“Aku Nujood, Usia 10 Tahun, dan Seorang Janda”: Membingkai Pengalaman Korban Perkawinan Anak dan Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga
“Aku Nujood, Usia 10 Tahun, dan Seorang Janda”: Membingkai Pengalaman Korban Perkawinan Anak dan Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga
2008 silam, dunia literasi dikejutkan oleh kisah seorang anak perempuan berusia 10 tahun asal Yaman, Nujood Ali, yang mengajukan gugatan cerai dari suaminya. Dalam usia yang seharusnya ia habiskan untuk bermain dan belajar, Nujood justru harus berbondong-bondong datang seorang diri ke pengadilan agama untuk membebaskan dirinya dari pernikahan yang dipaksa ayahnya. Kisah ini ia tuangkan dalam memoir berjudul “I am Nujood, Age 10 and Divorced”, yang menggambarkan realitas perkawinan anak dan kekerasan seksual yang sering disembunyikan di balik tirai budaya dan agama.
Gadis ini lahir pada 1998 dari keluarga miskin di Yaman, negara dengan sistem patriarki yang mengakar kuat. Ayahnya bekerja serabutan, sementara saudara laki-lakinya sudah lama merantau dan belum pernah kembali. Dalam situasi ekonomi yang menghimpit, Nujood dinikahkan dengan pria dewasa yang tidak ia kenal oleh sang ayah. Namun, pernikahan ini tidak seperti yang ada di bayangannya. Nujood merasa trauma akibat pemaksaan perkawinan, sekaligus menjadi korban kekerasan di usia yang sangat muda.
Bagi saya, buku ini cukup menggambarkan secara eksplisit situasi-situasi yang dapat memicu trauma pernikahan toksik bagi siapapun yang pernah mengalaminya. Melalui memoir ini, Nujood menceritakan secara gamblang bagaimana ia berkelahi hebat dengan suaminya. Ia dipaksa untuk tidur satu ranjang dan harus melayani suaminya ketika sedang ingin bermain dengan teman sebayanya. Ditambah, sang ayah yang memberikan kekerasan berlapis saat Nujood meminta pertolongan setelah diancam suaminya.
Kekerasan yang Membelenggu Itu Bernama Perkawinan Anak
Buku ini mengajak kita untuk menyadari bahwa perkawinan anak bukan sekadar persoalan individu. Perkawinan anak tumbuh dari akar masalah yang kompleks; melingkupi kemiskinan struktural, interpretasi agama yang patriarkal, serta budaya lokal yang memosisikan pengorbanan perempuan sebagai bagian dari kodrat.
Nujood dan keluarganya mengalami kemiskinan struktural, sehingga akhirnya ayah Nujood memutuskan untuk menikahkannya dengan seorang laki-laki yang lebih tua dan sudah mapan dari segi materi. Upaya ini, saya baca sebagai penyelamatan Nujood dari rantai kemiskinan di keluarganya. Namun, sayangnya kemiskinan tak akan pernah bisa terselesaikan hanya dengan menikahkan anak.
Hal ini karena kemiskinan struktural, yang berakar dari tak tertatanya tatanan sosial, membuat sebagian orang tidak dapat mengakses sumber daya ekonomi yang tersedia. Misalnya, dalam banyak kondisi, orang miskin tidak memiliki cukup informasi mengenai lowongan pekerjaan dan terbentur dengan persyaratan kerja yang rumit, seperti ijazah atau usia tertentu.
Selain itu, interpretasi agama yang tidak menggunakan lensa kritis juga memperparah persepsi orang awam terhadap perkawinan anak. Sebagai mayoritas penduduk Muslim, Yaman menjadi negara yang melegitimasi praktik perkawinan anak melalui kisah Nabi Muhammad yang menikahi Aisyah saat ia berusia muda. Menelan kisah tanpa mempertimbangkan konteks historis dan tafsir kritis yang relevan dengan kondisi hari ini, membuat agama dijadikan alat pembenaran atas praktik yang melanggengkan kekerasan terhadap anak.
Menurut saya, buku ini juga menarik karena di sejumlah bagian pada bab tertentu, Nujood sering mengutarakan sisi spiritualitasnya dalam menyikapi perjalanan hidupnya yang tidak mudah. Di tengah cobaan yang menimpanya, Nujood meyakini bahwa Allah, Tuhannya, senantiasa menolongnya dengan menghadirkan orang-orang baik yang dengan tulus menolongnya. Sikapnya ini pun menunjukkan agensi yang hadir dalam diam, seperti yang diutarakan Saba Mahmood dalam Politics of Piety (2004).
Resistensi Nujood adalah Cerminan Gagalnya Sistem
“Life is really weird. It’s not just bad people who spreads misery—even pretty things can be hurtful. So hard to understand…” - Nujood.
