup tindakan yang merusak kesejahteraan spiritual seseorang, seperti mengkritik, membatasi, atau memaksanya untuk bertentangan dengan hati nurani spiritualnya, sehingga menimbulkan rasa bersalah atau rendah diri. Sementara Ward (2011) mengatakan kekerasan spiritual juga bisa terjadi saat otoritas agama menyalahgunakan kekuasaannya.
Panchuk menjelaskan kekerasan yang kerap menimpa korban dengan pelaku tokoh agama. Pengalaman ini bisa dimaknai sebagai “hukuman Tuhan”, terutama jika korban tidak merasa pernah melakukan kesalahan. Doa yang sebelumnya menjadi sumber kekuatan bisa berubah menjadi pemicu rasa malu dan ingatan buruk, hingga seseorang merasa ditinggalkan atau dikhianati oleh Tuhan.
Kompleksitas Perjalanan Spiritualitas Perempuan
Saya percaya bahwa perjalanan mengenal Tuhan adalah perjalanan yang sangat personal dan tidak bisa dinilai hanya dari tampilan luar atau rutinitas ibadah semata. Perjalanan ini sering kali dipenuhi rasa ragu dan marah, terutama jika seseorang pernah mengalami kekerasan atas nama agama.
Karena sejak kecil, kita hanya diajarkan melakukan praktik beragama. Tapi luput diajarkan untuk menghadirkan Tuhan dalam setiap langkah di hidup kita.
Saya merefleksikan kembali saat saya mengalami fase-fase tersebut. Ada masa saya merasa sangat marah kepada Tuhan, merasa tidak adil atas hal-hal yang terjadi dalam hidup, termasuk pertemuan saya dengan orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung menanamkan luka spiritual.
Namun, dalam momen-momen itulah saya justru mulai benar-benar merasakan keberadaan Tuhan. Saya melihat Tuhan bukan lagi sebagai sosok penghukum, tapi sebagai entitas yang menyaksikan dan memahami luka saya.
Menurut saya, semakin dalam seseorang mengenal Tuhan, seharusnya membuatnya semakin rendah hati. Sayangnya, dalam realitas sehari-hari, tidak sedikit orang yang justru merasa paling benar setelah “merasa dekat”* dengan Tuhan. Saya mengakui bahwa dulu saya juga pernah berada di fase tersebut, ketika tergabung dalam komunitas religius di kampus; mengenakan kerudung panjang, dan tanpa sadar menjadi orang yang mudah menghakimi teman-teman yang berpacaran, tidak rutin salat, atau melepas kerudungnya.
Namun, saya berefleksi kembali hadirnya komunitas seperti itu kerap membentuk keimanan yang dibangun atas dasar rasa takut; takut dosa, takut neraka, dan takut dikucilkan. Tapi seiring berjalannya waktu, saya mulai mempertanyakan, apakah seharusnya mengenal Tuhan membuat saya hidup dalam ketakutan? Bukankah seharusnya spiritualitas memberikan ketenangan, bukan rasa bersalah terus-menerus?
Siti Hajar dan Tafsir Feminis atas Spiritualitas
Kisah Siti Hajar dalam kepercayaan Islam menyimpan pelajaran yang sangat relevan saat membicarakan spiritualitas perempuan. Dalam narasi yang sering kita dengar, Hajar bolak-balik antara bukit Safa dan Marwah mencari air untuk anaknya, Ismail, hingga akhirnya Tuhan memberikan mukjizat berupa air zam-zam. Namun, di balik narasi iman dan kepasrahan ini, ada kisah tentang penderitaan yang sering luput dari pembacaan umum.
Jerusha Lamptey, seorang teolog, dalam Divine Words, Female Voices (2018) mendeskripsikan Hajar sebagai seorang perempuan yang diperbudak, dijadikan alat reproduksi, lalu ditinggalkan di padang pasir bersama bayinya. Ia menyatakan bahwa penderitaan Hajar tidak bisa dihapus hanya karena ia menjadi tokoh penting dalam sejarah Islam. Justru, kisah Hajar adalah kisah tentang perempuan penyintas kekerasan spiritual.
Sementara Amina Wadud, dalam Inside the Gender Jihad (2006) menafsirkan ulang kisah Hajar sebagai kisah spiritualitas dari titik yang paling rapuh. Menurut Wadud, iman Hajar tidak membebaskan dirinya dari penderitaan, tapi justru terbentuk dari luka-luka tersebut. Spiritualitas di sini bukan tampak sebagai sesuatu yang nihil dari rasa sakit, tetapi sesuatu yang tumbuh dari keteguhan dan pengalaman spiritualitas di batin terdalam.
Wadud juga mengkritik bagaimana sistem keagamaan patriarkal sering kali gagal melihat sisi emosional dan spiritual perempuan. Meskipun Wadud tidak menyebutkan secara eksplisit religious trauma dalam kisah Hajar, saya melihat penderitaan Hajar yang tidak dibahas secara spiritual dalam tafsir agama adalah bentuk dari religious trauma itu sendiri, yaitu penghapusan atas pengalaman perempuan dalam narasi-narasi keimanan.
Seperti halnya tafsir agama yang selama ini lebih banyak ditulis oleh laki-laki dalam struktur patriarkal, cara kita melihat dan menilai spiritualitas pun tidak lepas dari bias. Karena, spiritualitas sering kali diukur dengan ketaatan dominan, bukan melalui kontemplasi personal. Akibatnya, perempuan yang sedang dalam perjalanan spiritualitas dengan cara berbeda akan dianggap menyimpang, kurang iman, atau bahkan dicap “sesat”.
Religious trauma adalah bukti nyata bahwa tafsir agama yang patriarkal telah menyakiti banyak orang, terutama perempuan. Karena penghakiman justru membuat seseorang merasa terasing dan menjauh dari ajaran agama yang sejatinya mengajarkan keadilan dan belas kasih.
Maka, penting bagi kita untuk membuka ruang diskusi yang jujur tentang pengalaman spiritual yang tak selalu sesuai dengan standar arustama. Sebab, jika kapasitas berpikir manusia terbatas, lalu siapa kita yang merasa paling berhak menghakimi sesama hanya karena cara mereka menjalani hubungan dengan Tuhannya berbeda?
Tags:

Social Media Kami