Bertaruh Asa dengan Algoritma Fitur “Grab Hemat”: Perlawanan Sunyi Pengemudi Ojol Perempuan

Di tengah hingar-bingar nasionalisme setiap tanggal 20 Mei, yang dirayakan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, nafas perjuangan kebangkitan tahun ini terasa berbeda. Para pengemudi ojek online (ojol) bersama dengan Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) menjadikan momentum ini sebagai ajakan aksi besar-besaran di depan gedung Kementerian Perhubungan untuk menuntut hak-hak mereka sebagai pekerja dalam sistem gig economy. Demo para pengemudi ojol ini telah memperlihatkan bahwa kebangkitan tidak hanya berasal dari ruang-ruang elit, tetapi juga bergerak di jalanan.

Dilansir Tempo, aksi ini akan dihadiri oleh komunitas ojol dari berbagai daerah, yaitu Jakarta, Tangerang, dan Yogyakarta, sebagai bentuk keresahan kolektif mereka atas sistem kerja yang timpang. Mereka menuntut transparansi tarif, penghapusan hukuman algoritmik, serta kejelasan status kerja yang selama ini menggantung di antara label “mitra” dan “pekerja”. Selain itu, SPAI juga menyerukan aksi off bid massal atau mematikan aplikasi pada saat berdemonstrasi.

Sebagai bentuk dukungan sesama kelas pekerja, dalam artikel ini saya menuliskan refleksi saya ketika bercengkrama dengan beberapa pengemudi ojol perempuan saat saya menjadi penumpang mereka. Obrolan “ringan” selama perjalanan pulang ternyata menguak lapisan-lapisan lain yang selama ini tersembunyi di balik kemudahan yang saya nikmati lewat aplikasi ojol.

Gig Economy dan Jeratan Algoritma

Secara historis, konsep “gig” berasal dari dunia musik, yang kemudian bergeser maknanya menjadi bentuk kerja kasual, tidak tetap, dan dibayar berdasarkan hasil kerja. Gig economy terkesan sebagai model kerja baru, padahal ia sebenarnya sudah ada sejak abad ke-18 ketika pekerja dibayar berdasarkan hasil, bukan waktu kerja. Namun, perkembangan platform digital telah memperkuat sistem ini dan mengemasnya sebagai bentuk kebebasan dan fleksibilitas, yang sebenarnya merupakan mekanisme baru dalam eksploitasi tenaga kerja.

Bisa kita lihat saat ini, platform seperti Grab atau Gojek merupakan gig economy dalam bentuk digital. Di permukaan, gig economy memang terlihat fleksibel dan bebas, seperti pengemudi ojol yang bisa memilih waktu dan lokasi kerja sesuai keinginan mereka. Namun, tanpa sadar di sanalah mereka mulai terjebak dalam sistem kapitalisme digital, yang terus mengeksploitasi.

Pengemudi ojol tidak memiliki gaji tetap. Mereka hanya mendapat penghasilan jika ada pesanan. Ketika aplikasi sedang sepi, penghasilan pun menyusut drastis. Selain itu, sistem kerja mereka diatur oleh algoritma yang tidak transparan: siapa yang mendapat order, siapa yang diprioritaskan, siapa yang tiba-tiba terkena suspensi, semuanya ditentukan oleh sistem digital yang tak mampu mereka lawan.

Baca juga: 19 Jam Bekerja, Upah Tak Seimbang: Cerita Pilu Seorang Bidan Honorer di Sulawesi Tengah

Lebih parahnya lagi, para pengemudi ini tidak mendapatkan perlindungan sosial layaknya pekerja formal. Mereka tidak mendapat jaminan kesehatan, tidak ada tunjangan hari tua, dan tidak ada hak cuti. Padahal, merekalah yang harus berjuang di lapangan agar perusahaan aplikasi tersebut tetap terus beroperasi dan berekspansi. Namun, mereka yang lebih dulu disingkirkan jika menyangkut kesejahteraan.

Ketimpangan ini semakin nyata ketika perusahaan menambahkan fitur-fitur promo seperti “Grab Hemat”, yang sebenarnya menurunkan ongkos perjalanan bagi penumpang, tetapi juga memangkas pendapatan pengemudi. Salah satu cerita serupa datang dari seorang pengemudi ojol perempuan bernama M (bukan nama sebenarnya). M bercerita tentang bagaimana fitur Grab Hemat justru memaksa ia mengorbankan pendapatannya demi tetap mendapat order. Ia harus membayar sejumlah uang agar bisa menyalakan fitur tersebut, dan meski terlihat seperti pilihan, realitasnya sangat memaksa. Kalau ia tidak ikut, algoritma akan menurunkan visibilitas akunnya. Penumpang pun otomatis berkurang.

Lika-Liku Menjadi Pengemudi Ojol Perempuan

Setiap kali saya mendapat pengemudi ojol perempuan, saya berusaha membuka obrolan dengan mereka karena saya penasaran bagaimana mereka bertahan di ruang pekerjaan yang maskulin dan penuh risiko. Ternyata, perjalanan mereka merajut asa sebagai pengemudi ojol jauh dari kata sederhana.

