Main Rapi, Menyindir Tajam: Kekerasan Digital yang Disamarkan Jadi Lelucon
“Lucu banget sih si rambut warna-warni, pas ngomong kayak gak punya isi.”
“Kita kan mau staycation bareng nih guys karena mau liburan semester, si boti kaga diajak? Hehe”
“Gausah bilang trauma guys, emangnya kayak si “itu” banyak trauma, padahal mah drama berkedok gila.”
Kalimat-kalimat ini terdengar seperti candaan biasa di grup chat. Tidak menyebut nama, tidak ada makian kasar. Tapi bagi mereka yang jadi sasaran, ini bukan sekadar "bercanda". Ini adalah bentuk kekerasan verbal yang dibungkus secara halusan, disertai sindiran, dan konsensus diam-diam antarpelaku. Hanya ada satu orang di grup yang rambutnya selalu gonta-ganti warna. Hanya satu yang tampil androgini. Hanya satu yang pernah buka suara soal trauma. Orang itu tahu sindiran itu ditujukan kepadanya. Tapi kalau berbicara, respons yang datang adalah, "Baper banget, lu! Nyebut nama aja engga." atau "Geer banget sih!”
Padahal, sindiran seperti ini adalah bentuk kekerasan digital terselubung yang makin dinormalisasi, baik di lingkungan pendidikan, kantor, komunitas, bahkan keluarga. Para pelaku memang tidak menyerang langsung, tapi saling oper sindiran, menciptakan semacam teater "main kode" yang hanya mereka dan beberapa penonton terpilih yang paham. Sementara itu, korban dipaksa menelan kenyataan pahit dan merasa disudutkan secara sosial tanpa diberi ruang untuk membela diri.
Saya Adalah Korban
Sayangnya, jenis kekerasan ini sulit ditindak secara hukum karena tak memenuhi definisi normatif tentang penghinaan, pencemaran nama baik, atau ujaran kebencian. Tidak ada kata eksplisit. Tidak ada nama. Tidak ada ancaman. Hanya nuansa. Justru, karena "halus" dan samar, kekerasan ini menjadi berbahaya. Korban mengalami tekanan psikologis berkepanjangan, merasa dikucilkan, dipermalukan, dan dijadikan bahan hiburan di hadapan banyak orang, tanpa pernah bisa secara sah mengatakan, "Aku adalah korban."
Sebagai korban, awalnya saya merasa sepele; hanya candaan di grup kelas, stiker, atau meme yang dikirim dengan nada lucu. Tak ada makian, pun ancaman. Tidak juga menyebut nama. Tapi, perlahan muncul perasaan ganjil. Sebuah stiker bertema tato dikirim setelah seseorang membuat komentar, "Kayak si itu". Padahal hanya satu orang di kelas yang punya tato. Melihat sindiran halus itu, jantung saya pun berdebar hebat hingga jemari ragu membuka grup. Saya pun harus mengalah dengan membisukan grup demi menjaga kewarasan.
Padahal, ini bukan sekadar lelucon biasa. Ada tekanan psikologis yang tumbuh diam-diam setiap harinya. Rasa malu, ketakutan, dan perasaan dikucilkan mulai menghantui saya, bahkan dalam ruang-ruang yang semestinya aman; kampus, organisasi, grup belajar. Tak ada bukti eksplisit. Tak ada pasal hukum yang bisa dijadikan pegangan. Hanya suasana yang tajam dan melukai.
Kekerasan yang Tidak Diakui Sistem
Di ruang digital itu, kekerasan bisa tampil rapi. Melalui komentar nyinyir, candaan sarkastik, atau sticker yang seolah jenaka, saya merasa disudutkan di ruang publik yang tak pernah tidur. Sayangnya, karena tidak memenuhi definisi hukum yang normatif tentang penghinaan atau ujaran kebencian, kekerasan ini nyaris tak tersentuh. KUHP dan UU ITE menuntut adanya bukti konkret dan terang, padahal luka psikologis sering kali datang dari yang samar.
Pasal-pasal KUHP seperti Pasal 310 tentang pencemaran nama baik atau Pasal 315 tentang penghinaan mengharuskan adanya kata-kata eksplisit yang menyerang. Bahkan dalam UU ITE Pasal 27 ayat (3), yang mengatur soal muatan penghinaan di ruang digital, fokusnya masih pada pernyataan yang terang dan bisa dibuktikan secara konkret. Padahal, bentuk kekerasan yang dibungkus dalam "candaan" ini adalah kekerasan simbolik, bagian dari kekerasan struktural yang bekerja diam-diam melalui norma sosial dan relasi kuasa. Tidak tampak secara fisik, tapi melukai secara psikologis.
Inilah kekerasan yang tidak diakui sistem, tapi dirasakan setiap hari oleh mereka yang jadi sasaran.
Kekerasan semacam ini sering disebut sebagai microaggression atau relational bullying. Espelage, Hong, dan Merrin (2018) menyebut bahwa kekerasan relasional ini mungkin tak langsung, tapi dampaknya besar terhadap kesejahteraan psikologis korban. Ghosh dan Wang (2022) menekankan bahwa microaggression kerap tidak disadari pelakunya, namun tetap menegaskan relasi kuasa yang diskriminatif. Yang menyedihkan, tidak banyak institusi, termasuk kampus, yang memiliki prosedur untuk menangani bentuk kekerasan sehalus ini. Sebagian bahkan ikut menertawakan. Yang lebih menyakitkan, korban sering dianggap "terlalu sensitif".
