Di balik slogan-slogan megah seperti “kampus unggulan” dan “kampus inklusif”, tersembunyi realitas yang jauh dari cita-cita keadilan dan kesetaraan. Bagi sebagian mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari kelompok minoritas, kampus bukanlah ruang aman untuk tumbuh dan berkembang, melainkan medan penuh ketakutan. Karena, kekerasan berbasis gender menyusup perlahan dalam bentuk yang tak selalu kasat mata, sehingga menghancurkan ketahanan mental korban dan mengikis mimpi-mimpi mereka dalam senyap.
Kekerasan yang Tidak Selalu Kasat Mata
Kekerasan berbasis gender di kampus tidak melulu berbentuk tindakan fisik. Banyak yang hadir dalam rupa yang jauh lebih halus, namun tak kalah melukai, seperti komentar merendahkan, sikap eksklusif, candaan seksis, stigma yang terus dilekatkan pada identitas tertentu. Inilah yang disebut kekerasan struktural, yaitu bentuk kekerasan sistemik yang terjalin dalam norma, aturan tidak tertulis, dan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kekerasan ini mungkin tak tampak di CCTV, tak viral di media sosial, namun dampaknya membekas dalam, sekaligus mengguncang rasa aman dan harga diri para korban.
Bagi mahasiswa perempuan, queer, penyandang disabilitas, atau mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi dan ras tertentu, luka itu terasa lebih dalam. Saat memasuki ruang kelas, organisasi kemahasiswaan, atau bahkan sekadar menyampaikan pendapat, yang menyambut mereka bukan apresiasi, melainkan sorot mata penuh penilaian, komentar bernada meremehkan, dan pengucilan yang terasa begitu nyata.
Tidak sedikit mahasiswa yang harus menahan napas setiap kali ingin bersuara, karena tahu bahwa ucapannya mungkin akan ditertawakan, disalahartikan, atau dijadikan bahan perundungan. Ada yang dihentikan dari organisasi karena identitasnya dianggap “tidak sesuai norma”. Ada pula yang menerima sindiran sinis hanya karena cara berpakaiannya, logat bicaranya, atau karena berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang sulit.
Ketika Identitas Berlapis Memperberat Luka
Kekerasan ini menjadi semakin kompleks ketika berkelindan dengan apa yang disebut Kimberlé Crenshaw sebagai interseksionalitas, yaitu persilangan berbagai identitas sosial yang memperparah ketidakadilan. Identitas-identitas seperti gender, ras, kelas sosial, orientasi seksual, hingga disabilitas saling berkelindan dan memengaruhi cara seseorang diperlakukan. Misalnya, seorang mahasiswi dengan disabilitas, bukan hanya rentan terhadap diskriminasi gender, tetapi juga terhadap stigma atas keterbatasan fisiknya. Seorang mahasiswa queer dari keluarga tidak mampu bisa mengalami penolakan ganda; sebagai individu dengan identitas gender yang berbeda dan sebagai orang yang dianggap “tidak pantas” karena status sosialnya.
Contoh lainnya adalah mahasiswa dari Papua yang bisa mengalami stereotip dan pengucilan tidak hanya karena warna kulit atau asal daerahnya, tetapi juga karena perbedaan logat, pandangan politik, dan budaya. Ketika identitas ini bersinggungan dengan gender atau orientasi seksual, diskriminasi menjadi semakin berlapis dan sistemik. Sehingga, kekerasan tidak lagi hanya berupa tindakan individu, tetapi menjadi bagian dari struktur yang dibiarkan bekerja tanpa perlawanan. Tanpa pemahaman terhadap kompleksitas identitas ini, mustahil bagi kampus untuk benar-benar menjadi ruang aman bagi semua.
