Triple Roles Perempuan Bali: Realitas yang Dibalut oleh Budaya Patriarki
Di tengah modernisasi, Masyarakat Bali tetap eksis menjalankan tradisi, adat dan budaya. Mereka hidup dari kepercayaan Agama Hindu yang begitu kental, melalui konsep Bhuana Agung dan Bhuana Alit serta Tri Hita Karana. Konsep ini mewajibkan Masyarakat Bali untuk menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan, manusia, dan alam, salah satunya lewat beryadnya (baik dalam bentuk persembahyangan atau upacara).
Perempuan Bali juga berperan dalam melestarikan tradisi ini. Bahkan, mereka kerap diasosiasikan sebagai pemelihara keluarga dan budaya serta tradisi di Bali. Namun, dibalik itu semua, terdapat realitas tersembunyi yang membelenggu Perempuan Bali: triple roles atau tiga peran yang harus dijalani secara bersamaan.
Triple Roles yang Membelenggu Perempuan Bali
Caroline Moser dalam Gender Planning and Development Theory: Practice and Training (1993) menyatakan triple roles adalah istilah untuk perempuan yang menjalani tiga peran secara bersamaan dalam kehidupannya. Ketiga peran ini melingkupi peran domestik atau peran reproduktif, peran karier atau produktif, dan peran sosial atau peran adat.
Kondisi ini terjadi pada perempuan Bali, terkhusus yang sudah menikah. Di ranah domestik, mereka harus mengurus anak, suami, memasak–minimal mebase genep (bumbu masakan Bali yang beraroma tajam), dan mejejaitan (membuat perlengkapan upacara) agar tidak membeli banten (sarana upacara) di luar. Sementara, di ranah publik perempuan harus dueg ngalih pis (mencari uang) baik dalam sektor formal atau informal demi perekonomian keluarga.
Terakhir, di ranah sosial atau adat, perempuan Bali harus menjalankan kegiatan adat serta keagamaan yang terkadang membuat mereka harus menghabiskan waktunya lebih dari 20 jam. Aktivitasnya meliputi kegiatan banjar adat, seperti kematian, pernikahan, telu bulanan (upacara untuk bayi yang berusia tiga bulan atau 105 hari), dan upacara di pura. Belum lagi pembuatan banten untuk keperluan di pura atau di rumah.
Baca juga: Sisi Lain dari Trend Tradwife yang Diromantisasi
Tiga peran itu berimplikasi pada hadirnya narasi-narasi khas patriarki yang dikonstruksi melalui pengklasifikasian hak dan kewajiban perempuan Bali. Budaya patriarki pun, diungkapkan Arjani melalui penelitiannya “Peran Gender dalam Kehidupan Masyarakat Adat di Bali” dalam Kembang Rampai Perempuan Bali (2006) sebagai penyebab besarnya tanggung jawab mereka dalam menyeimbangkan tiga peran tersebut.
Nah Kanggiang Dumun: Kebahagiaan Palsu, Kebohongan Diri, dan Ekonomi yang Rapuh
Terdapat pula mindset “Nah Kanggiang Dumun, Sampun Pejalan Idup” yang membelenggu perempuan Bali. Dengan makna “terima saja, sudah menjadi jalan takdir”, secara tak langsung mereka dipaksa tetap berada pada adat dan budaya yang dibalut oleh patriarki, bahkan dilanggengkan oleh keluarga, tetangga, masyarakat, pendidikan, dan institusi lainnya.
Situasi seperti ini mendorong perempuan untuk mengalami kebahagiaan yang semu. Misalnya, ketika upacara di pura, mereka tetap harus bangun subuh untuk menyiapkan berbagai hidangan di rumah, sekaligus banten untuk dibawa. Hal ini diperkuat oleh norma sosial yang sudah mengakar, bahkan dianggap normal.
Dalam The Feminine Mystique (1974), Betty Friedan mengungkap kompleksitas fenomena ini. Friedan mengungkapkan, “The Feminine Mystique says that the highest value of the women is the fulfillment of their own femininity”. Artinya, nilai tertinggi perempuan pada bagaimana mereka memenuhi aspek feminisitasnya.
