Sisi Lain dari Trend Tradwife yang Diromantisasi
Konten trend tradwife berseliweran di media sosial terutama di TikTok. Dalam konten tersebut, perempuan menampilkan aktivitas seperti membersihkan rumah, memasak, mengurus anak, dan mendekorasi rumah. Istilah tradwife merujuk pada seorang perempuan yang sudah menikah dan menganut peran gender tradisional, yakni fokus pada pekerjaan rumah tangga (domestic chores) untuk mendukung suaminya sebagai pencari nafkah utama.
Dari konten tersebut, banyak perempuan yang memimpikan hidup sebagai tradwife. Mereka mendambakan keamanan dan kenyamanan dari pasangannya, di mana suami berperan sebagai penyedia segala kebutuhan rumah tangga. Dalam struktur ini, perempuan tidak perlu bekerja di luar rumah, cukup mengurus rumah tangga dan mendukung suaminya. Gaya hidup ini menarik perhatian karena dianggap memberikan kepastian dan ketenangan di tengah kerasnya dunia kerja dan tantangan ekonomi saat ini.
Salah satu kreator konten terkenal yang menampilkan aktivitas sebagai tradwife adalah Ballerina Farm. Akun ini dikelola oleh Hannah Neeleman, perempuan berusia 34 tahun yang tinggal di Utah, Amerika Serikat, bersama suaminya Daniel dan delapan anak mereka. Hannah merupakan lulusan Juilliard School dan sebelumnya merupakan seorang ballerina profesional. Kini, ia tinggal di pedesaan dan mengelola peternakan seluas 133 hektar bersama keluarganya. Akun media sosialnya memiliki jutaan pengikut, dengan 9,8 juta di TikTok dan lebih dari 10 juta di Instagram. Dalam kontennya, ia menampilkan kehidupan yang tampak harmonis, sejahtera, dan damai sebagai seorang tradwife.
Namun, popularitas Hannah tidak lepas dari kontroversi. Salah satu isu yang sering dibahas adalah pandangannya yang dianggap mempromosikan peran tradisional perempuan sebagai istri dan ibu. Dalam banyak unggahan, Hannah menggambarkan kehidupan yang ideal dengan menjalani peran tersebut, yang oleh sebagian kalangan dinilai memperkuat nilai-nilai patriarkal.
Glorifikasi dan Ilusi Kenyamanan
Dalam artikel The Sunday Times berjudul "My day with the trad wife queen and what it taught me", jurnalis Megan Agnew mengungkap sisi lain dari kehidupan Hannah. Meskipun secara finansial mereka berkecukupan, Hannah tidak diperkenankan menggunakan jasa pengasuh anak atau asisten rumah tangga. Ia pernah jatuh sakit akibat kelelahan mengurus rumah tangga seorang diri. Selama kunjungan Agnew ke pertanian Neeleman, terungkap bahwa Daniel, sang suami, memiliki kontrol besar atas keputusan-keputusan dalam rumah tangga, termasuk soal pendidikan anak dan peran Hannah sebagai ibu rumah tangga.
Kehidupan yang digambarkan sebagai idyllic atau ideal ternyata menyimpan tekanan yang luar biasa. Banyak warganet, terutama perempuan, yang tetap mengglorifikasi gaya hidup ini karena merasa lelah dengan dunia kerja yang penuh tuntutan. Faktor-faktor seperti beban ganda, minimnya dukungan struktural, eksploitasi tenaga kerja, hingga stigma terhadap perempuan pekerja membuat banyak perempuan bermimpi menjalani kehidupan seperti tradwife.
Romantisasi peran tradwife kerap menampilkan citra kehidupan rumah tangga yang sempurna. Dalam citra ini, perempuan menjadi ibu rumah tangga dan pengasuh utama, dan tampaknya dipenuhi kebahagiaan dan kepuasan batin. Namun, realitas di balik konten media sosial sering kali berbeda. Tekanan untuk selalu tampil sempurna, mengurus rumah tangga tanpa bantuan, memiliki banyak anak, dan tetap menjaga keharmonisan rumah tangga bisa menjadi beban yang berat secara fisik maupun emosional.
Dalam bukunya "The Way We Never Were: American Families and the Nostalgia Trap" (1992), sejarawan feminis Stephanie Coontz membongkar mitos keluarga ideal masa lalu yang sering menjadi acuan gaya hidup tradwife. Ia menjelaskan bahwa romantisasi terhadap masa-masa ketika perempuan dianggap cukup menjadi ibu rumah tangga adalah bentuk nostalgia yang menyesatkan. Pada masa 1950-an yang sering dirujuk sebagai masa keemasan peran domestik perempuan, justru banyak perempuan mengalami isolasi, ketergantungan ekonomi, dan gangguan kesehatan mental. Coontz mengingatkan bahwa ketergantungan finansial terhadap pasangan adalah bentuk kerentanan struktural yang berbahaya, bukan kemewahan.
