Saya pertama kali mengenal istilah male loneliness epidemic (epidemi kesepian laki-laki), di diskursus X ketika penggunaannya semakin meluas untuk mengomentari berbagai cuitan dari akun-akun yang berbau misoginistik atau merendahkan perempuan secara general.
Di media sosial, diskursus mengenai semakin banyaknya laki-laki yang mengalami kesepian didiskusikan dalam berbagai sudut pandang. Tak jarang fenomena tersebut dianggap sebagai mitos seksis karena perempuan dianggap juga mengalami hal yang sama. Sementara, di narasi lainnya juga digunakan untuk menyalahkan perempuan yang kini dianggap semakin mandiri dan tidak lagi ‘membutuhkan’ laki-laki di kehidupan mereka.
Trixie Mattel, seorang drag queen yang membangun karirnya di Amerika Serikat, suatu ketika mengunggah cuitan yang jika diterjemahkan artinya, “Bagaimana jika ternyata selama ini Male Loneliness Epidemic berkaitan dengan perilaku straight men (laki-laki heteroseksual) itu sendiri?”
Cuitan tersebut mengundang respons yang beragam, sehingga mengundang pertanyaan di benak saya: apakah epidemi kesepian ini benar hanya dialami dan diakibatkan oleh laki-laki itu sendiri? Di luar konteks istilah pop culture yang bertebaran di internet, mengapa hal ini sampai disebut epidemi, dan bagaimana dampaknya secara sosial?
Konsep Maskulinitas Populer yang Justru Membatasi
Norma-norma berbasis gender, sebagaimana pengetahuan kolektif, tradisi, dan nilai-nilai yang dianut oleh berbagai kelompok, sangat memengaruhi koneksi sosial. Penelitian Kågesten, dkk. (2016) menunjukkan norma gender sangat bervariasi di berbagai konteks budaya, yang mengindikasikan bahwa maskulinitas bukanlah konstruksi yang seragam, melainkan dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, dan ekonomi.
Seperti yang disebutkan Connell & Messerschmidt (2005), maskulinitas di Jepang kerap dikaitkan dengan ketenangan, kerja keras, dan pengendalian diri, sedangkan di beberapa negara Amerika Latin, maskulinitas sering diasosiasikan dengan dominasi, keberanian, dan kehadiran aktif di ruang publik.
Meski demikian, terdapat norma-norma maskulinitas populer yang secara umum dikaji melalui Conformity to Masculine Norms Inventory, yang mencakup 11 aspek, yakni kemenangan, kontrol emosi, pengambilan risiko, kekerasan, dominasi, gaya hidup playboy, kemandirian, prioritas pada pekerjaan, kekuasaan atas perempuan, penolakan terhadap homoseksual, dan pencarian status.
Menurut Connell (2021) dalam Gender: In World Perspective dan Nordin, dkk. (2023), norma-norma ini mengatur bagaimana laki-laki seharusnya bersikap dan bertindak agar diterima oleh masyarakat. Norma yang dianggap umum tersebut memengaruhi anak laki-laki sejak usia dini hingga sepanjang hidupnya. Hal ini kerap mendorong laki-laki untuk menekan emosi dan ekspresi yang dinilai feminin, seperti empati, kepedulian, dan kerentanan.
Mendefinisikan Maskulinitas Toksik
Namun, konsep maskulinitas yang menjunjung tinggi ketangguhan, kemandirian, dan penyangkalan emosi, justru menciptakan jurang kesepian yang dalam bagi laki-laki. Ironisnya, nilai-nilai yang selama ini didefinisikan sebagai tanda “kejantanan” justru membatasi laki-laki untuk merasa terhubung, dicintai, dan didukung.
Dalam konteks inilah istilah toxic masculinity (maskulinitas toksik) mulai digunakan untuk menggambarkan bentuk maskulinitas yang merugikan laki-laki itu sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Tapi apakah semua bentuk maskulinitas pasti buruk? Di sinilah pentingnya membedakan mana yang sehat dan toksik.