Dalam buku ini, Nujood juga menunjukkan resistensi dengan berani mengakui bahwa kondisi sosial budaya di Yaman masih berpihak kepada laki-laki dibandingkan perempuan. Refleksi Nujood benar-benar menggambarkan bagaimana budaya patriarki masuk dengan sempurna hampir di semua tatanan sistem yang ada. Kontrol atas tubuh dan hidup perempuan sepenuhnya dilimpahkan ke laki-laki: ayah atau suami. Sementara, anak perempuan tidak memiliki ruang untuk menyuarakan keinginannya, sehingga Nujood sempat dianggap “membangkang” karena gugatan cerainya
Namun, ia beruntung karena selama proses gugatan cerainya dibantu dan diberikan ruang aman oleh Shada Naseer. Naseer adalah pengacara perempuan yang taktis dan berperspektif gender di tengah sistem hukum yang masih bias dan minim keberpihakan pada korban. Selama perjalanannya mendapat keadilan, Nujood juga bertemu dengan sejumlah orang yang terus memberi dukungan kepadanya, mulai dari jurnalis hingga sahabat baiknya, Mona.
Di balik cerita heroiknya, perlawanan Nujood justru memperlihatkan betapa gagalnya struktur sosial masyarakat patriarkal yang kerap menindas dan menjadikan perempuan sebagai “manusia kelas dua”. Alih-alih meromantisasi perjuangan Nujood, seharusnya kita semua merefleksikan bagaimana keadilan bagi perempuan harus terus diperjuangkan baik secara struktural maupun kultural. Karena di Indonesia, kasus seperti Nujood pun masih santer terjadi.
Di Sumba, NTT, misalnya, terdapat budaya kawin tangkap yang membuat perempuan ditangkap paksa oleh keluarga pihak laki-laki dan kemudian dilarikan untuk dinikahkan tanpa sepengetahuannya. Mei lalu masyarakat kita juga dihebohkan dengan viralnya berita anak yang masih SMP dinikahkan di Lombok, NTB. Dengan kata lain, masih banyak Nujood-Nujood lain di berbagai belahan dunia sampai hari ini yang tidak memiliki cukup ruang untuk melawan.
Baca juga: Menilik Kasus Kim Soo Hyun: Child Grooming adalah Kekerasan Seksual
Sayangnya, Tidak Semua Anak Seberuntung Nujood
Pada dasarnya, kesadaran Nujood muncul saat ia mulai mengamati fenomena sekitar, ketika banyak saudara perempuannya mengalami KDRT. Nujood belajar bahwa ketika perempuan tidak melanjutkan sekolah atau tidak bekerja, maka perempuan mudah terjerumus dalam pernikahan yang memenjarakan. Karena baginya, pernikahan sejatinya harus dibangun atas dasar kesiapan dan persetujuan masing-masing.
Meskipun kisah Nujood menginspirasi, kita tidak bisa lupa bahwa tidak semua anak perempuan korban perkawinan anak memiliki privilese yang sama untuk mengakses pertolongan hukum dan psikologis. Ironi memang, karena seharusnya perlindungan perempuan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun, di tengah sistem hukum yang patriarkal, pemenuhan hak perempuan gagal terwujud tanpa adanya komitmen serius dari pemerintah dan masyarakat.
Dengan demikian, tidak semua anak perempuan yang terjebak dalam kasus perkawinan anak juga mendapat dukungan dan perlindungan dari orang dewasa yang berperspektif gender di sekitarnya. Ini bukan tentang tanggung jawab pendidikan anak yang dibebankan sepenuhnya pada orang tua. Namun, apalah arti pola asuh yang baik jika anak dibiarkan hidup dalam sistem yang sakit?
Menurut saya, dalam kasus perkawinan anak seperti yang dialami Nujood, kita perlu memaknai ulang tentang “pernikahan” itu sendiri. Pernikahan sering dilihat hanya sebagai pencapaian dan dijadikan fase hidup yang sakral, yaitu momentum melepas status lajang seseorang. Pandangan yang sempit mengenai pernikahan ini menyebabkan masyarakat kita tidak dapat melihat lapisan-lapisan kompleksitas lainnya dari pernikahan, terutama pernikahan anak usia dini.
Berkaca dari Nujood, saya kerap mempertanyakan, apakah semua anak perempuan korban perkawinan anak harus seperti Nujood agar bisa terbebas? Sepertinya, hadirnya Nujood bukan dijadikan standar tertentu untuk mendapat keadilan. Karena, kita tidak boleh terus membiarkan beban tanggung jawab penghapusan kekerasan diberikan kepada anak-anak atau perempuan itu sendiri. Maka, pertanyaan untuk negara adalah: Butuh berapa lama lagi untuk memahami bahwa perkawinan anak bukan hanya soal “budaya”, tetapi juga merupakan siklus kekerasan yang memiskinkan perempuan dan menghilangkan masa depan mereka?

Social Media Kami