Perempuan dalam Jerat Konsumerisme: Ulasan Kritis dari Film Dokumenter “Buy Now! The Shopping Conspiracy”
Perempuan dalam Jerat Konsumerisme: Ulasan Kritis dari Film Dokumenter “Buy Now! The Shopping Conspiracy”
Dari krisis pengelolaan sampah plastik hingga perubahan iklim, isu lingkungan kini sudah menempati mediumnya tersendiri di antara diskusi-diskusi kelompok muda, termasuk perempuan. Pendekatan kampanye peduli lingkungan tidak lagi hanya milik organisasi atau kelompok tertentu, melainkan telah bertransformasi dalam dunia konten digital, di mana semua pengguna media sosial dibuat relate dengan permasalahan sampah di kehidupan sehari-hari.
Belum lama ini, mulai bermunculan “sustainable influencer”, sebutan untuk influencer yang giat membuat konten tentang sustainable living atau gaya hidup ramah lingkungan. Salah dua yang mungkin sering berseliweran di algoritma Instagram kita adalah Nupi (@ceritanupi) dan Cempaka (@casriani).
Bersama pasangannya, Nupi rutin membuat konten aktivitas sehari-hari mereka seperti mengompos, mengurangi penggunaan plastik dan kemasan sekali pakai lainnya, menerapkan gaya hidup slow fashion, dan masih banyak lagi. Sementara itu, Cempaka sering bicara soal pengalamannya merubah pola hidupnya yang semula konsumtif menjadi lebih mindful atau sadar.
Jauh sebelum hadirnya sustainable influencer, kita pernah mendengar nama Greta Thunberg, seorang perempuan muda aktivis lingkungan asal Swedia yang konsisten menyuarakan isu lingkungan sampai hari ini. Pada saat acara peluncuran bukunya yang berjudul “The Climate Book” di tahun 2022, Greta secara terang-terangan mengkritik sistem kapitalisme yang mengeksploitasi lingkungan. Ia melihat kapitalisme dan isu lingkungan juga saling berkaitan dengan kolonialisme, imperialisme, penindasan, dan genosida.
Keterpanggilan saya pada isu lingkungan telah mengantarkan saya untuk menonton film dokumenter yang berjudul “Buy Now! The Shopping Conspiracy” di Netflix. Bagi saya, film ini mengajak kita semua untuk merefleksikan ulang gaya hidup konsumtif yang berpotensi meningkatkan jumlah produksi sampah, terutama sampah yang sulit diurai seperti plastik. Film ini juga menyadarkan kita, perempuan, yang diam-diam adalah korban kapitalisme dalam setiap lini kehidupan.
Strategi Pemasaran Licik oleh Pelaku Industri
Sebagai konsumen, mungkin kita perlu mempertanyakan, bagaimana perusahaan-perusahaan besar, seperti Amazon, merancang strategi pemasaran yang terus mendorong kita untuk tidak berhenti berbelanja? Ternyata, mereka sudah lama menerapkan sistem digitalisasi yang canggih. Melalui tombol “Buy Now!”, mereka mereka memberi kemudahan konsumen untuk membeli barang tanpa berpikir panjang. Dan, strategi ini terbukti efektif dalam meningkatkan frekuensi pembelian dan volume konsumsi.
Tak hanya itu, promosi besar-besaran seperti diskon akhir tahun dan hari belanja nasional juga dijadikan jalan pintas untuk menghabiskan stok barang yang tidak habis terjual. Strategi ini terdengar familier bagi kita yang sering memburu diskon saat tanggal kembar atau hari gajian di e-commerce. Padahal, secara tak langsung, sistem ini juga sekaligus menciptakan kebiasaan konsumsi impulsif di kalangan masyarakat kelas menengah.
Baca juga: Bertaruh Asa dengan Algoritma Fitur "Grab Hemat": Perlawanan Sunyi Pengemudi Ojol Perempuan
Film ini juga membeberkan tentang praktik planned obsolescence. Strategi ini digunakan mayoritas perusahaan untuk terus menerus merilis seri terbaru produk gawai mereka secara berkala, sehingga produk lama menjadi terkesan “usang” dan tidak “up-to-date”. Para pengguna produk Apple, seperti saya sendiri, pasti paham betul bagaimana perusahaan ini selalu punya gebrakan untuk mempromosikan produk baru mereka. Cara ini juga diadaptasi oleh industri lainnya, seperti fashion, aksesoris, hingga skincare, yang semuanya diproduksi serba cepat tanpa memperhatikan keberlanjutan.
Akibatnya, praktik tersebut berkontribusi besar terhadap meningkatnya volume sampah elektronik secara global. Dalam film tersebut, salah satu informan yang pernah bekerja di Apple memberi kesaksian bahwa strategi peningkatan konsumsi sering kali tidak disertai dengan tanggung jawab CEO untuk memikirkan mekanisme pengelolaan limbah elektronik yang ditimbulkan dari roda bisnisnya.
Negara Dunia Ketiga Jadi Tempat Pengepul Sampah
Sebuah cuplikan video amatir dalam film ini memperlihatkan sampah elektronik dari berbagai negara dibuang dan bermuara di satu titik, yaitu Thailand. Pejabat negeri gajah putih ini pun menyita 238 ton limbah elektronik ilegal yang diimpor dari Amerika Serikat di pelabuhan Bangkok. Limbah tersebut datang dalam 10 kontainer besar dan awalnya dilaporkan sebagai “logam bekas campuran”. Namun setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata isinya adalah papan sirkuit elektronik yang tercampur besi tua.
