Mengembalikan Makna Pendidikan, Menolak Pendidikan yang Hanya Menghitung Nilai
“Aku bukan lulusan cumlaude.”
Perempuan sering kali harus berjuang berkali-kali lipat dibanding laki-laki hanya untuk sekadar diakui. Di ruang akademik, tuntutan yang dihadapi bukan hanya soal unggul secara intelektual, tetapi juga memenuhi ekspektasi sosial. Harus rapi, lembut, cakap, dan tentu saja pintar. Tak sedikit dari kami yang merasa gagal, bahkan dianggap sia-sia, jika tidak berhasil mencapai predikat cumlaude.
Akibatnya, alih-alih menikmati proses belajar, banyak perempuan justru menjalani pendidikan dengan rasa tertekan. Hal ini karena mereka terus dibayangi ekspektasi seolah jika hasilnya tak sempurna, maka perjalanan akademiknya tak layak dihargai.
Tekanan yang Kami Terima, Berbeda
Perempuan sering kali hidup dalam tekanan ekspektasi ganda–cantik dan pintar, lembut dan tangguh, akademik bagus dan tidak melawan sistem. Sejak kecil kami dijejali nasihat bahwa perempuan harus jadi yang terbaik, peringkat paling unggul, contoh teladan, dan kebanggaan keluarga. Jika perempuan yang sekolah tinggi tetapi nilai pas-pasan dianggap tidak maksimal atau sayang-sayang sekolah.
Seolah-olah kesempatan belajar harus dibayar lunas dengan angka sempurna. Seolah keberhasilan perempuan direduksi hanya pada predikat dan gelar, bukan proses, pengalaman, atau kontribusi yang dihasilkan.
Sejumlah penelitian turut menguatkan gambaran ini. Martono, dkk. (2012) menunjukkan rata-rata IPK mahasiswa perempuan lebih tinggi dan masa studinya cenderung lebih singkat dibanding laki-laki. Namun, penelitian Whitcomb, dkk. (2020) di bidang STEM menemukan fakta paradoks. Meski perempuan meraih nilai lebih tinggi, mereka justru memiliki self-efficacy atau kepercayaan diri akademik yang lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini mengindikasikan adanya tekanan internal yang terus memaksa mereka membuktikan diri.
Sementara itu, laki-laki tidak dibebani tekanan yang sama. Dalam banyak keluarga dan lingkungan sosial, mereka dianggap sudah “cukup” hanya dengan kuliah dan lulus tepat waktu, tanpa ada yang terlalu mempersoalkan IPK. Tidak jarang, keberhasilan mereka diukur hanya dari kelulusan dan langkah selanjutnya dalam karier, sementara kualitas akademik jarang menjadi sorotan utama.
Perjuangan Perempuan Tak Hanya di Bangku Kuliah
Banyak yang tak menyadari bahwa beberapa dari kami harus membagi waktu antara kuliah dan tanggung jawab di rumah. Kami tetap memasak, membersihkan rumah, menjaga adik, atau merawat orang tua yang sakit. Sementara tempat belajar kami bukanlah perpustakaan yang tenang, melainkan sela-sela pekerjaan rumah.
Laporan ILO (International Labour Organization) tahun 2018 menunjukkan perempuan di wilayah Asia dan Pasifik menghabiskan 4,1 kali lebih banyak waktu untuk pekerjaan perawatan tanpa upah dibanding laki-laki. Secara global, perempuan mengerjakan sekitar 264 menit per hari sedangkan laki-laki hanya sekitar 136 menit. Kehidupan kami terbagi menjadi peran-peran terpecah yang kerap tak terlihat sistem kampus–mahasiswi teladan sekaligus anak perempuan yang berbakti.
Sayangnya, sistem pendidikan dan masyarakat sering kali melupakan konteks. Mereka tidak melihat bahwa tidak semua mahasiswa memiliki privilese untuk belajar penuh waktu, memiliki ruang belajar yang nyaman, atau bisa fokus 100% tanpa distraksi kehidupan. Kami belajar di tengah tekanan ekonomi, sosial, dan psikis yang tidak kecil.
