Perjalanan Menjadi Perempuan
Hidup di lingkungan keluarga yang taat agama (terkhusus agama samawi) mengajarkan saya bahwa gender tidak berlaku setara. Laki-laki selalu dinarasikan sebagai sosok yang lebih kuat, sedangkan perempuan lemah. Perempuan hanyalah tulang rusuk dari laki-laki. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi saya, bagaimana saya (perempuan) dapat menjadi setara dengan laki-laki?
Narasi tersebut membentuk saya untuk menjadi perempuan yang nampak tangguh. Saya selalu menekankan pada diri saya bahwa saya harus sekuat bagaimana laki-laki dianggap kuat, begitu pula harus berani seperti laki-laki. Saya menyukai kegiatan-kegiatan yang menantang fisik; bermain futsal atau juga hiking. Sehingga, saya seringkali dianggap perempuan maskulin atau tomboy. Meskipun predikat itu tidak saya niatkan. Bahkan, sampai saya sempat diduga teman kos saya bahwa saya tidak menyukai laki-laki, yang saya tangkap maksudnya bahwa saya terlihat homoseksual. Hal itu tidak menyinggung saya, namun menggelitik saya terhadap status jomblo yang saya miliki sejak lahir.
Saya akui penampilan saya cukup sederhana. Saya tidak memiliki kemampuan berdandan atau bahkan menata gaya pakaian. Saya suka kepraktisan, jika tidak terlalu dibutuhkan saya tidak ambil pusing. Saya tentu menyukai laki-laki karena saya heteroseksual, namun mengupayakan untuk tertarik di mata lawan jenis adalah tindakan yang jarang saya pertimbangkan.
Saya memang sering menerima komentar baik oleh teman ataupun kerabat keluarga. Katanya perempuan harusnya tampil seperti perempuan; dengan rok, rambut ditata, dan bermacak. Sementara ibu dan bapak saya sendiri tidak pernah mengkritik tentang penampilan saya. Menurut mereka asal sopan dan rapi, sudah cukup. Tapi lingkungan sosial nyatanya memiliki standar lebih tinggi tentang tampil menjadi perempuan dibanding standar yang diberikan orang tua saya.
Kadang saya pun merasa seperti krisis identitas. Saya tidak pernah membuat sengaja saya tampil terlihat maskulin–bahkan tidak terpikir bahwa tidak pakai rok dan tidak berdandan menjadikan saya tidak perempuan. Padahal saya hanya menjadi diri saya yang saya rasa nyaman. Saya ingat satu komentar teman saya dia bilang begini, “Lo pake kaos mulu. Sekali-kali pakai baju yang cewek gitu.”
Konteks gender seakan-akan sangat melekat dengan penampilan. Sebaliknya dari kondisi saya sebagai perempuan, laki-laki yang memakai rok dan berdandan adalah bukan laki-laki. Ada masanya laki-laki yang bekerja di dunia entertainment dan harus berdandan kadang dianggap tidak maskulin. Bahkan, saat k-pop wave masuk ke industri musik Indonesia, para idol pria dari boygroup dianggap bukan lelaki tulen. Dan para fans turut dianggap aneh menyukai pria yang tidak tulen.
Belum selesai dengan gaya penampilan, penampilan fisik juga turut membuat saya menerima kritikan. Sebagai perempuan bertubuh gendut dan pendek, lagi-lagi saya harus banyak merenungi bahwa penampilan demikian tidak menarik. Saya setuju jika kritikannya menyatakan bahwa saya kurang sehat dengan komposisi massa tubuh yang tidak ideal. Namun, saya hanya bisa tersenyum kelu jika reaksi orang malah menyindir saya, “Gendut banget sih!”
Beban perempuan dapat dirasa secara psikologis dan ekonomi. Bagaimana tidak? Sejak sudah masa puber, perempuan akan mulai memahami bagaimana merawat kecantikan dan mengenal skincare. Mulai dari moisturiser, sunscreen, masker, dan per-cream-an. Mulai dari rambut, wajah, dan kulit. Kalau gagal merawat diri, alias jerawatan, kulit kusam, dan bibir gelap, lagi-lagi artinya bukan perempuan. Betapa mahalnya hidup menjadi seorang perempuan. Itu pun belum kalau membahas biaya-biaya alat make-up.
Lalu kembali pada pertanyaan besar saya, bagaimana perempuan dan laki-laki dapat setara? Apakah saya dapat setara dengan laki-laki? Apakah menjadi tomboy membuat saya setara dengan laki-laki?
Nyatanya pendapat orang-orang tentang penampilan saya malah makin membuat saya bingung dengan menjadi perempuan. Jangankan mau setara dengan laki-laki, memenuhi standar perempuan saja saya tidak bisa. Meskipun saya lahir dengan fisik perempuan, namun jika saya tidak tampil seperti yang diharapkan masyarakat tentang perempuan, saya harus menerima anggapan tomboy.
Pertanyaan berikutnya, mengapa menjadi perempuan seakan hanya tentang penampilan? Mengapa hanya tentang mempercantik tubuh?
Menjadi perempuan tidak cukup dengan merasa nyaman dengan dirinya. Ia harus punya pemahaman tentang tata busana, ahli merias diri, dan fisik yang ideal. Demikian beban yang harus ditanggung oleh seorang perempuan, entah dia single atau berpasangan. Selama sudah menempuh fase menstruasi, semua beban itu harus diterimanya sampai akhir hayat.
Namun, yang saya sayangkan, narasi menjadi perempuan di lingkungan saya adalah upaya untuk memikat hati para lelaki. Sesungguhnya jika sudah tampil dengan pakaian feminim, sudah merias wajah secantik mungkin, sudah merawat diri sebaik mungkin, dan memiliki tubuh yang ideal, namun belum berhasil memikat lelaki tetap belum menjadikan utuh sebagai perempuan. Bahkan, meskipun secara akademik saya sudah menempuh tingkat pendidikan tinggi, atau sudah mampu menafkahi diri, jika belum berhasil memikat laki-laki saya masih belum pantas disebut perempuan.
Sebuah perjalanan panjang dan berat bagi seorang manusia yang lahir dengan jenis kelamin perempuan untuk memantaskan dirinya. Menjadi manusia yang dinamakan perempuan tidak berhak merasa nyaman dengan dirinya apa adanya. Ia harus memiliki kesadaran bahwa dirinya tidak akan pernah cukup bahkan jika ia lahir dengan anggota tubuh yang lengkap.

Social Media Kami