Ekosida: Ketika Rusaknya Lingkungan Mematikan Perempuan

Kerusakan lingkungan bukan hanya sekadar masalah ekologis, melainkan juga persoalan keadilan sosial yang lebih dalam. Perubahan iklim, deforestasi, pencemaran air, polusi udara, dan berbagai bentuk eksploitasi alam kini terjadi dalam skala besar dan masif. Fenomena ini dikenal dengan istilah ekosida, yakni kerusakan atau pemusnahan ekosistem yang membawa dampak signifikan bagi keberlangsungan hidup manusia. 

Di balik krisis ini, perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak. Ketika alam rusak, perempuanlah yang lebih dahulu merasakan dampaknya, baik secara ekonomi, sosial, maupun emosional. Selain korban, perempuan juga berada di garis terdepan dalam mengelola kebutuhan dasar keluarga, seperti pangan, air, dan energi rumah tangga.

Kelindan Ekosida dan Perempuan

Masifnya kerusakan lingkungan karena ekosida, membuat ekosistem hancur secara permanen. Konsep ini muncul untuk menegaskan bahwa kerusakan alam adalah kejahatan yang memiliki implikasi serius terhadap keberlangsungan hidup manusia. 

Indikator ekosida dapat dilihat dari hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran air dan udara, perubahan iklim ekstrem, hingga degradasi tanah yang membuat ekosistem tidak lagi mampu mendukung kehidupan. Dampaknya pun dirasakan seluruh lapisan masyarakat. 

Sayangnya, perempuan yang berkali-kali lipat merasakan dampaknya. Hal ini karena peran sosial mereka yang sering kali terkait dengan pengelolaan sumber daya alam untuk kehidupan sehari-hari. Perempuan dianggap bertanggung jawab untuk menyediakan air, makanan, dan energi rumah tangga. Beban mereka pun semakin berat ketika sungai tercemar, hutan gundul, atau hasil laut menurun.

Tidak hanya kehilangan akses terhadap sumber daya, perempuan juga kerap menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun emosional. Beban domestik meningkat karena perempuan harus mencari cara untuk menggantikan sumber pangan dan air yang hilang. Misalnya, di wilayah pesisir Demak yang terdampak banjir rob, perempuan rentan mengalami KDRT seiring dengan tekanan ekonomi dan psikologis akibat krisis lingkungan tersebut.

Baca juga: Perempuan dan Beban Sampah yang Timpang: Zero Waste, Zero Equality?

Ekosida di Indonesia, Perlahan Membunuh Perempuan

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan alam melimpah, kini menghadapi ancaman ekosida yang nyata. Deforestasi di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera, misalnya, telah menghilangkan jutaan hektar hutan yang menjadi sumber pangan, air, dan obat-obatan bagi masyarakat lokal, terutama perempuan adat. Padahal, kehilangan hutan berarti kehilangan akses terhadap pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun. 

Perempuan yang sebelumnya mengumpulkan hasil hutan untuk kebutuhan rumah tangga kini terpaksa mencari sumber penghasilan baru, sering kali dalam kondisi kerja yang tidak adil. Pratiwi dan Gina (2017) menemukan perempuan nelayan di daerah Demak menghadapi penurunan drastis hasil laut akibat reklamasi, polusi, dan kenaikan permukaan laut. Banjir rob menyebabkan mereka kehilangan rumah, penghidupan, dan akses pada layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. 

Perempuan pesisir yang biasanya mengolah hasil tangkapan laut untuk dijual kini kehilangan mata pencaharian. Padahal, mereka sudah berupaya beradaptasi. Karena, sebelum menjadi nelayan, mayoritas mata pencaharian mereka adalah petani. Namun, kerusakan yang terjadi kembali membuat kehidupan mereka terdampak. Seperti ekonomi keluarga, ketahanan pangan, dan kesehatan komunitas.

Tambang batubara dan perkebunan sawit juga menjadi penyebab utama ekosida di Indonesia. Di Kalimantan Timur, air sungai dan sumur telah tercemar limbah berbahaya. Perempuan pun harus berjalan jauh atau mengeluarkan biaya besar untuk mendapatkan air bersih. Padahal, akses terhadap air bersih sangat krusial bagi perempuan, terutama untuk kebutuhan kebersihan saat menstruasi, kehamilan, persalinan, dan merawat anak.

