"Kamu kok pelihara anjing? Perempuan Muslim harusnya tahu itu najis, ya!"
Pernahkah kamu mendengar kalimat seperti itu? Ia bukan hanya terdengar menghakimi, tapi juga menunjukkan bagaimana norma sosial dan agama sering kali digunakan untuk membatasi ruang gerak perempuan Muslim. Di tengah masyarakat yang memegang teguh tradisi keagamaan, perempuan, terutama perempuan Muslim yang memelihara anjing kerap mendapat perlakuan berbeda dibanding laki-laki. Padahal, kasih sayang terhadap hewan adalah bentuk kemanusiaan yang seharusnya tak mengenal batas gender atau agama.
Perempuan Muslim dan Pilihan Memelihara Anjing
Bagi banyak perempuan, menjadi dog mom adalah ekspresi kasih sayang dan tanggung jawab terhadap makhluk hidup. Namun, ketika seorang perempuan Muslim memelihara anjing, respons masyarakat bisa sangat keras, dari cibiran hingga stigma sebagai tidak taat agama. Tak jarang pula muncul anggapan bahwa perempuan yang memelihara anjing tidak suci, tak bisa salat dengan benar, atau bahkan melenceng dari ajaran Islam.
Yang menyedihkan, standar ini tak selalu diterapkan sama rata. Dalam beberapa kasus, laki-laki Muslim yang memelihara anjing justru dianggap keren, berjiwa maskulin, atau pemberani. Fenomena ini menunjukkan adanya bias gender dalam cara masyarakat memaknai relasi manusia dan hewan, terutama dalam kerangka keagamaan.
Baca Juga: Femisida: Ketika Perempuan Dibunuh Karena Mereka Perempuan
Contohnya dapat ditemukan di berbagai media sosial, salah satunya dalam unggahan reels Instagram dari akun @dedealzabar88. Dalam akunnya, ia kerap membagikan momen merawat anjing yang justru menerima berbagai komentar negatif, seperti mempertanyakan agamanya yang merupakan ranah personal.
Tak hanya itu, tahun 2021 silam, kisah Hesti, perempuan bercadar yang merawat 70 anjing juga menjadi polemik. Warga mempermasalahkan anjing peliharaan Hesti yang dianggap meresahkan. Dikatakan, Hesti menampung sekitar 70 ekor anjing yang jauh dari pemukiman warga. Namun, mereka kerap marasa terganggu karena menganggap hewan tersebut berisik dan merugikan, sekaligus mereka mempersoalkan agama Hesti yang seharusnya haram jika memelihara anjing. Mau tak mau, Hesti pun harus merelokasi 43 anjingnya.
Diskriminasi yang Berlapis bagi Perempuan
Ketika seorang perempuan Muslim memilih menjadi dog mom, Ia sering kali menghadapi penghakiman berlapis: dari masyarakat umum karena gendernya, dari komunitas muslim karena agama, dan dari struktur sosial yang menganggap itu pilihan "tak pantas". Hal ini mengingatkan kita pada konsep interseksionalitas, ketika berbagai bentuk penindasan saling bertumpuk dan memperparah diskriminasi terhadap individu tertentu.
Simone de Beauvoir dalam The Second Sex pernah mengatakan bahwa perempuan selalu didefinisikan "yang lain" oleh masyarakat. Sehingga, ketika mereka memilih jalan hidup yang tak sesuai ekspektasi, mereka dianggap menyimpang. Dalam hal ini, perempuan yang merawat anjing seolah mengalami dosa yang berlapis di mata masyarakat; karena menyayangi hewan yang dianggap najis, dan karena berani menantang norma.
Padahal, seharusnya pilihan itu sederhana, bukan? Namun kenyataannya, perempuan Muslim yang memelihara anjing sering kali menghadapi kritik yang jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Tak bisa dimungkiri, banyak tafsir keagamaan yang berkembang di masyarakat lahir dari sudut pandang patriarki. Akibatnya, norma-norma yang terbentuk sering kali tidak adil dalam menerapkan standar moral dan religius antara laki-laki dan perempuan.
Hal-hal yang dilakukan laki-laki bisa dianggap lumrah atau bahkan dipuji, sementara tindakan serupa dari perempuan justru dianggap sebagai pelanggaran moral atau agama. Sehingga, penghukuman terhadap perempuan Muslim yang memelihara anjing bukan hanya soal najis atau tidaknya hewan tersebut, tapi juga cerminan dari sistem sosial yang secara sistematis menempatkan perempuan dalam posisi yang selalu diawasi, dikoreksi, dan dikendalikan.
