Perempuan adalah Sebenar-benarnya Kelas Pekerja

“Ibu pekerjaannya apa?” 

“Saya gak kerja, saya cuma ibu rumah tangga” 

Sebuah jawaban yang lazim terdengar saat kita bertanya ihwal penghidupan, kepada seorang perempuan yang telah menikah. Entah itu ibu dari seorang kawan, orang asing di taman, atau berbasa-basi sembari menunggu tije datang. Bukan suatu perkara yang mengejutkan jika mereka berpikir demikian. Karena, kerja domestik yang sehari-hari mereka lakukan, yang menyita banyak waktu dan menguras habis tenaga, masih tak dinilai sebagai sebuah pekerjaan. Padahal, mengerjakan urusan rumah bukan satu hal mudah. 

Mengurus rumah artinya bergelut dengan rentetan kerja yang tak ada ujungnya. Bukan tanpa sebab pula jika para perempuan yang sebagai ibu rumah tangga (IRT) berpikir demikian. Hal ini karena, sampai saat ini kerja domestik memang tidak diakui oleh negara dengan segala instrumennya. Definisi kerja yang diilhami masyarakat pun hanya berpatok pada kapitalisme, yaitu wajib menghasilkan pundi-pundi uang sebagai berhalanya.

Kapitalisme dan Patriarki: Ular Bermata Dua yang Tak Kasat Mata

Dalam dunia kapitalisme, kerja produktif digambarkan dengan wajah laki-laki dan identik dengan urusan di luar rumah. Sementara urusan rumah atau domestik seperti mencuci, menyetrika baju, menyiapkan makanan dan memastikannya terhidang di atas meja, dianggap tidak memberi kontribusi yang signifikan, lebih lagi menghasilkan angka. 

Melakukan pekerjaan rumah direduksi sebagai peran “alamiah” perempuan semata. Kapitalisme yang berwatak culas, semakin melanggengkan budaya patriarki dan memberikan pengaburan makna antara mana yang kodrat, mana yang dibentuk. Sehingga, anggapan bahwa mengerjakan urusan domestik adalah sebuah kodrat perempuan; tentunya sangat menguntungkan keberlangsungan budaya patriarki yang beraliansi dengan kapitalisme. 

Keduanya, bagaikan ular berkepala dua yang sama-sama mengeksploitasi hidup perempuan. Kapitalisme enggan mengakui bahwa perempuan berkontribusi besar melalui kerja-kerja domestiknya, padahal ia sangat menguntungkan kapitalisme. Tapi begitulah kapitalisme, ia tidak tahu cara berterima kasih. Kapitalisme akan selalu mencari cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya sehingga ia akan menghindari tanggung jawab untuk memberi upah sekaligus perlindungan sosial atas kerja-kerja reproduktif ini. 

Dalam How Not to Skip Class: Social Reproduction of Labor and the Global Working Class (2017), Tithi Bhattacharya menegaskan bahwa kerja reproduktif yang termasuk dalam reproduksi sosial harus dipahami sebagai kerja yang vital. Karena, kerja reproduktif tidak hanya berbicara kerja domestik, namun juga kerja-kerja lain yang memastikan kelangsungan hidup manusia serta masyarakat, seperti merawat orang sakit, membesarkan anak, merawat lansia, memberi dukungan emosional. Semua yang dilakukan dalam rangka memelihara tubuh, jiwa, pikiran dan tenaga orang-orang agar bisa terus bekerja di ruang produksi

Memang, dalam kapitalisme, buruh laki-laki juga mengalami penindasan. Namun, banyak dari mereka yang melampiaskannya kepada perempuan, yang lagi-lagi menjadi korban. Buruh laki-laki yang tenaganya telah dihisap habis oleh pemilik modal di ruang produksi, saat kembali ke rumah, ia akan menghisap habis tenaga dari pasangan perempuannya. Misalnya, dengan mudah mereka akan berteriak meminta makan, disiapkan air hangat, atau meracau jika rumah terlihat berantakan.