Padahal, Pierre Bourdieu dalam The Forms of Capital (1986) mengatakan prestasi tak bisa diukur setara karena setiap orang lahir dengan ‘modal’ yang berbeda–seperti ekonomi, sosial, dan kultural. Semua itu dibentuk oleh pengalaman hidup (habitus) dan medan tempatnya berjuang (arena). Karenanya, ada yang mulus, ada pula yang penuh rintangan. Namun sayang, jika IPK yang harus selalu jadi tolok ukurnya.
Untuk Kami yang Tak Diakui, Tapi Terus Melaju
Bagi kami, sekolah bukan sekadar tempat mengumpulkan nilai, melainkan ruang untuk membentuk pola pikir. Belajar melihat persoalan dengan sudut pandang kritis, memahami perbedaan, dan menumbuhkan empati. Kami fokus pada realitas sosial, pada keadilan yang tidak pernah hadir otomatis, pada pengalaman yang membentuk keberanian. Kami fokus pada kehidupan, bukan hanya pada angka. Dan kehidupan tidak pernah bisa diukur dari nilai di selembar kertas.
Kami mungkin tidak mendapat standing ovation saat kelulusan. Tapi kami diakui oleh adik tingkat yang kini percaya diri karena pernah kami dampingi. Oleh perempuan korban kekerasan yang kembali berani bicara karena kami mau mendengarkan. Oleh komunitas yang bertumbuh karena kerja-kerja senyap kami.
Kami tidak punya titel akademik yang mencolok, tapi kami punya prinsip. Kami punya hati yang tak ragu membela kebenaran, bahkan ketika ia berseberangan dengan otoritas kampus atau dosen. Kami tidak tampil sebagai lulusan terbaik di ruang auditorium, tapi kami berdiri di garis depan ketika teman kami dilecehkan, ketika suara perempuan dibungkam, ketika keadilan diabaikan.
Di kampus, kami membentuk sisterhood sebuah ikatan yang lahir dari saling memahami beban, saling menopang di masa sulit, dan saling merayakan kemenangan sekecil apa pun. Kami hadir di ruang-ruang yang tak terdata dalam sistem, tetapi justru mengubah banyak hal seperti memecah sunyi, membuka jalan bagi yang ragu, dan memastikan tak ada perempuan yang berjalan sendirian. Dan semua itu tidak ada di nilai akhir kami.
Kembalikan Makna Pendidikan
Makna pendidikan bukan sekadar deretan angka di transkrip atau gelar cumlaude di ijazah. Pendidikan sejati adalah pembebasan dari cara berpikir yang usang, ketakutan untuk bersuara, dan budaya diam yang membungkam. Paulo Freire dalam Pedagogy of Oppressed (2000), menegaskan bahwa pendidikan sebagai praktik pembebasan tidak berhenti pada transfer ilmu, tetapi harus membangkitkan kesadaran kritis, memampukan kita membaca dunia, dan mendorong kita untuk mengubahnya.
Jika ingin memahami kembali makna pendidikan, dalam A Vindication of the Rights of Woman, 1792 Mary Wollstonecraft mengingatkan bahwa pendidikan seharusnya menumbuhkan akal budi dan keberanian perempuan. Bukan menjadikan perempuan sebagai penurut yang hanya tahu patuh pada aturan yang mengekang. Karena ia adalah proses memerdekakan pikiran dan membentuk keberanian moral untuk membela apa yang benar, bahkan ketika itu berarti melawan arus.
Maka, mengembalikan makna pendidikan berarti mengembalikan keberanian untuk berpikir, mengkritik, dan mencipta. Pendidikan yang demikian tidak berhenti di ruang kuliah, tetapi hidup di jalan, ruang komunitas, dan setiap tindakan kita guna memperjuangkan perubahan.
Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya untuk mengejar gelar ataupun nilai. Gelar cumlaude boleh jadi hanya dimiliki sebagian dari kami, tapi keberanian, solidaritas, dan kesadaran kritis yang kami bawa akan terus mengalir jauh melampaui upacara wisuda. Sebab pendidikan sejati bukan soal siapa yang berdiri paling depan di panggung, melainkan siapa yang tetap berdiri tegak ketika dunia mencoba meruntuhkan.
Catatan: Tulisan ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem nilai yang sempit. Sebuah pengingat bahwa prestasi tidak hanya terukur dari angka, tapi juga dari keberanian untuk menjadi berbeda. Dari perempuan untuk perempuan. Dari mahasiswa untuk dunia yang lebih adil.

Social Media Kami