Menolak Lupa Kekerasan dan Femisida di Bulan Mei 1998

Dalam situasi hari ini, adanya wacana penulisan ulang sejarah dan berbagai bentuk penyangkalan, Komnas Perempuan menyerukan pentingnya untuk terus mengingat, menjaga ingatan kolektif, dan memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang menjadi korban dalam tragedi kelam perkosaan Mei 1998.

Mei 1998 adalah titik balik dalam sejarah politik Indonesia. Rezim Orde Baru berakhir, dan kata “reformasi” menjadi jargon kebangkitan demokrasi. Namun, dalam euforia reformasi itu, luka yang terjadi di era Orde Baru tak akan pernah hilang dari ingatan. Femisida dan kekerasan seksual pada perempuan, khususnya perempuan Tionghoa, hingga kini tak pernah mendapat keadilan. Dalam peristiwa Mei 1998, kita melihat bagaimana perempuan yang berani bersuara justru dibungkam melalui perenggutan nyawa.

Salah satu nama yang melekat dalam memori kolektif adalah Ita Martadinata Haryono. Seorang perempuan keturunan Tionghoa berusia 18 tahun yang aktif mendampingi korban pemerkosaan Mei 1998 dan dijadwalkan memberikan kesaksian di forum PBB. Namun, sehari sebelum keberangkatannya, ia ditemukan tewas dibunuh secara mengenaskan di rumahnya. Kematiannya memperlihatkan pesan teror terhadap siapapun yang berani membuka kejahatan negara.

Kita juga tak boleh lupa Marsinah, buruh perempuan yang dibunuh karena memperjuangkan hak-haknya sebagai pekerja. Meskipun kematiannya terjadi pada Mei 1993, lima tahun sebelum kerusuhan, kisah Marsinah menjadi bagian dari narasi panjang tentang bagaimana negara secara langsung membungkam perempuan yang melawan.

Suara Perempuan dan Politik Tubuh

Maraknya femisida pada bulan Mei, memperlihatkan ini bukan sekadar pembunuhan, melainkan aksi sistemik yang bertujuan membungkam, mengintimidasi, dan mengontrol perempuan. Dalam kerusuhan Mei 1998, kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa bukanlah insiden acak. Ia adalah bentuk kekerasan terorganisir yang menjadikan tubuh perempuan sebagai simbol dominasi, penghinaan, dan kontrol etnis serta gender.

Judith Butler dalam Bodies That Matter (1993) menjelaskan bahwa tubuh perempuan selalu dikonstruksikan secara politis dan kultural. Perempuan yang menyimpang dari norma keperempuanan yang “jinak” dan “patuh” akan dianggap membahayakan tatanan sosial. Ketika perempuan menjadi subjek aktif politik atau perlawanan, tubuhnya tak hanya ditolak, tapi juga diserang agensinya.

Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) menunjukkan pemerkosaan tak hanya terjadi dalam skala luas, tapi juga disertai dengan penganiayaan, pembunuhan, dan penghancuran martabat manusia. Kekerasan ini bersifat lintas kelas sosial, menunjukkan bahwa siapa pun yang dianggap “lain” paling rentan menjadi sasaran.

Yang paling menyakitkan adalah impunitas yang menyertainya. Tak satupun pelaku diadili. Negara absen dalam memberikan perlindungan dan keadilan. Bahkan pembunuhan terhadap Ita Martadinata direduksi sebagai perampokan biasa, meski bukti dan konteks sosial mengarah pada upaya sistematis untuk membungkam.

Ditambah, pernyataan tokoh sekaliber Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, menambah luka kolektif. Ia secara terang-terangan menyatakan bahwa tragedi Mei 1998 bukan pelanggaran HAM. Pernyataan ini menunjukkan sikap abai negara terhadap keadilan yang mengabaikan kesaksian para penyintas dan temuan berbagai lembaga independen. Ironisnya, pernyataan tersebut datang dari pejabat yang justru seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia.

