Ramainya unggahan Pandawara mengenai sampah pembalut sekali pakai memperlihatkan bahwa permasalahan ini cukup pelik. Alih-alih berfokus kepada permasalah struktural, mereka justru mengatakan sampah-sampah pembalut itu berasal dari kebiasaan perempuan yang jorok. Simplifikasi ini membuat permasalahan pembalut seakan hanya dibebankan pada persoalan individu semata.
Padahal, masalah ini jauh lebih dari itu. Ia kerap menuntut perempuan untuk berpikir keras, terutama bagi aktivis lingkungan perempuan. Di satu sisi, darah haid harus ditampung supaya kita tetap dapat beraktivitas. Di sisi lain, pembalut sekali pakai juga berkontribusi dalam memperparah kerusakan lingkungan. Kalau sudah begitu, seharusnya masalah ini bukan hanya dibahas dan diatasi oleh perempuan saja, bukan?
Ketika Pembalut Adalah Masalah Etis dan Politis
Bagi saya, masalah pembalut sekali pakai tidak sekadar persoalan etis, melainkan juga politis. Etis karena seyogyanya beberapa perempuan sudah berusaha mengurangi, bahkan sama sekali tidak memakainya lagi demi kelestarian lingkungan. Politis karena tidak seharusnya hanya perempuan yang bertanggungjawab soal itu, melainkan juga seluruh sistem masyarakat.
Dalam sehari, rata-rata perempuan bisa mengganti pembalut sebanyak 3 sampai 5 kali. Sementara, satu perempuan akan menghasilkan 11.000 pembalut seumur hidupnya. Sampah pembalutnya saja di Indonesia diperkirakan mencapai 26 ton per hari. Jadi bayangkan, dalam satu tahun terdapat 9.490 ton sampah pembalut sekali pakai.
Tak hanya itu, sampah pembalut sekali pakai pun tak dapat terurai dengan mudah karena terdapat bahan plastik dan bahan kimia. Satu pembalut butuh waktu setidaknya 500 tahun untuk bisa terurai. Jika direnungkan kembali, pembalut yang diproduksi sejak tahun 1970-an pun belum terurai hingga sekarang. Lantas, berapa banyak jumlahnya sekarang? Memikirkannya saja saya tak sanggup.
Baca juga: Perempuan dan Beban Sampah yang Timpang: Zero Waste, Zero Equality?
Perlunya Solusi yang Serius pada Sampah Pembalut
Sampah pembalut mengakibatkan polusi tanah, air, dan juga udara. Sampah pembalut yang teronggok di TPA, lambat laun akan mengeluarkan gas metana. Ia merupakan salah satu unsur gas rumah kaca yang sangat berbahaya karena kekuatannya 25 kali lipat dibanding karbon dioksida.
Meskipun berpengaruh buruk dan membahayakan masa depan ekologis, nyatanya pembalut sekali pakai masih terus diproduksi dan digunakan oleh banyak perempuan di seluruh penjuru dunia. Namun, solusinya selalu ditujukan kepada perempuan supaya beralih ke alternatif penampungan darah haid yang lebih ramah lingkungan. Namun, sejauh apa efektivitas dan aksesnya?
Memang, belum ada data pasti sudah seberapa banyak perempuan yang kini beralih ke produk ramah lingkungan. Namun, saya melihat hal itu masih minim terjadi di Indonesia. Karena, masih minimnya pengetahuan perempuan tentang menstrual cup, tampon, pembalut kain, dan lain-lain. Selain itu, berpindah ke alternatif lain, tidaklah semudah itu.
Permasalahan Pembalut yang Sering Tak Terlihat
Ada berbagai pertimbangan mengapa orang masih setia memakai pembalut sekali pakai. Bagi perempuan kelas bawah, pembalut sekali pakai akan jauh lebih murah. Dengan biaya hidup yang pas-pasan, mereka akan berpikir puluhan kali untuk membeli menstrual cup (Rp200.000 untuk 5 tahun, dibanding pembalut Rp600.000). Sebab, mereka lebih dulu memikirkan kebutuhan pangan sehari-hari.
Dari segi kepraktisan, saya melihat tiap orang akan memiliki pengalaman berbeda. Saya sendiri pernah mencoba memakai menstrual cup, namun gagal. Hampir satu jam saya berkutat untuk memakainya. Dengan berbagai tips yang berbeda pula. Hingga akhirnya, saya memutuskan berhenti mencobanya.