Memahami Najis dan Fleksibilitas Mazhab
Salah satu alasan utama perempuan Muslim mendapatkan tekanan memelihara anjing adalah karena pandangan fikih tentang najisnya anjing. Dalam banyak mazhab, air liur anjing dianggap najis mughallazah (najis berat) yang harus disucikan dengan cara tertentu, seperti dibasuh tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Namun, penting untuk dipahami bahwa Islam adalah agama yang kaya dengan keragaman pemikiran dan tak semua mazhab memiliki pandangan yang sama.
Mazhab Hanafi dan Maliki, adalah salah dua tak menganggap anjing sebagai najis. Menurut ulama Hanafiyah dalam Bada’i al-Sana’i fi Tartib al-Syara’i’, najis hanya berlaku pada air liur anjing jika mengenai sesuatu, jadi bukan keseluruhan badan anjingnya. Cara menyucikannya pun hanya dibasuh dengan air. Bahkan, hal ini pun masih diperdebatkan di kalangan mereka. Sementara Malikiyah, tak menganggap badan maupun air liur anjing sebagai hal yang menajiskan. Sehingga, tak ada cara khusus untuk menyucikan diri setelah bersentuhan dengan hewan ini.
Baca Juga: Mereka Mencintai Perempuan Sederhana dengan Syarat dan Ketentuan
Itulah mengapa, penting untuk diingatkan kembali bahwa Islam bukanlah agama yang monolitik. Ia dibangun atas tradisi ilmu yang dinamis, dengan berbagai pendekatan dan perbedaan yang seharusnya dihargai. Dalam masyarakat Muslim yang plural, sangat penting untuk menghargai keragaman interpretasi dalam Islam, termasuk dalam hal-hal fikih sehari-hari.
Oleh karena itu, tak adil rasanya jika menghakimi pilihan personal seseorang, dan hanya menggunakan satu pandangan mazhab tertentu sebagai tolok ukur dan kebenaran mutlak. Daripada mudah menuduh atau menghakimi, akan jauh lebih bijak jika kita memilih untuk memahami konteks, dalil, dan niat baik di balik tindakan seseorang. Karena pada akhirnya, Islam adalah agama yang menjunjung kasih sayang, bukan penghakiman.
Perempuan Juga Punya Hak Memilih dan Dihargai
Penting untuk melihat bahwa perempuan berhak memilih tanpa dihukum atau dicemooh. Sudah seharusnya kebebasan pribadi adalah hak setiap individu, dan perempuan tidak seharusnya dibatasi oleh aturan-aturan sosial yang mengekang kebebasan mereka. Ketika perempuan memilih untuk menjadi dog mom, itu adalah ekspresi dari kebebasan mereka dalam menentukan apa yang mereka inginkan dalam hidup, tanpa harus mengikuti tekanan sosial yang sempit.
Lagi pula, menjadi dog mom bukanlah bentuk pembangkangan terhadap agama. Sebaliknya, itu bisa jadi bentuk kepedulian, kasih sayang, dan tanggung jawab yang mengedepankan kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup. Dan, hal inilah yang justru luput dari masyarakat kita sekarang karena terlalu bertumpu pada penghakiman dan kebencian yang bersumber dari penafsiran sempit. Mereka terlalu fokus pada habluminallah, tapi kerap melupakan habluminannas dan habluminnal 'alam.
Judith Butler dalam Gender Trouble pun menekankan bahwa identitas gender dibentuk oleh tindakan sosial yang berulang, secara performativitas. Dengan menjadi dog mom, perempuan sebenarnya sedang mendefinisikan identitasnya sendiri di luar batasan-batasan sosial yang sempit. Mereka berusaha mendobrak normativitas yang selama ini masyarakat atur, dan itu adalah suatu bentuk perlawanan yang luhur sebagai bentuk kasih sayang terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Sudah waktunya masyarakat berhenti menghakimi perempuan Muslim yang memelihara anjing. Diskursus agama harus dibaca secara lebih fleksibel, adil, dan kontekstual, terutama ketika menyangkut hak individu atas pilihan hidupnya. Masyarakat kita harus lebih terbuka terhadap kebebasan perempuan islam untuk membuat keputusan hidup mereka, tanpa takut dihukum atau dipandang rendah hanya karena tidak mengikuti norma tradisional yang konservatif.
Memelihara anjing bukan hanya soal hobi, tapi juga soal keberanian seorang perempuan untuk melawan stigma. Sehingga, menjadi dog mom adalah tindakan penuh kasih, bukan kesalahan.
0 comments