Padahal, kerja reproduksi ini penting diberi penghargaan dengan reorganisasi struktural; dikelola secara kolektif dan dijamin haknya, melalui layanan sosial universal, seperti menggratiskan layanan kesehatan atau transportasi umum. Sayangnya, kebijakan neoliberal seperti privatisasi layanan publik dan pemangkasan subsidi sosial justru makin membebani perempuan dan memperparah ketimpangan kelas dan gender. 

Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Ibu Rumah Tangga (IRT) dalam Reproduksi Sosial

PRT dan IRT pada dasarnya adalah pelaku reproduksi sosial yang kerap diremehkan. Namun, PRT melakukan kerja reproduktif sebagai hubungan kerja upahan, ketika jasa mereka dibeli dengan pembayaran tertentu. PRT bekerja dalam kondisi pasar tenaga kerja, dan hubungan mereka dengan majikan adalah hubungan kerja formal, yang di dalamnya bisa terjadi negosiasi upah, dan jam kerja. Namun, dalam banyak kasus, PRT berada dalam kondisi ketidakamanan kerja karena sering kali dieksploitasi dan didiskriminasi atas latar belakangnya dari kelompok sosial yang termarjinalkan.

Sementara itu, istri dalam sistem keluarga heteronormatif melakukan kerja reproduktif dalam kerangka relasi keluarga, bukan hubungan kerja upahan. Kerja reproduktif istri dianggap sebagai bagian dari “tugas moral” atau “kewajiban emosional” dalam institusi keluarga, tanpa kompensasi finansial langsung. Meskipun ia vital bagi keberlangsungan keluarga dan kapitalisme, kerja reproduktif istri tidak diakui sebagai kerja formal dan sering kali dipandang sebagai ekspresi “cinta” atau “pengabdian” pribadi, bukan kontribusi ekonomi. 

Walaupun terdapat perbedaan pada hubungan produksi dan status sosialnya, keduanya tetap berkontribusi pada reproduksi sosial yang menopang kapitalisme. Sayangnya, PRT mengalami eksploitasi bertumpuk; sebagai pekerja upahan berupah rendah dan sebagai bagian dari kelompok subordinat ras, etnis, atau kelas. Sementara itu, IRT, meskipun tidak dibayar, tetap tereksploitasi dalam struktur keluarga yang patriarkal. Di Indonesia, advokasi untuk pengakuan kerja reproduktif tampak lebih maju di sektor PRT dibandingkan dengan kerja reproduktif istri. 

Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) selama lebih dari 20 tahun aktif mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PRT), yang bertujuan mengakui PRT sebagai pekerja formal yang berhak atas upah layak, jam kerja manusiawi, perlindungan sosial, dan bebas dari kekerasan. Namun, hingga kini RUU PRT tersebut mandek karena resistensi dari berbagai kelompok, termasuk sebagian anggota parlemen dan asosiasi majikan, yang menganggap PRT dan majikan sebagai “hubungan kekeluargaan” sehingga dianggap tidak perlu diatur ketat dalam hukum perburuhan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa regulasi ketat akan meningkatkan biaya mempekerjakan PRT dan memicu resistensi sosial dan ekonomi.

Di sisi lain, kerja reproduktif belum pernah menjadi subjek advokasi hukum formal. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, khususnya Pasal 34, peran istri masih dilihat sebatas pengelola rumah tangga sebagai kewajiban moral, bukan sebagai kerja ekonomi. Nihil pula pengakuan eksplisit bahwa kerja domestik dan reproduktif istri berkontribusi pada ekonomi keluarga maupun reproduksi sosial secara luas. Akibatnya, kerja reproduktif istri tetap tidak terlihat dan tidak dihargai, baik secara ekonomi maupun hukum.

Baca juga: Memasuki Tahun 2025, RUU PPRT Sampai Mana?