Pengalaman tersebut mungkin sangat personal, tapi saya lantas membayangkan bagaimana orang-orang bisa beralih ke benda seperti ini jika ia sangat tidak praktis? Sementara kita tahu, perempuan juga punya kesibukan yang cukup menyita waktu. Entah itu karena kerja informal, domestik, atau formal. Belum lagi soal stigma perawan yang masih dipercaya masyarakat. Dan, inilah kenyataan yang kita hadapi.
Setelah gagal, akhirnya saya putuskan untuk memakai pembalut kain. Namun, ia juga memiliki beberapa tantangan. Rasa tak nyaman karena kain yang tebal, waktu kering yang lama setelah dicuci, hingga banyaknya jumlah yang harus dipersiapkan. Saya merasa butuh setidaknya enam pembalut kain dengan kondisi cuaca panas yang cukup untuk bisa mengganti pembalut tiap kali dibutuhkan.
Beruntungnya saya tetap bisa mengganti pembalut di tempat kerja dan mencuci lalu menjemurnya di tempat jemuran. Namun, tak semua tempat kerja memiliki fasilitas yang sama. Padahal, Atchade, dkk. (2024) mengungkapkan pembalut kain yang tak segera dicuci dan disterilkan bisa menjadi tempat berkembangnya bakteri penyebab TSS, terutama jika digunakan terlalu lama.
Karenanya, saya jadi berefleksi: menggunakan opsi yang ramah lingkungan memang dapat menjadi pilihan untuk mengurangi pembalut sekali pakai, tapi siapa yang dapat menjangkau benda-benda tersebut? Apakah semua perempuan dapat mengaksesnya tanpa perlu memikirkan kebutuhan lain yang lebih mendesak? Atau hanya perempuan tertentu yang memiliki privilege waktu, penghasilan, dan informasi yang cukup tentang hal ini?
Baca juga: Ekosida: Ketika Rusaknya Lingkungan Mematikan Perempuan
Lalu, Apa yang Harus Dilakukan?
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Daniel di Kota Yogyakarta menunjukkan pengelolaan sampah masih belum memadai. Meskipun perempuan telah melakukan pemilahan sampah pembalut, kenyataannya sampah itu kembali disatukan dengan sampah lainnya oleh pemungut sampah. Padahal sampah pembalut sekali pakai termasuk limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang harus mempunyai pengelolaan secara khusus.
Di sisi lain, pemerintah bisa saja mengintervensi sejak level produksi dengan mendorong pembuatan pembalut yang lebih ramah lingkungan. Pemerintah juga dapat mengintervensi di level konsumsi dengan melakukan edukasi/sosialisasi dan pemberian subsidi untuk masyarakat kurang mampu agar dapat mengakses pilihan penampung darah haid yang ramah lingkungan.
Tak hanya itu, di dunia kerja, aturan mengenai cuti haid sebanyak dua hari akan sangat membantu jika dijalankan dengan semestinya. Jika perempuan diberi cuti selama dua hari saja, bagi saya pribadi, itu akan mengurangi penggunaan pembalut sekali pakai dengan memakai pembalut kain di rumah. Selain itu, perusahaan juga harus menyediakan fasilitas supaya pekerja perempuan dapat dengan nyaman dan mudah mengganti pembalut kain atau benda penampung darah haid lainnya.
Menstruasi adalah salah satu tanda biologis perempuan yang tidak dapat ditolak atau diubah. Ia datang tiap bulan dan dalam beberapa hari akan membatasi aktivitas perempuan. Bukan hanya soal darah yang keluar, tapi juga sakit fisik dan emosional yang menyertainya yang dirasakan berbeda tiap perempuan.
Karena itu, sudah seharusnya, diskursus mengenai pembalut sekali pakai ini tak lagi dibebankan hanya kepada perempuan. Tapi, ia juga perlu perubahan sistemik dan kolektif. Di satu sisi ada upaya serius pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan sampah dan mendorong produsen untuk tidak lagi menciptakan produk pembalut yang merusak lingkungan. Di sisi lain masyarakat perlu sadar bahwa persoalan pembalut sekali pakai juga bagian dari masalah semua orang, sebab kita semua lahir dari rahim perempuan.
0 comments