Di Balik Megahnya PIK Ada Perempuan-Perempuan yang Terpinggirkan
Pantai Indah Kapuk (PIK) adalah simbol kemewahan dan prestise di utara Jakarta dan Tangerang. Kawasan ini dikenal sebagai destinasi favorit kelas menengah atas dengan hunian mewah, pusat kuliner modern, hingga wisata pantai bernuansa “tropis urban”. PIK 2, sebagai pengembangan terbaru, hadir membawa narasi kemajuan, modernisasi, dan konsep eco-living di pesisir. Namun, narasi kemajuan ini tidak menyentuh semua kalangan. Di balik pagar beton dan deretan properti miliaran rupiah, terdapat kehidupan yang terpinggirkan.
Desa Muara menjadi salah satu saksi nyata ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh proyek ini. Masyarakatnya, khususnya perempuan, mengalami eksklusi ruang dan ekonomi. Mereka hidup berdampingan secara geografis dengan kemewahan, namun sebagai masyarakat asli berusaha untuk dimarginalkan. Sementara pembangunan PIK 2 terus dielu-elukan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjanjikan kemajuan.
Pembangunan PSN yang Meminggirkan
PIK 2 bukanlah proyek biasa. Kawasan ini merupakan bagian dari PSN yang mencakup sekitar 1.700 hingga 1.755 hektar di pesisir Kabupaten Tangerang. Proyek ini membentang luas, mencakup sekitar 33 hingga 34 desa di 6–8 kecamatan, seperti Pontang, Tanara, Tirtayasa, Mauk, hingga Teluknaga dan Kosambi. Dulunya, desa-desa ini adalah kawasan pertanian dan kampung nelayan yang menjadi sumber kehidupan warga lokal.
Namun sejak masuknya pembangunan skala besar, ruang hidup masyarakat perlahan tergerus. Sawah dan tambak digusur untuk jalan tol, sirkuit, hingga kompleks perumahan elit. Nelayan kehilangan akses ke laut karena bibir pantai ditimbun dan dipagari proyek reklamasi. Sementara petani kehilangan lahannya dan terpaksa menjadi buruh di kampung sendiri. Proyek ini diromantisasi sebagai simbol kemajuan, padahal pada kenyataannya menciptakan segregasi sosial dan memperlebar jurang ketimpangan.
Contohnya terjadi di Desa Muara Teluknaga. Warga bertahun-tahun kelimpungan akibat banjir yang makin parah karena minimnya drainase. Mereka ingin membangun saluran pembuangan, tapi tak bisa berbuat banyak karena kampungnya kini masuk dalam kawasan PIK 2. Ruang gerak dibatasi, keputusan teknis diambil sepihak, dan kebutuhan dasar warga dikalahkan oleh kepentingan bisnis besar.
Baca juga: Bertaruh Asa Dengan Algoritma Fitur Grab Hemat Perlawanan Sunyi Pengemudi Ojol Perempuan
Desa yang Bertahan di Tengah Bayang-Bayang Beton
Desa Muara merupakan satu dari sedikit desa yang masih bertahan di tengah ekspansi besar-besaran PIK 2. Wilayah ini dulunya adalah kampung nelayan yang memiliki hubungan erat dengan laut, namun kini sebagian wilayahnya telah tergusur dan diubah menjadi kawasan elit. Sebagian warga sudah direlokasi ke permukiman baru dengan iming-iming Sertifikat Hak Milik (SHM) dan infrastruktur lebih tertata. Namun, banyak yang memilih bertahan karena berbagai alasan termasuk keterikatan emosional, ekonomi, dan ketidakpercayaan terhadap relokasi.
Kini, wilayah desa yang tersisa terhimpit pagar beton tinggi, bahkan akses jalan ke luar desa ditutup. Saya membaca tembok-tembok tinggi ini hadir bukan sekadar pembatas, tetapi ia adalah simbol ketimpangan dan pengucilan. Karena di satu sisi, elit kota menikmati kenyamanan dan estetika. Di sisi lain, warga justru kehilangan hak atas ruang, air bersih, akses kerja, dan kehidupan yang layak.
Selain itu, harga jual rumah di Desa Muara pun ditawar hanya sekitar Rp300.000 per meter, jauh dari harga properti PIK yang bisa mencapai puluhan juta rupiah per meter. Nilai ini mencerminkan bagaimana ruang warga miskin kota dinilai tidak berharga dan dapat dengan mudah digeser untuk kepentingan pasar. Seakan-akan, ruang hidup mereka dapat ditawar dengan murah oleh para kapitalis.
Akses ekonomi pun ikut terputus. Penutupan jalan membuat pedagang kecil kesulitan menjual dagangan. Ibu T, pemilik warung di desa, mengaku pendapatannya turun drastis. “Dulu bisa 200 ribu per hari. Sekarang 50 ribu aja udah syukur,” katanya.
Ibu K, istri nelayan yang dulunya bekerja sebagai cleaning service di PIK, dipecat setelah ketahuan hamil. Namun, ia tak mendapat jaminan sosial, apalagi dukungan, “Katanya mereka nggak mau ambil risiko. Saya cuma pengen kerja, tapi hamil malah dianggap beban.” Kisah dua perempuan itu menggambarkan wajah pembangunan yang tak berpihak karena menutup akses hidup yang layak di atas nama kemajuan.
Baca juga: 19 Jam Bekerja Upah Tak Seimbang Cerita Pilu Seorang Bidan Honorer di Sulawesi Tengah
Perempuan dan Beban Ganda
Ketika pembangunan dilakukan tanpa inklusi sosial, perempuanlah yang menghadapi beban paling besar. Selain kehilangan ruang hidup dan pekerjaan, mereka juga tetap harus menjalankan peran domestik. Banjir rob yang sering terjadi pun menyulitkan kerja reproduksi mereka. Air payau mencemari sumur, menyebabkan rumah lembab dan rusak, memperparah kondisi sanitasi, serta membatasi akses terhadap air bersih.
