Femcel: Saat Perempuan Jadi Tangan Kanan Patriarki
Akhir-akhir ini, banyak perempuan yang menyebut dirinya hopeless romantic. Di akun alter, keinginan untuk punya pasangan laki-laki tapi gagal sering kali muncul. Ada yang merasa insecure karena fisik, trauma ditolak berkali-kali, dan terbebani standar sosial. Kegagalan ini sering kali menjelma jadi identitas yang membuat perempuan terus mengukur diri dari relasi heteroseksual.
Frustrasi ini pun meluas jadi pola pikir yang merugikan. Di forum, saya pernah melihat perempuan yang sibuk menilai sesamanya jika tak sesuai standar feminin. Sementara, dalam ruang akademik, ada pula mahasiswi ber-privilege yang memilih merapat pada lingkaran laki-laki perundung karena obsesi romantisnya.
Namun, hal itu justru membuat kompromi dengan pelaku lebih penting dibanding keberpihakan pada korban. Walau semua ini adalah pilihan personal, tapi sejatinya ia memperlihatkan bagaimana frustrasi romantis dapat mengubah perempuan menjadi femcel yang terinternalisasi patriarki.
Femcel dan Incel yang Saling Menyalahkan Perempuan
Kita mungkin lebih familier dengan istilah incel (involuntary celibate). Label ini menjelaskan fenomena laki-laki yang merasa hidup kesepian tanpa pasangan. Implikasinya pun membuat banyak dari mereka yang dengan mudahnya menyalahkan perempuan, menyebarkan ujaran misogini, bahkan melakukan tindak kekerasan di dunia nyata.
Di lain sisi, tumbuh subur pula femcel (female involuntary celibate), yaitu perempuan yang tidak mampu membangun hubungan romantis atau seksual meskipun menginginkannya. Awalnya, label ini sekadar menggambarkan frustrasi personal. Namun, sebagian femcel di ruang daring berkembang menjadi kelompok yang menginternalisasi misogini, merendahkan perempuan lain, atau bahkan menyalahkan korban kekerasan.
Baca Juga: Prabowo Penuh Omon-Omon: Menagih Janji Presiden Terhadap Pengesahan RUU PPRT
Bahkan, The Guardian menyebut fenomena ini sebagai bagian dari femosphere. Ia adalah ekosistem daring yang kelihatannya mendukung perempuan, tetapi sebenarnya menguatkan nilai konservatif dan anti-kesetaraan. Misalnya, kampanye untuk perempuan agar mencari laki-laki yang bisa memberikan sokongan finansial.
Meski begitu, Evans dan Lankford (2024) melihat femcel dengan kacamata lain. Melalui penelitiannya terhadap 24.000 lebih unggahan femcel, mereka dipandang sebagai kelompok yang frustrasi secara seksual, tetapi cenderung mencari solusi damai dan berfokus pada keselamatan diri, dengan potensi kritik pada patriarki.
Mengurai Akar Femcel
Perilaku femcel tidak muncul begitu saja. Salah satu akar masalahnya adalah gender essentialism, yaitu keyakinan bahwa sifat dan peran perempuan dan laki-laki sudah ditentukan secara alami sejak lahir. Misalnya, perempuan dianggap harus penurut, lemah lembut, dan tidak boleh menolak dominasi laki-laki. Skewes, dkk. (2018) pun menunjukkan orang yang mempercayai ini cenderung menormalisasi ketimpangan, bahkan tanpa disadari.
Selain itu, standar kecantikan dan tekanan sosial untuk memiliki pasangan memperkuat posisi femcel. Budaya yang mengaitkan nilai perempuan dengan penampilan fisik atau status romantis menciptakan tekanan untuk diterima dan diakui. Media populer pun menampilkan perempuan ideal harus selalu memiliki pasangan. Sementara yang tidak mengikuti standar ini digambarkan gagal.