Baca juga: Melihat Kembali Wacana "Cowok Greenflag" pada Tokoh Gwansik dalam When Life Gives You Tangerine
Istilah toxic masculinity awalnya muncul dari gerakan Mythopoetic Men’s Movement (MMM) pada tahun 1980-an, yang bertujuan mengembalikan ciri maskulinitas yang dianggap "murni" melalui retret dan ritual khusus laki-laki. Merujuk Harrington (2021), Shepherd Bliss, salah satu tokoh penting MMM, menggunakan istilah ini untuk menggambarkan karakter militeristik dan otoriter dari ayahnya sendiri. Seiring waktu, istilah ini berkembang ke ranah akademik, psikologi, dan budaya populer.
Meski definisi maskulinitas toksik masih sering diperdebatkan, banyak yang sepakat bahwa bentuk maskulinitas yang menjunjung dominasi, kekerasan, kontrol, ketakutan terhadap kelemahan, dan penyangkalan emosi, memiliki konsekuensi berbahaya (Salter, 2019; de Boise, 2019; Whitehead, 2021). Namun yang pasti, ia bukanlah identitas bawaan, melainkan hasil dari struktur sosial yang mengatur siapa yang dianggap “laki-laki sejati” dan siapa yang tidak.
Ketika Maskulinitas Toksik Menjadi Bumerang Sosial
Penelitian Nordin, dkk. (2024) menunjukkan perbedaan kecil pada statistik antara kesepian pada perempuan dan laki-laki. Meski perbedaan antar jenis kelamin ini bervariasi tergantung pada usia dan konteks studi, Statistics of Sweden pada tahun 2023 menunjukkan bahwa laki-laki memiliki lebih sedikit teman, serta lebih rentan mengalami rasa kesepian.
Dan, remaja laki-laki menjadi kelompok rentan yang mengalami kesepian, terlebih jika mereka hidup dalam budaya individualistik. Bahkan, Ernst, dkk. (2021) mengungkapkan mereka kerap terjebak dalam pikiran untuk bunuh diri.
Sebuah siklus negatif pun muncul: remaja laki-laki yang kesepian dan terasingkan secara emosional sejak kecil, akhirnya terus berupaya mencari koneksi dan validasi eksternal, termasuk di ruang digital. Sayangnya, sering kali mereka justru terseret pengaruh konten yang memperkuat stereotip gender negatif dan menempatkan perempuan sebagai oposisi.
Salah satu fenomena yang muncul di internet adalah naiknya popularitas manfluencers, yakni figur laki-laki yang membangun persona publik berdasarkan maskulinitas yang hyper competitive dan cenderung misoginis. Nama seperti Andrew Tate menjadi salah satu contoh paling anyar.
Dalam berbagai kontennya, Tate mengklaim bahwa laki-laki sejati harus dominan, kuat secara finansial, tidak emosional, dan memiliki kontrol atas perempuan. Narasi ini bukan hanya mengecilkan kompleksitas kehidupan laki-laki, namun juga menanamkan benih kebencian terhadap perempuan yang dianggap “terlalu mandiri” atau “tidak butuh laki-laki”.
Konsekuensi dari model maskulinitas ini tidak hanya berdampak buruk bagi perempuan, tetapi juga membebani laki-laki itu sendiri. Michael Kimmel, dalam Masculinity as Homophobia (1994), menjelaskan bahwa banyak laki-laki hidup dengan rasa takut "gagal" menjadi laki-laki sejati. Ketakutan ini bukan sekadar tentang kelemahan fisik atau emosional, tetapi tentang ketidakmampuan memenuhi standar maskulinitas dominan, yakni harus kuat, kompetitif, kaya, dan mampu mengontrol.