Dampak ekonomi pun terasa nyata, memperberat beban perempuan yang harus menjalani peran ganda. Ibu M, seorang penjual makanan anak-anak di Desa Muara, tak hanya kehilangan banyak pelanggan sejak warga direlokasi dan desa dikepung tembok beton, tapi juga tetap harus menjalankan kerja domestik sehari-hari di tengah kondisi lingkungan yang semakin memburuk.
Pendapatannya menurun drastis, sementara pekerjaan rumah, seperti mengurus anak, memasak, dan mencari air bersih, banjir payau yang membuat perempuan dua kali harus bekerja membersihkannya. Karena pekerjaan domestik dianggap tugas perempuan sehingga mereka tetap harus melakukannya tanpa bantuan yang berarti.
Beban ganda pun semakin terasa berat karena hilangnya ruang sosial yang selama ini menopang kehidupannya. Warung, jalan kampung, dan halaman rumah dulunya menjadi tempat berbagi cerita, saling menjaga anak, hingga membangun solidaritas untuk bertahan bersama kini perlahan pudar karena tekanan pembangunan. “Dulu tetangga rame, warung rame. Sekarang tembok tinggi, orang-orang udah pindah. Kita kayak sendirian,” ujarnya.
Relokasi paksa dan tembok-tembok beton telah memutus jaringan dukungan itu, membuat perempuan harus menanggung semua beban seorang diri dalam keterasingan. Ketika ruang hidup direbut, akses ekonomi dipersempit, dan ikatan sosial diputus, maka beban ganda perempuan berubah menjadi isolasi struktural yang dibentuk oleh pembangunan yang abai terhadap keadilan sosial.
Baca juga: Perempuan Adalah Sebenar-Benarnya Kelas Pekerja
Interseksionalitas: Ketimpangan yang Berlapis
Ketertindasan yang dialami perempuan di Desa Muara tidak dapat dilihat sebagai masalah tunggal. Konsep interseksionalitas dari Kimberlé Crenshaw, membantu memahami bagaimana identitas-identitas sosial seperti gender, kelas, lokasi geografis, dan status pekerjaan saling beririsan dalam menciptakan ketimpangan yang berlapis. Perempuan miskin yang tinggal di desa ini pun mengalami ketertindasan berlapis, yaitu sebagai perempuan yang memikul kerja domestik dan ekonomi, warga kelas bawah, serta pekerja informal yang sering kali tak diakui secara hukum maupun kebijakan.
Relokasi yang dijanjikan sebagai solusi justru memperparah kondisi ini. Rumah permanen yang ditawarkan memang terlihat lebih “tertata” tapi lokasinya jauh dari laut dan sumber penghidupan. Jauh dari jejaring sosial dan ekonomi yang selama ini menopang hidup mereka, sehingga banyak perempuan kehilangan akses terhadap pekerjaan, terutama mereka yang sebelumnya berdagang atau bekerja secara informal di kampung. Relokasi yang tak melibatkan suara perempuan menjelma jadi pemutusan relasi sosial dan ekonomi, yang berdampak langsung pada keseharian mereka.
Sementara itu, warga yang memilih bertahan di kampung menghadapi tekanan yang tak kalah berat. Lingkungan semakin rusak akibat pembangunan, air bersih makin sulit diakses, dan mereka distigmatisasi sebagai “penghambat kemajuan”. Padahal, mereka tidak menolak pembangunan. Yang mereka inginkan hanyalah dilibatkan agar proses pembangunan tidak meniadakan keberadaan mereka. Sebab, desa mereka adalah ruang hidup yang dibentuk dari sejarah, kerja, dan relasi sosial yang tak bisa digantikan begitu saja.
Keadilan yang Timpang: Melihat dari Kacamata Nancy Fraser
Pembangunan kota seharusnya tidak hanya memikirkan keuntungan ekonomi dan estetika ruang, tetapi juga memenuhi prinsip keadilan sosial yang menyeluruh. Pemikiran Nancy Fraser dalam Justice Interruptus: Critical Reflections on the 'Postsocialist' Condition (1997), membantu saya memahami bahwa ketimpangan yang dialami warga Desa Muara, berbentuk multidimensi, yaitu redistribusi, rekognisi, dan representasi.
Perempuan miskin di pesisir tidak hanya kehilangan akses ekonomi akibat relokasi atau dampak lingkungan dari proyek PIK 2, tetapi juga kehilangan pengakuan atas keberadaan dan kontribusi mereka dalam membangun kehidupan kota. Suara mereka jarang terdengar dalam perencanaan pembangunan, padahal mereka adalah kelompok yang paling terdampak.
Negara dan pengembang memang kerap berdalih bahwa proyek PIK 2 sah karena berstatus sebagai PSN dan telah mengantongi izin. Namun, seperti diingatkan oleh Fraser, legitimasi hukum tidak serta-merta menjamin keadilan sosial. Dalam praktiknya, proyek ini justru memperluas jurang antara pusat dan pinggiran. Tembok-tembok tinggi yang membatasi Desa Muara adalah cerminan nyata bagaimana ambisi pembangunan yang buta bekerja.
Padahal, kota yang adil harus mampu mendengarkan dan mengakui suara-suara yang termarginalkan. Jika keadilan hanya diberikan kepada mereka yang punya modal, maka pembangunan bukanlah kemajuan, melainkan pengabaian yang disulap menjadi prestasi. Sudah saatnya kita bertanya: kota ini dibangun untuk siapa, dan siapa yang harus membayar harganya?

Social Media Kami