Ungkapannya menjelaskan tiga peran yang harus diampu perempuan Bali agar menjadi “perempuan sejati”. Walau dalam bukunya ia membahas persoalan perempuan Amerika, namun saya melihat hal ini sangat relevan jika dikaitkan dengan situasi perempuan Bali. Terlebih, subjektivitas masyarakat Bali dapat dilihat sebagai The Sex-Directed Educators, yang mengajarkan perempuan menuju peran gender yang sempit melalui konstruksi budaya bertahun-tahun lamanya.
Sayangnya, masih banyak perempuan Bali yang cenderung bersikap pasrah akan adat dan tradisi, sehingga mereka cenderung menerima semuanya. Mau tak mau, mereka juga harus menjalani tiga beban dan peran itu semaksimal mungkin karena alasan ekonomi.
Baca juga: Perempuan adalah Sebenar-benarnya Kelas Pekerja
Melalui anggapan “perempuan Bali harus dueg ngalih pis, agar tidak hanya minta ke suami saja”, mereka bekerja dalam sektor formal dan informal untuk meningkatkan kemandirian finansial dan memutus anggapan peran perempuan dalam kerja domestik saja. Sayangnya, narasi ini justru menjebak perempuan dalam beban baru karena mereka pun masih harus mengurus pekerjaan rumah.
Namun, Friedan menawarkan konsep “new togetherness” sebagai salah satu upaya mengatasi masalah ini. Ia menekankan pentingnya kesetaraan peran antara perempuan dan laki-laki, baik di rumah maupun di luar. Artinya, laki-laki pun juga harus “ditarik” ke ranah domestik. Serta mendorong pemenuhan kapabilitas diri dan kemandirian finansial perempuan.
Saya Sebagai Laki-Laki Melihat Triple Roles
Fenomena Triple Roles yang terjadi pada perempuan Bali sudah seharusnya menjadi refleksi bagi masyarakat Bali termasuk juga laki-laki. Saya melihat perlu adanya upaya pengkritisan pada sistem yang selama ini menempatkan perempuan Bali sebagai makhluk yang sangat lelah, baik fisik maupun mental. Kondisi ini pun tak akan berubah jika laki-laki masih menganggap kerja domestik adalah sepenuhnya urusan perempuan.
Sudah seharusnya laki-laki pun turut membangun kesadaran bahwa pembagian peran sangat penting dan tidak semata-mata dibangun berdasarkan stereotip gender akan tetapi lebih kepada adanya kesepakatan bersama. Tentu jika kesadaran ini tidak dikokohkan, maka efek kelelahan fisik serta mental yang dialami oleh perempuan akan terus ditransmisikan dari generasi ke generasi serta visi mengenai keluarga yang harmonis pun tentu tak akan terwujud.
Oleh karena itu, sebagai seorang laki-laki, perlu adanya dukungan nyata baik dengan menciptakan pembagian kerja yang simetris, pengakuan terhadap kontribusi ekonomi, dan akses serta peluang kepada perempuan untuk dapat memilih jalan hidupnya sendiri.
Kalau selama ini perempuan Bali diajarkan “Nah Kanggiang Dumun” alias pasrah terima tanggung jawab, maka laki-laki Bali juga perlu dibiasakan “Nah Bagiang Dumun” yang artinya mari kita bagi tugas; aku mengerjakan bagian ini dan kamu mengerjakan bagian yang lain.
Karena, mengerjakan urusan domestik tak akan membuat laki-laki Bali kehilangan martabatnya. Justru, ia adalah bentuk keadilan untuk menciptakan relasi yang setara. Bagi saya, perempuan Bali berhak untuk merasa didengarkan, memilih, berani mengartikulasikan pendapatnya, bahkan berdikari dan mengejar tujuan hidupnya.
Jadi, mulai sekarang, mulailah bertanya kepada diri sendiri: Upaya apa yang bisa kulakukan agar perempuan Bali selalu merasa didengar tanpa harus melawan adat dan tradisi di Bali?

Risna Anjliani
13 Jul 2025 | 09:21 AMRelate banget, hal-hal besar sangat di garis bawahi.Meskipun disini yang menulis adalah kaum maskulin tapi hebat banget bisa menyampaikan aspirasi kaum feminis. Menjadi perempuan hindu bali sangat sangat susah apalagi ketemu Keuarha suami yang pattiaki meskipun suami sendiri tidak patriaki tapi budaya dan adat sangat melekat. Jalan satu satunya untuk tertindas dari hal ini adalah berari dilingkungan yang berbeda. Semangat wisnu ditunggu lagi coretan coretan selanjutnya.