Ketika perempuan menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada pasangan, berbagai risiko dapat mengancam mereka, mulai dari kehilangan sumber penghasilan jika suami jatuh sakit, mengalami pemutusan kerja, atau menghadapi perceraian. Bahkan jika suami memiliki kemampuan finansial yang memadai, tidak berarti perempuan bebas dari tekanan emosional, sosial, dan fisik. Dalam banyak kasus, perempuan tetap menanggung beban emosional rumah tangga, tanggung jawab pengasuhan anak, dan kerja domestik yang tidak dibayar.
Di sisi lain, dalam realitas masyarakat modern, tidak semua laki-laki bisa menjadi penyedia utama. Banyak rumah tangga yang membutuhkan peran finansial dari kedua pasangan agar bisa bertahan secara ekonomi. Ekspektasi bahwa suami harus menjadi tulang punggung keluarga tidak selalu dapat dipenuhi, terutama dalam kondisi ekonomi yang semakin menantang.
Tradwife di Indonesia: Norma Sosial dan Patriarki
Di Indonesia, fenomena tradwife mulai mendapatkan perhatian, meskipun praktiknya tidak sejelas di Barat. Namun, glorifikasi terhadap perempuan yang sepenuhnya tunduk pada suami, total dalam urusan domestik, dan menjadikan pernikahan sebagai identitas utama masih sangat kuat dalam budaya populer, pendidikan, dan media. Tayangan sinetron, iklan, serta narasi dalam buku pelajaran sering kali memperkuat peran istri yang melayani dan tidak menuntut.
Dalam konteks ini, feminisme tidak bertujuan menghakimi pilihan perempuan, apakah memilih bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. Feminisme justru menyoroti dari mana asal pilihan itu muncul. Apakah pilihan tersebut sungguh lahir dari kesadaran kritis atau dari internalisasi norma patriarkal yang dibungkus dalam narasi cinta dan pengorbanan?
Banyak perempuan yang memimpikan menjadi tradwife bukan karena memahami peran tersebut secara utuh, tetapi karena kelelahan menghadapi ketimpangan di dunia kerja, kurangnya dukungan negara, eksploitasi tenaga kerja, dan tekanan sosial yang tiada henti. Dalam kondisi seperti ini, menjadi ibu rumah tangga tampak seperti jalan keluar, padahal bisa menjadi bentuk jebakan baru.
Narasi tradwife sering kali menutup peluang perempuan untuk berkontribusi di ruang publik. Ia membatasi potensi perempuan dan menghilangkan ruang untuk bermimpi. Contohnya, Hannah Neeleman adalah lulusan sekolah seni bergengsi dan pernah bercita-cita menjadi ballerina profesional. Namun, mimpi itu harus ia kubur demi memenuhi ekspektasi peran sebagai istri dan ibu. Pertanyaannya, apakah itu benar-benar pilihan bebas atau bentuk kompromi terhadap tuntutan pasangan dan norma sosial?
Kesadaran dalam Memilih
Feminisme bukan hanya soal mendukung segala pilihan perempuan, tetapi juga soal mempertanyakan struktur sosial yang melahirkan pilihan-pilihan tersebut. Pilihan menjadi tradwife bisa membebaskan jika didasari kesadaran penuh dan memiliki ruang otonomi. Namun, bisa pula menjadi bentuk pembatasan jika hanya didorong oleh romantisasi semu.
Meski demikian, penting untuk mengingat bahwa perempuan yang memilih menjadi tradwife tetap memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang seimbang dan bermakna. Mereka bisa menjalankan peran domestik sambil tetap merawat identitas pribadi mereka: mengejar hobi, bergabung dengan komunitas, mengembangkan diri, dan bahkan menghidupkan kembali mimpi-mimpi mereka yang lama terkubur. Menjadi istri rumah tangga tidak berarti menyerahkan seluruh hidup kepada rumah semata.
Intinya, perempuan yang sudah menikah tetaplah individu yang utuh. Mereka tidak boleh dianggap selesai sebagai manusia hanya karena telah menjadi istri atau ibu. Oleh karena itu, penting memilih pasangan yang mendukung, memiliki kesetaraan visi, dan menghargai kemandirian pasangan. Hidup sebagai tradwife mungkin bisa menjadi pilihan yang membahagiakan, tetapi hanya jika dijalani dengan kesadaran, dukungan, dan ruang untuk berkembang sebagai pribadi.

Social Media Kami