Thelma & Louise (1991): Ruang Menembus Batas Perlawanan dan Kebebasan

Film lawas Thelma & Louise yang lahir ke kancah perfilman internasional pada tahun 1991 selalu asyik untuk diperbincangkan. Selain menghadirkan dua karakter sahabat baik dengan chemistry luar biasa apik, film tersebut menawarkan kesegaran makna akan bebasnya perempuan dari cengkeraman laki-laki patriarki. 

Thelma (Geena Davis) adalah seorang ibu rumah tangga yang menurut pada suaminya. Sementara Louise (Susan Sarandon) adalah pekerja keras yang menyimpan rahasia kelam di Texas. Keduanya ingin bersenang-senang, namun Thelma terlalu khawatir suaminya mencari sebab ia pergi tanpa pamit.

Di tengah cerita, Thelma nyaris saja diperkosa oleh seorang lelaki dari bar. Louise menembak lelaki tersebut, dan keduanya kabur jauh tanpa tujuan. Mereka tak lapor polisi, sebab mereka tahu para penegak hukum tidak akan membela perempuan. Bahkan dalam kondisi terjepit sekalipun. 

Road Movie sebagai Metafora Emansipasi Perempuan

Film-film dengan cerita perjalanan panjang sebagai bentuk pelatihan atau kebebasan, sering disebut sebagai road movie. Namun, ia acap kali menunjukkan kekuatan maskulin melalui karakter, dinamika cerita, dan konfliknya. Sebut saja Easy Rider (1969), Rain Man (1988), dan The Motorcycle Diaries (2004). 

Thelma & Louise muncul sebagai bentuk penyegaran dan bukti akan meleknya figur-figur industri kreatif akan isu-isu perempuan dan dunia patriarki yang mengekang. Mereka dengan lihai mengukir cerita perempuan malang yang perlahan bangkit dari kondisi terpuruk, terkekang, dan terancam. 

Film ini tidak hanya mengubah wajah genre road movie, tetapi juga memperkenalkan perjalanan sebagai bentuk perlawanan terhadap tatanan patriarki. Jalan raya tidak lagi sekadar ruang kebebasan laki-laki, tapi menjadi ruang politis perempuan untuk mengambil kendali atas tubuh dan hidup mereka sendiri.

Thelma & Louise Behind The Scenes Stories That Are An Even Wilder Ride Than  The Movie
Sumber foto: https://www.ranker.com/list/thelma-and-louise-behind-the-scenes-stories/mike-mcgranaghan

Melalui Thelma & Louise, jalanan tak hanya dilihat sebagai latar fisik, melainkan bentuk dari pembebasan diri yang tak mereka peroleh di ruang domestik. Setiap kilometer yang mereka tempuh mengantarkan pada titik-titik terjauh dari norma-norma sosial, serta membuka kesadaran baru tentang apa yang patut diperjuangkan. 

Tradisi genre film road movie erat kaitannya dengan gagasan hegemonic masculinity, yakni bentuk maskulinitas dominan yang menempatkan laki-laki sebagai subjek bebas, pengambil keputusan, dan pemilik ruang. Sementara perempuan dipandang sebagai objek seksual di sepanjang perjalanan.

Namun, Thelma & Louise berani menggugat tatanan ini. Dua perempuan itu tak menjadi objek, melainkan subjek cerita. Pelaku yang paham betul keinginannya dan mampu menentukan garis cerita mereka sendiri.

Perjalanan Sebagai Narasi Pembebasan Diri dari Jeratan Patriarki

Perjalanan perempuan dalam Thelma & Louise menjadi sangat politis dan revolusioner. Keduanya tak hanya meninggalkan rumah, tetapi juga melawan sistem yang telah lama mengikat tubuh dan mengatur pilihan hidup mereka.

Transformasi karakter keduanya juga patut diacungi jempol. Thelma yang awalnya penurut, kemudian berani merampok supermarket. Sementara pendamaian diri Louise dengan traumanya menunjukkan bahwa kebebasan sejatinya memerlukan risiko besar. 

Dalam perjalanan panjang itu, mereka perlahan menunjukkan keberanian dalam mengambil kendali atas hidupnya. Sekaligus, bentuk penolakan terhadap dunia yang tak memberi ruang bagi perempuan untuk berdaulat. 

Adegan terakhirnya sungguh menghibur. Siapa sangka akhirnya mereka memilih ‘melompat’ ke jurang ketimbang menyerah pada sistem. Tindakan radikal itu adalah cara mereka merebut kendali terakhir; atas tubuh, pilihan, dan akhir hidup mereka sendiri. Jurang disimbolisasikan sebagai titik klimaks dari emansipasi mereka.

Melalui Thelma & Louise, Ridley Scott tidak hanya membuat film tentang pelarian, tetapi juga pengambilan kembali narasi oleh perempuan. Road movie, yang biasanya menyingkirkan perempuan, dirombak menjadi alat untuk menyuarakan kemerdekaan, solidaritas, dan tubuh yang tak lagi tunduk.

Jalan dalam film ini bukan hanya geografis, tapi manifestasi eksistensi dan agensi. Ia mewakili ruang kosong yang bisa diisi dengan makna baru–makna yang ditulis oleh perempuan, untuk perempuan, dan tentang perempuan.

Hidup Perempuan, Milik Perempuan

Thelma & Louise' Turns 25: Looking Back at the Most Feminist Scenes in the  Movie - ABC News
Sumber foto: https://abcnews.go.com/Entertainment/thelma-louise-turns-25-back-feminist-scenes-movie/story?id=39183104

Siapa sangka akhir yang tampak menyedihkan itu justru terasa sangat memuaskan. Saya sempat cemas jika cerita ini akan ditutup dengan Thelma dan Louise yang dikurung dalam jeruji besi–terasa klise dan tidak adil. Namun, sang sutradara memilih jalan yang tak mudah ditebak.

Saya ingat, saya menonton film ini untuk pertama kalinya dan menjadi bahan pertimbangan objek tugas akhir. Saya takjub dengan alur ceritanya yang diam-diam memantik saya untuk berpikir dan menerka-nerka hal yang terjadi selanjutnya. Bahkan, ia berhasil menjadi salah satu film favorit saya.

Sebab, tak ada karakter laki-laki yang menjadi ‘pahlawan’ di saat genting. Yang ada, laki-laki dalam film ini seolah tumbuh dari akar dunia patriarki. Mereka ingin mengontrol, menghukum, dan memiliki tubuh perempuan. Dan, karakter-karakter seperti itu kerap saya temui di dunia nyata.

Namun, Thelma dan Louise menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan luar biasa untuk melepaskan diri dari belenggu patriarki. Terlalu sering dikontrol, diberi batas, dan dicegah untuk membuat pilihan hidupnya sendiri. Tekanan itu melahirkan luka, rasa takut, bahkan kehilangan kepercayaan diri untuk menyimpang dari jalan yang dianggap “benar” oleh masyarakat.

Thelma & Louise menyadarkan saya bahwa keberanian perempuan untuk mengambil alih kendali hidup–termasuk atas tubuhnya sendiri–adalah bentuk perlawanan yang paling radikal sekaligus paling penting. Film ini bukan hanya kisah pelarian, tetapi juga pernyataan lantang bahwa hidup perempuan, sepenuhnya milik perempuan.

0 comments

Leave a Comment