Temuan Pizzimenti, dkk. (2022) juga menunjukkan bahwa internalisasi misogini juga menjadi akar masalah yang tak kalah penting. Banyak perempuan tanpa sadar menyerap pandangan seksis dari lingkungannya, sehingga mereka merasa diri sendiri kurang berharga dan sekaligus memandang perempuan lain sebagai pesaing. Dari sinilah lahir rasa iri, sinis, dan bahkan kebencian terhadap sesama perempuan yang lebih sesuai standar kecantikan atau lebih mudah mendapatkan pasangan.
Hubungan Femcel dan Patriarki
Beberapa femcel memiliki hubungan yang kuat dengan patriarki. Sebab, emosi yang mereka rasakan kerap disalurkan dengan merendahkan, baik itu ke relasi personal maupun sesama perempuan. Tanpa sadar, sikap ini membuat mereka ikut melanggengkan sistem yang menindas. Alih-alih melawan patriarki, mereka justru menjadi enabler.
Hubungan femcel dengan dark feminine juga menimbulkan paradoks. Energi ini seharusnya melambangkan keberanian, intuisi, dan kekuatan batin perempuan. Namun tanpa kesadaran kolektif, energi tersebut bisa disalahgunakan. Pada sebagian femcel, dark feminine justru dipakai sebagai instrumen patriarki untuk membungkam korban, melindungi pelaku, dan memperkuat patriarki.
Fenomena ini terlihat jelas sebagai internalized misogyny. Di dunia nyata dan ruang maya, terdapat perempuan yang meremehkan luka sesamanya, menertawakan pelecehan, atau mendorong kompromi dengan pelaku atas nama harmoni. Sikap seperti ini kerap dibungkus dengan label rasionalitas, bahkan kadang disebut feminisme. Padahal feminisme sejati menuntut keberanian berpihak pada korban dan menantang struktur yang timpang.
The Guardian juga menyoroti bagaimana sebagian kelompok femcel mendistorsi feminisme. Mereka menuduh perempuan feminin sebagai pengkhianat perjuangan, sambil tetap memelihara heteronormativitas. Perempuan lesbian atau queer dianggap menyimpang karena nilai perempuan hanya diukur dari relasi dengan laki-laki. Secara tak langsung, femcel juga ikut meminggirkan perempuan lain.
Baca Juga: Mengembalikan Makna Pendidikan, Menolak Pendidikan yang Hanya Menghitung Nilai
Di sinilah pentingnya membaca fenomena femcel lewat lensa interseksionalitas. Seperti dijelaskan Kimberlé Crenshaw bahwa identitas perempuan tidak tunggal. Kelas, ras, orientasi seksual, dan disabilitas turut membentuk tingkat privilege maupun kerentanan yang berbeda. Tanpa kesadaran ini, femcel yang terjebak dalam narasi tunggal justru bisa memperkuat patriarki dengan balutan feminisme semu.
Femcel, Feminisme, dan Kebebasan Perempuan
Sejak awal, kehadiran feminisme tak pernah untuk mengekang pilihan perempuan, melainkan membuka ruang agar setiap perempuan bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. Baik memilih menjalin hubungan maupun tidak, tanpa tunduk pada norma yang dipaksakan. Namun, kebebasan ini bukan berarti bebas mengulang pola penindasan.
Sebab, kebebasan yang otentik tidak dibangun di atas subordinasi perempuan lain, bebas dari tekanan sosial dan standar patriarki. Feminisme mengajarkan bahwa pilihan yang sadar, setara, dan penuh tanggung jawab sosial adalah inti dari relasi yang sehat. Dengan begitu, perempuan dapat keluar dari jebakan patriarki yang menstandarkan nilai diri berdasarkan status romantis atau seksual.
Fenomena femcel menunjukkan bagaimana patriarki bisa merasuki pikiran perempuan hingga menjadikan mereka kaki tangan sistem yang menindas. Ironisnya, sebagian mengira sedang memperjuangkan diri dan sesama perempuan, padahal justru menguatkan luka yang sama. Karena itu, perjuangan feminisme menuntut keberanian untuk tidak nyaman; berani membongkar struktur yang mengekang, juga bias internal yang tumbuh secara tak sadar.
Tags:

Social Media Kami