Tidak jarang mahasiswa dengan identitas berlapis ini merasa harus menyembunyikan sebagian dari diri mereka demi bisa “bertahan” di lingkungan akademik. Mereka menjadi mahir menyesuaikan diri, tetapi bukan karena merasa “diterima”, melainkan agar tidak menjadi sasaran. Hal ini menciptakan tekanan mental yang luar biasa besar, dan memaksa mereka menekan potensi serta kebebasan berpikirnya sendiri. Tentu ini sangat berbeda jauh dari semangat kampus sebagai tempat berkumpulnya para mahasiswa. Tempat yang seharusnya menjadi ruang pembebasan dan ekspresi intelektual, justru menjelma menjadi arena seleksi sosial yang tidak adil. Dalam situasi seperti ini, ketakutan menjadi bukan hanya sesuatu yang dirasakan, tetapi menjadi bagian dari kurikulum tak tertulis yang harus dilalui setiap hari.
Sistem yang Membuat Korban Diam
Sistem kampus yang hierarkis dan maskulin sering kali justru melanggengkan kekerasan ini. Ketika mahasiswa melapor tentang pelecehan atau diskriminasi, tanggapannya sering kali minim, bahkan cenderung defensif. Korban diragukan, dianggap melebih-lebihkan, atau lebih buruk lagi, dituduh mencari perhatian. Banyak dari mereka yang akhirnya memilih diam, bukan karena tidak ingin melawan, tetapi karena lelah. Karena, melawan sistem yang kaku dan tidak berpihak terasa jauh lebih menyakitkan daripada menanggung luka sendirian.
Sering kali, ketika korban mencoba bersuara, mereka justru kehilangan lebih banyak, misalnya reputasi, relasi pertemanan, bahkan kepercayaan terhadap diri sendiri. Beberapa korban mengaku mengalami penurunan nilai secara tiba-tiba setelah mengadukan dosen yang melecehkannya. Ada pula yang dikeluarkan secara tidak langsung dari komunitas karena dianggap membawa “masalah pribadi” ke ranah publik. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang tumbuh dan belajar, kini berubah menjadi tempat bagi para korban merasa tidak diinginkan, tidak cukup baik, dan pada akhirnya mempertanyakan keberadaan mereka sendiri.
Bahkan, luka psikologis yang ditimbulkan tidak berhenti saat mereka lulus. Banyak korban yang membawa luka ini hingga ke dunia kerja, relasi personal, dan kehidupan sosialnya karena takut kembali disakiti. Kekerasan struktural ini adalah bukti bahwa kampus bisa menjadi tempat trauma yang justru merampas kenyamanan kuliah yang dibilang orang-orang; ia justru mencabut rasa aman untuk bermimpi dan berproses menjadi diri sendiri.
Saatnya Kampus Berhenti Pura-Pura Tidak Tahu!
Meski pemerintah telah mengesahkan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 sebagai regulasi untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi, implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak kampus yang hanya bergerak saat kasus sudah menjadi viral, bukan karena kesadaran akan pentingnya menciptakan ruang yang benar-benar aman. Regulasi tidak akan berarti jika hanya bersifat administratif tanpa perubahan budaya dan cara pandang di institusi pendidikan.
Oleh karena itu, sudah saatnya kampus berhenti pura-pura tidak tahu. Perubahan nyata harus dimulai dari pengakuan bahwa kekerasan struktural memang ada dan menghancurkan kehidupan banyak mahasiswa. Kampus harus mengambil langkah proaktif, bukan reaktif, dalam memberantas kekerasan ini. Dosen dan tenaga pendidik perlu mendapatkan pelatihan tentang isu kekerasan berbasis gender dan interseksionalitas. Ruang aman harus dibuka seluas-luasnya bagi korban untuk melapor tanpa rasa takut akan balasan atau pengucilan. Budaya akademik harus dirombak agar tidak hanya mengakui keberagaman secara simbolik, tetapi benar-benar menghargai dan melindungi setiap identitas.
Dibutuhkan keberanian dari pihak kampus untuk mendengar suara-suara yang selama ini dibungkam. Mendengar bukan sekadar memberi ruang bicara, tetapi benar-benar memahami, mengakui luka, dan bertindak untuk memulihkan. Setiap mahasiswa, siapa pun dia, berhak untuk merasa aman, didengar, dan dihargai. Kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi seharusnya menjadi rumah yang memungkinkan setiap individu untuk tumbuh tanpa rasa takut.
0 comments