Baca juga: Femisida: Ketika Perempuan Dibunuh Karena Mereka Perempuan

Negara, Kekuasaan, dan Kekerasan Seksual

Kekerasan yang terjadi pada tahun 1998 menunjukkan bahwa negara bukan hanya gagal melindungi perempuan, tapi juga menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Seperti dijelaskan Sylvia Walby melalui konsep patriarki negara dalam Theorizing Patriarchy (1990), negara modern tak netral terhadap gender. Ia dibangun di atas kontrak sosial yang menyisihkan perempuan dari ruang publik dan mendefinisikan mereka dalam relasi ketundukan. Negara seharusnya berperan aktif atau setidaknya permisif terhadap kekerasan berbasis gender, baik melalui kebijakan maupun melalui pembiaran.

Komnas Perempuan memang dibentuk pada tahun 1998 sebagai respons terhadap tragedi ini. Namun, Komnas Perempuan tidak memiliki kewenangan hukum untuk mengadili pelaku. Ia hanya mampu memberikan rekomendasi dan mendokumentasikan kasus. Ini menunjukkan bagaimana negara enggan benar-benar menyentuh akar masalah, yaitu kekerasan seksual sebagai alat politik dan alat represi berbasis gender dan ras.

Lebih dari dua dekade setelah tragedi Mei, kita melihat bagaimana negara tidak hanya gagal menyelesaikan pelanggaran HAM berat, tetapi juga dengan terang-terangan merayakan para pelakunya. Prabowo Subianto, yang namanya disebut dalam laporan penculikan dan kekerasan terhadap aktivis serta diduga mengetahui kekerasan seksual dalam kerusuhan 1998, kini menjabat sebagai presiden. Kenaikannya ke tampuk kekuasaan adalah ironi pahit dan bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi dan keadilan. Alih-alih mempertanggungjawabkan masa lalu, negara kini membungkam ingatan kolektif dan menormalisasi pelanggaran HAM.

Lebih mencengangkan lagi, wacana untuk menjadikan Soeharto arsitek Orde Baru dan simbol kediktatoran sebagai pahlawan nasional. Ini adalah bentuk pembersihan sejarah (historical revisionism) yang sangat berbahaya. Dalam narasi ini, Soeharto dimuliakan tanpa menyentuh darah, tubuh, dan trauma yang ditinggalkannya. Jika negara memuliakan pelaku kekerasan, maka siapa yang akan memperjuangkan keadilan untuk korban?

Baca juga: Politik Seksualitas: Program Keluarga Berencana (KB) sebagai Warisan Pemerintahan Orde Baru

Trauma Kolektif dan Ingatan Feminis

Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 meninggalkan luka yang dalam. Para korban bukan hanya diperkosa, mereka dipaksa untuk diam. Mereka kehilangan rasa aman, identitas, dan kadang hidupnya. Trauma ini menular secara kolektif ke komunitas perempuan dan masyarakat etnis Tionghoa. Sehingga, ingatan pun kini menjadi tindakan politis.

Setiap bulan Mei, kita perlu mengingat kembali apa yang terjadi pada perempuan saat itu. Menolak lupa adalah bentuk perlawanan. Kita harus memahami bahwa femisida dan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 bukan hanya sejarah kelam, tetapi cermin sistem yang masih hidup hari ini. Ketika perempuan mengalami pelecehan di ruang publik, ketika korban kekerasan seksual harus membuktikan dirinya tak bersalah, ketika penyintas trauma dianggap “mencemarkan nama baik”, kita melihat sisa-sisa sistem yang sama.

Mengingat Ita, Marsinah, dan ratusan perempuan lainnya bukan sekadar bentuk belasungkawa. Ini adalah komitmen untuk tak membiarkan negara lepas tangan. Dalam masyarakat yang patriarkal dan otoriter, suara perempuan selalu dianggap ancaman. Ketika perempuan bicara tentang keadilan, mereka dianggap mengganggu ketertiban. Ketika perempuan membongkar kekerasan, mereka dianggap membahayakan stabilitas. Dan, ketika perempuan menolak diam, kekerasan kerap dijadikan cara terakhir untuk pembungkaman. 

0 comments

Leave a Comment