Role Model dalam Pengakuan Kerja Reproduktif

Ekuador, dalam memandang dan melindungi kerja domestik, selangkah lebih progresif daripada di Indonesia. Konstitusi Ekuador tahun 2008 secara eksplisit menyatakan bahwa kerja rumah tangga untuk pemeliharaan diri dan perawatan merupakan bentuk kerja produktif. Tak hanya itu, lewat UU LOJLRTH (Ley Orgánica para la Justicia Laboral y Reconocimiento del Trabajo en el Hogar) tahun 2015, kerja rumah tangga yang tidak dibayar diafirmasi sebagai kerja yang berhak atas jaminan sosial.

UU ini berupaya untuk memberikan akses parsial pada jaminan sosial bagi perempuan yang melakukan kerja reproduktif secara penuh, seperti penitipan anak dan perawatan disabilitas. Walau demikian, Hernandes dan Campos (2019) mengungkapkan masih ada ketidaksempurnaan regulasi. Perlindungan hukum belum sepenuhnya menyetarakan kerja reproduktif tak berbayar dengan kerja produktif lain. Sistem jaminan sosial masih belum secara adil dirasakan oleh semua pekerja rumah tangga mendapat layanan kesehatan penuh dan peran ayah dalam konstitusi tersebut masih minim secara hukum, sehingga beban reproduktif  masih di pundak perempuan.

Di atas Ekuador, terdapat Uruguay yang telah mengintegrasikan PRT dalam sistem hukum ketenagakerjaan umum. Mereka juga telah meratifikasi Konvensi ILO 189 pada tahun 2012, menjadikannya salah satu negara pertama di dunia yang mengambil langkah konkrit untuk memastikan kerja layak bagi PRT. Bahkan sebelum meratifikasi, Uruguay telah menunjukkan komitmennya terhadap pengakuan dan perlindungan PRT melalui Undang-undang Nomor 18.065 Tahun 2006 yang memasukkan PRT dalam perlindungan hukum umum ketenagakerjaan.

Dalam kebijakan tersebut, PRT memiliki hak setara dengan pekerja di sektor lainnya, yaitu berhak atas upah minimum nasional, jaminan sosial penuh (pensiun, tunjangan sakit, cuti melahirkan dan asuransi kecelakaan kerja), jam kerja yang diatur, hari libur mingguan, bahkan liburan tahunan berbayar. PRT juga dilindungi dari kekerasan seksual dan diskriminasi. Adanya peraturan ini membuat PRT memiliki posisi tawar di hadapan pemberi kerja. Sayangnya, menurut Assis (2023) kekurangan dari kebijakan ini belum ada penegasan kontrak yang tidak wajib dibuat secara tertulis

Contoh kebijakan di Ekuador dan Uruguay menunjukkan bahwa negara dapat secara aktif mengakui, melindungi, dan menghargai kerja reproduktif sebagai fondasi penting keberlangsungan kerja produksi. Indonesia perlu belajar untuk mempertimbangkan kerja reproduktif, terutama yang dilakukan oleh istri, sebagai bagian dari produktivitas nasional. Namun, yang terpenting diperlukan keberanian politik untuk menghapuskan marginalisasi sistemik terhadap kerja produktif yang melibatkan perempuan. Tanpa langkah-langkah politis yang tegas, kerja reproduktif akan terus terpinggirkan sebagai ekonomi tersembunyi yang menopang kerja produktif formal.

Sebagai pengingat di Hari Buruh Internasional, penting untuk diingat bahwa perjuangan untuk keadilan sosial tidak cukup hanya memperjuangkan upah di tempat kerja formal; ia harus meluas hingga mengubah kerja reproduktif menjadi hak sosial yang dijamin negara. Gerakan buruh hari ini perlu menyatukan buruh di sektor reproduksi sosial, mulai dari PRT, ibu rumah tangga, tenaga kesehatan, guru TK, dan lainnya, karena kerja-kerja ini saling menopang dan membentuk fondasi ekonomi. Gerakan buruh akan kehilangan daya dobraknya bila terus mengabaikan kerja reproduktif. Karena itu, perjuangan sejati untuk keadilan kelas dan gender hanya mungkin tercapai jika kita berani mengakui, menghargai, dan memperjuangkan kerja reproduktif sebagai kerja yang bernilai, layak diakui, dan dilindungi negara.

0 comments

Leave a Comment