Ketika saya mencoba melawan, respons yang saya terima justru serangan balik. Saya dilabeli "ratu derita", yang semakin mempersempit ruang saya untuk bersuara. Akhirnya, diam jadi pertahanan, menyendiri jadi kebiasaan baru. Dan para pelaku dengan entengnya melakukan kekerasan digital secara berulang. Seolah sistem lebih berpihak dan melindungi perbuatan mereka terhadap saya, sebagai korban. Begitulah kekerasan simbolik bekerja; ia tak terlihat, tapi terasa. Tak bisa diadukan, tapi tentu akan membekas lama pada diri saya.
Ketika Diam Bukan Pilihan
Walau berat, budaya "main rapi" di ruang digital ini harus dilawan. Sebab, kekerasan yang dibungkus dalam bentuk candaan, sindiran halus, atau stiker-stiker lucu ini tak hanya menyakiti individu, tapi juga membentuk ekosistem komunikasi toxic, yang penuh manipulasi dan tanpa tanggung jawab. Budaya ini menormalisasi perilaku diskriminatif dan kekerasan simbolik, membuatnya tampak wajar dan nyaris tak bisa diungkap, apalagi diproses secara hukum.
Penelitian yang diterbitkan di PubMed (2024) menunjukkan bahwa 32,5% remaja perempuan di Nepal mengalami cyberbullying. Para korban berisiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, dan stres dibandingkan mereka yang tak menjadi korban. Ini menegaskan bahwa interaksi digital yang merendahkan dapat berdampak besar terhadap kesehatan mental kita semua, yang juga berisiko menjadi korban.
Pelaku kekerasan halus ini umumnya sangat sadar atas apa yang mereka lakukan. Mereka paham betul dampaknya terhadap korban. Saya pernah menyaksikan langsung bagaimana budaya ini bekerja. Dalam sebuah kelas, seseorang menjadi sasaran sindiran, yang bahkan mengandung pelecehan cukup berat. Tapi reaksi yang muncul justru emoji tertawa dari rekan perempuan lain di kelas. Respons semacam ini sebenarnya merupakan bagian dari piramida kekerasan, yang bisa memperkuat budaya kekerasan di masyarakat kita.
Maka, diam bukan lagi pilihan. Ruang digital tidak boleh menjadi tempat bebas bagi kekerasan yang disamarkan melalui meme, emoji lucu, dan tawa bersama. Kita butuh kesadaran kolektif untuk mengenali bentuk kekerasan ini, melawan melalui edukasi kritis, membuka ruang dialog yang aman, serta memperkuat jejaring dukungan di lingkungan kampus dan komunitas digital. Dan, yang perlu ditekankan adalah keberpihakan pada korban. Karena, jika kita terus membiarkannya, maka kita semua menjadi enabler dari kultur kekerasan ini.
Maka, Apa yang Bisa Dilakukan?
Pertama, jangan ragu untuk menegur atau bertanya langsung saat menyaksikan sindiran terselubung. Kadang, keberanian satu orang yang berkata, “Eh, maksud kamu nyindir si X, ya?” sudah cukup untuk meruntuhkan permainan manipulatif yang selama ini berlangsung diam-diam. Teguran semacam ini menggagalkan strategi pelaku yang bergantung pada diamnya lingkungan sekitar.
Kedua, institusi seperti kampus, kantor, dan komunitas perlu segera memiliki pedoman komunikasi digital yang jelas. Aturan ini tidak hanya melarang ujaran kebencian yang terang-terangan, tapi juga harus mampu mengidentifikasi dan menindak kekerasan terselubung seperti sindiran, ejekan samar, atau candaan yang menyakiti. Walaupun pelaku berusaha menyamarkan kekerasannya, pola perilaku mereka bisa dilacak. Karena itu, penting bagi korban atau saksi untuk menyimpan bukti dan melaporkannya ke lembaga etika atau pihak berwenang di institusi masing-masing.
Dukungan bagi korban juga tak kalah penting. Jangan biarkan mereka merasa sendiri atau terisolasi. Hadirnya teman yang mau mendengarkan, mengakui pengalaman mereka, dan berkata, “Kamu nggak salah kalo ngerasa sedih.” sudah merupakan bentuk perlawanan yang kuat. Solidaritas semacam ini membangun ruang yang aman secara emosional; sesuatu yang sangat dibutuhkan di era digital yang serba cepat dan kadang kejam.
Pada akhirnya, kita perlu sama-sama membangun budaya empati, bukan ejekan. Komunikasi digital harus menjadi ruang yang aman, tempat bagi humor tidak berdiri di atas luka atau penderitaan orang lain. Perubahan bisa dimulai dari satu suara, satu teguran, satu bentuk dukungan kecil. Dan, dari sanalah racun ini bisa berhenti menyebar.
Tags:

Social Media Kami