Film ini juga menyinggung praktik perusahaan besar seperti Apple, yang secara sengaja merancang perangkat mereka agar hanya bisa diperbaiki oleh teknisi bersertifikat di pusat servis resmi. Jadi, alih-alih memperbaikinya, konsumen malah didorong untuk membeli produk baru saat terjadi kerusakan. Inilah yang menjadi awal mula timbunan sampah elektronik yang semakin sulit didaur ulang dan membahayakan pekerja informal yang mengurai limbah tersebut tanpa perlindungan memadai.
Hal serupa juga terjadi dalam industri fashion, H&M misalnya. Mereka secara aktif melakukan kampanye daur ulang pakaian bekas kepada para konsumennya. Namun nyatanya, pakaian yang dikumpulkan tidak benar-benar didaur ulang oleh mereka, melainkan dikirim ke Ghana. Akibatnya, negara dunia ketiga seperti Ghana mengalami krisis limbah tekstil yang membebani lingkungan dan masyarakat lokal. Praktik ini mencerminkan ketimpangan struktural dalam sistem ekonomi global, karena negara-negara berkembang tetap diposisikan sebagai penampung limbah negara maju.
Baca juga: Perempuan adalah Sebenar-benarnya Kelas Pekerja
Implikasi lainnya muncul dari tren thrifting yang kini populer sebagai gaya hidup berkelanjutan. Meski terlihat ramah lingkungan, bisnis thrifting skala besar justru memperparah masalah dengan memindahkan surplus pakaian dari negara-negara maju ke negara berkembang atau bahkan miskin. Alih-alih menyelesaikan akar masalah konsumsi berlebihan, bisnis ini hanya mengalihkan tanggung jawab limbah ke negara-negara yang tak memiliki sistem pengelolaan sampah yang memadai.
Perempuan sebagai Target Utama Bidikan Pasar Kapitalis
Di balik strategi pemasaran yang licik, terdapat perempuan yang menjadi target utama dalam sistem konsumsi kapitalistik. Tim marketing perusahaan memanfaatkan berbagai cara yang manipulatif untuk menarik perempuan agar terus menerus membeli produk perawatan dan kecantikan. Setiap brand skincare dan makeup berlomba-lomba menawarkan secercah harapan, seolah-olah produk mereka menjadi satu-satunya produk yang dapat diandalkan setiap perempuan.
Menyoal klaim-klaim yang tak realistis, beberapa perusahaan skincare dan makeup mengandalkan teknik fear mongering untuk mempercepat penjualan produk. Cara ini memungkinkan perempuan sebagai konsumen percaya bahwa jika mereka tidak memakai produk tertentu, maka kulit mereka akan rusak atau tidak menarik.
Selain itu, barang-barang seperti pakaian dan tas bermerek juga dipasarkan sebagai barang eksklusif, dengan embel-embel edisi terbatas dan kampanye iklan yang melibatkan selebriti atau influencer populer. Strategi marketing semacam ini sengaja menciptakan rasa FOMO (Fear of Missing Out), sehingga banyak perempuan merasa tidak mau ketinggalan untuk membeli, meskipun produk tersebut tidak terlalu dibutuhkan.
Melalui film ini, saya benar-benar merenungkan sistem kapitalisme yang menjadikan tubuh perempuan sebagai target pasar utama. Mereka bukan membuat produk yang menyesuaikan kebutuhan perempuan, tapi menciptakan pasar yang dibutuhkan perempuan guna menjaga perputaran uang dan keuntungan kapital agar tetap berjalan, seperti yang dijelaskan Vandana Shiva dalam “Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India”.
Baca juga: Menentang Standar Kecantikan yang Dibentuk Media: Menerima Diri dan Merayakan Keberagaman
Shiva berpendapat bahwa logika patriarki yang mendominasi perempuan juga diterapkan oleh kapitalisme untuk mengeksploitasi alam. Hal ini karena, sistem patriarki cenderung memandang baik perempuan maupun alam sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi demi keuntungan dan kekuasaan.
Selain itu, perempuan yang selama ini hidup berdampingan dengan alam pun menjadi korban yang sering tak terlihat. Di banyak kebudayaan masyarakat, perempuan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan air, makanan, dan bahan bakar bagi keluarga mereka. Ketika sumber daya alam ini menipis atau rusak, perempuan harus bekerja lebih keras dan lebih lama untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut.
Meskipun perempuan menjadi kelompok paling terpinggirkan dari kerusakan lingkungan, Shiva menyoroti bahwa perempuan juga menjadi pemimpin dalam perjuangan masa depan yang lebih berkelanjutan. Perempuan sering kali berada di garis terdepan dalam gerakan-gerakan lingkungan, seperti halnya Nupi, Cempaka, dan Greta.
Maka, sudah saatnya bagi setiap perempuan mengambil sikap politis dalam menghadapi isu lingkungan. Pilihan konsumsi yang lebih sadar serta bertanggung jawab dengan pengelolaan sampah dapat menjadi awal yang progresif. Kita yang terkapasitasi bisa mulai dengan hal-hal sederhana, seperti mengurangi penggunaan produk sekali pakai, memilih barang yang tahan lama, menggunakan kembali wadah atau kemasan yang ada, serta lebih bijak dalam membeli produk perawatan diri. Artinya, membeli seperlunya, sesuai kebutuhan, dan tidak semata karena tren atau tekanan sosial.

Social Media Kami