Dalam tekanan sosial semacam ini, laki-laki pun saling mengawasi dan menghakimi satu sama lain. Alih-alih menjadi ruang aktualisasi diri, menjadi laki-laki justru berubah menjadi ujian sosial yang melelahkan dan tak pernah selesai. Narasi-narasi yang dikemas dalam berbagai konten digital mungkin tampak mengagungkan sifat maskulin, namun pada kenyataannya hanya menciptakan ilusi akan koneksi dan kontrol. Laki-laki diajarkan untuk menganggap kelembutan dan vulnerabilitas sebagai kelemahan, yang padahal sifat ini juga terdapat dalam diri mereka.
Menormalisasikan Maskulinitas Sehat
Jalan keluar dari ‘epidemi’ kesepian ini tidak bisa hanya menyalahkan individu atau menyederhanakannya sebagai persoalan “kurangnya pasangan” bagi laki-laki. Justru, kita perlu secara kolektif membongkar norma-norma maskulinitas yang membatasi ruang ekspresi emosi dan koneksi sosial mereka. Dengan mulai menerapkan konsep maskulinitas sehat, yang menurut Flood (2020), didasari oleh keberanian untuk menunjukkan empati, mengelola emosi, menghargai kesetaraan gender, dan menolak kekerasan sebagai cara menunjukkan ‘kejantanan’.
Menurut jurnalis dan penulis How to Raise Kids Who Aren't Assholes (2021), Melinda Wenner Moyer, setiap anak laki-laki berhak tumbuh tanpa dihukum atau dipermalukan karena perasaan mereka. Ketika tumbuh dengan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual, mereka akan menjadi manusia yang lebih sehat, bahagia, dan penuh kasih. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh diri mereka sendiri, tetapi juga oleh perempuan dan kelompok minoritas yang sering menjadi bagian dari lingkaran terdekat mereka.
Sebagai perempuan, saya tumbuh di lingkungan sosial yang secara konsisten menuntut laki-laki untuk tampil kuat, rasional, dan tidak menunjukkan kelemahan. Dalam struktur budaya semacam ini, beban emosional sering kali dialihkan secara tidak sadar kepada perempuan, yang dianggap lebih wajar untuk bersikap lembut dan menenangkan. Ketika laki-laki tidak diberikan ruang untuk mengakses atau mengekspresikan emosi mereka secara sehat, perasaan-perasaan yang terpendam itu kerap muncul dalam bentuk pelampiasan emosi, dominasi, atau bahkan tindakan abusif.
Karena itu, mendorong maskulinitas sehat bukan hanya menjadi isu bagi laki-laki, tetapi juga berkaitan erat dengan upaya kolektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah memberi ruang bagi laki-laki untuk merawat sisi-sisi manusiawinya, termasuk menormalisasi tangisan, kebutuhan akan dukungan emosional, serta membangun koneksi yang aman tanpa rasa malu. Di saat yang sama, perempuan juga perlu merefleksikan ulang bias-bias yang telah diinternalisasi, baik dari didikan, media, maupun lingkungan, terkait ekspektasi sempit terhadap laki-laki.
Sejumlah pakar maskulinitas menyebut feminisme sebagai antidote bagi maskulinitas toksik. Nilai-nilai feminis mampu meluruhkan batas-batas kaku dalam identitas maskulin. Namun, perjuangan ini tentu tidak mudah. Wacana tentang maskulinitas sehat masih terus mendapat perlawanan dari kelompok misoginis yang ingin mempertahankan dominasi mereka dalam tatanan sosial dan gender.
Karena itu, perubahan besar dalam struktur sosial harus dimulai dari perubahan kecil dalam diri masing-masing. Ketika laki-laki diberi kebebasan untuk merasa tanpa takut direndahkan, untuk meminta tolong tanpa dicap lemah, serta untuk hadir dalam hubungan secara utuh, kita membuka jalan menuju bentuk maskulinitas yang tidak lagi dibangun dari rasa takut, dominasi, atau kekerasan terhadap siapa pun.
0 comments