Patriarki, Kapitalisme, dan Ekosida

Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini tidak bisa dilepaskan dari dominasi patriarki dan kapitalisme. Vandana Shiva, aktivis lingkungan asal India, dalam Staying Alive: Women, Ecology, and Development (1988) menegaskan bahwa logika patriarkal memandang alam sebagai objek yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Alam diperlakukan seperti tubuh perempuan; bisa ditundukkan, dieksploitasi, dan diperas demi kepentingan ekonomi. 

Shiva menilai bahwa modernisasi dan industrialisasi yang digerakkan oleh kapitalisme sering mengabaikan nilai-nilai merawat, harmoni, dan keberlanjutan, yang selama ini dipegang kuat oleh perempuan dalam menjaga kehidupan. Maria Mies, dalam karyanya Ecofeminism (1993) bersama Vandana Shiva, juga mengkritik bagaimana kapitalisme global menggantungkan keberlangsungan sistemnya pada eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja perempuan. 

Kapitalisme tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga memanfaatkan kerja perawatan yang dilakukan perempuan tanpa pengakuan maupun kompensasi. Mies melihat bahwa perempuan dan alam berada di posisi yang sama sebagai pihak yang dieksploitasi, karena keduanya dianggap tak memiliki suara dalam sistem ekonomi yang dominan. 

Padahal, kedekatan perempuan dengan alam adalah realitas yang lahir dari pengalaman historis mereka dalam mengelola pangan, air, dan kehidupan sehari-hari. Perempuan memiliki pengetahuan lokal yang mampu menciptakan model pembangunan berkelanjutan, jika mereka diberi ruang dalam proses pengambilan keputusan.

Baca juga: Perempuan dalam Jerat Konsumerisme: Ulasan Kritis dari Film Dokumenter “Buy Now! The Shopping Conspiracy”

Perjuangan Melawan Ekosida

Di tengah semua bencana ini, kita bisa mengingat kembali perlawanan perempuan terhadap ekosida, seperti yang dilakukan gerakan Kartini Kendeng di Jawa Tengah. Para petani perempuan Kendeng menolak pembangunan pabrik semen yang mengancam sumber air dan tanah pertanian. Dengan aksi simbolis berlumur semen di kaki mereka, para perempuan ini mengingatkan dunia bahwa tubuh dan tanah adalah satu kesatuan yang harus dijaga.

Perjuangan lainnya juga tergambar kuat dalam sosok Aleta Baun dari Mollo, Nusa Tenggara Timur. Ia memimpin ratusan perempuan adat menenun di lokasi tambang sebagai bentuk protes damai terhadap eksploitasi marmer. Karena baginya, menjaga lingkungan berarti menjaga kehidupan.

Ini membuktikan ekosida memperburuk kehidupan perempuan adat. Mereka kehilangan tanah, air, dan sumber pangan utama, sementara akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi semakin terbatas. Ketika konflik agraria atau proyek industri muncul, merekalah yang kerap menjadi korban intimidasi dan kekerasan.

Baca juga: Di Balik Megahnya PIK Ada Perempuan-Perempuan yang Terpinggirkan

Karenanya, keadilan ekologis tidak dapat dipisahkan dari keadilan gender. Tanpa melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan, kebijakan lingkungan akan terus gagal menjawab persoalan di lapangan. Partisipasi perempuan harus diakui sebagai fondasi utama untuk menciptakan keberlanjutan. Sebab, pengetahuan lokal perempuan, seperti praktik pertanian organik atau konservasi berbasis komunitas, adalah solusi nyata untuk memulihkan ekosistem. 

Oleh karenanya, ekosida adalah peringatan keras bagi umat manusia bahwa bumi tidak bisa terus dieksploitasi tanpa batas. Khususnya pemerintah tamak, yang terus berpijak pada alam seolah-olah ia satu-satunya sumber daya yang bisa dikeruk tanpa henti. Karena perempuan adalah saksi pertama dari hancurnya alam, dan mungkin akan menjadi yang terakhir bertahan ketika segalanya telah musnah.

0 comments

Leave a Comment