Mayoritas pengemudi ojol perempuan yang saya temui datang dari latar sosial dan kelas menengah-bawah. Beberapa di antaranya menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya sedang sakit atau kehilangan pekerjaan. Ada yang bekerja sambil mengantar anak sekolah, ada pula yang menggantikan peran suami sebagai pencari nafkah utama. Mereka tidak hanya harus menghadapi kerasnya jalanan, tetapi juga stigma yang melekat pada mereka sebagai pengemudi ojol perempuan

Berdasarkan cerita M, suatu ketika ia pernah mendapat sindiran dari pengemudi ojol laki-laki karena banyak mendapat penumpang dari stasiun. M tidak pernah menganggap hal itu sebagai halangan untuk bekerja. Sebaliknya, M tetap gigih bekerja dan tidak memedulikan pengemudi ojol laki-laki yang merasa tersaingi olehnya. Selain itu, M pernah mengalami diskriminasi ketika mendapat penumpang laki-laki. Mulai dari diminta bertukar posisi menjadi penumpang, hingga di-cancel tiba-tiba.

M juga mengeluhkan bagaimana sistem Grab menentukan tarif berdasarkan jenis kendaraan, bukan kondisi penumpang. Suatu hari, ia pernah mendapat penumpang seorang perempuan dalam kondisi hamil besar dan membawa seorang anak balita. Menurutnya, penumpang seperti itu seharusnya memesan motor tipe XL demi keamanan, tapi karena tarifnya lebih murah, sistem tetap mengarahkan penumpang ke motor biasa milik M. Seharusnya perusahaan membuat kebijakan khusus untuk mengakomodasi situasi semacam ini, walau pada akhirnya M pun akhirnya harus mengorbankan kenyamanan dan keselamatan dirinya agar bisa menyelesaikan perjalanan.

Baca juga: #IndonesiaGelap: Efisiensi Anggaran sampai Pendidikan, Perempuan Melawan

Di sisi lain, M sempat mempertimbangkan beralih menjadi kurir paket, karena penghasilannya lebih besar. Tapi ia urung karena jam kerja yang terlalu tidak pasti dan medan kerja yang lebih berat. Sebagai sosok ibu di tengah keluarga patriarkal, ia juga harus tetap ada di rumah untuk mengantar jemput anak sekolah. Yang menunjukkan pilihannya sangat terbatas. Ia bekerja di bawah tekanan sistem, namun tetap mencoba menyesuaikan hidupnya di dalamnya.

Semua cerita M di atas sejalan dengan temuan riset yang dilakukan oleh Konde. Dalam dua laporan bertajuk “Jalan Terjal Ojol Perempuan”, Konde mencatat bahwa sebanyak 63,7% pengemudi perempuan pernah mengalami “hukuman algoritmik” tanpa kejelasan alasan. Hanya 16,7% yang menilai sistem tarif dan insentif perusahaan adil. Bahkan, 90% responden menyatakan sistem ini hanya menguntungkan aplikator, bukan pekerja.

Riset Konde juga menunjukkan bahwa banyak pengemudi ojol perempuan mengalami eksploitasi reproduktif. Seorang pengemudi di Sukabumi dilaporkan mengalami keguguran karena tetap bekerja hingga usia kehamilan delapan bulan. Ada juga kasus perempuan yang harus menjalani operasi angkat rahim akibat pendarahan, karena tidak adanya hak cuti. Bahkan ketika mereka sakit, tidak ada perlindungan kerja dari perusahaan.

Dalam hal status kerja, sebanyak 43,3% pengemudi perempuan ingin diakui sebagai pekerja tetap dengan hak yang jelas. Sebanyak 40% lainnya ingin tetap sebagai mitra, namun dengan jaminan perlindungan. Dan, hanya 16,7% yang menerima status saat ini tanpa syarat. Ini menunjukkan bahwa mayoritas pengemudi perempuan menuntut pengakuan yang lebih adil terhadap posisi mereka dalam sistem gig economy yang sebenarnya memiliki posisi krusial dalam menopang kapitalisme.

Menyoal Hegemoni Kapitalisme dalam Genggaman Aplikasi Ojol

Kita yang setiap hari menggunakan layanan ojol dengan mudahnya mungkin tidak pernah membayangkan betapa rumitnya realitas di balik layar aplikasi tersebut. Dalam sekali klik, kita bisa memesan transportasi, makanan, hingga kurir. Faktanya, kemudahan ini dibangun dari kerja-kerja yang dieksploitasi pemilik modal, tanpa jaminan, dan penuh tekanan.

Cerita M dan para pengemudi ojol perempuan lainnya menyadarkan saya bahwa kapitalisme tidak lagi hadir dalam bentuk pabrik-pabrik besar, melainkan dalam algoritma di ponsel kita. Ia hadir dalam promosi yang tampak menguntungkan kita sebagai konsumen, tapi menekan para pekerja perempuan hingga titik paling lemah.

Kesadaran ini mestinya tidak berhenti pada rasa bersalah semata. Justru, ini menjadi pengingat bahwa kita punya tanggung jawab moral dan politik untuk berpihak. Menurut saya, kita bisa mulai dengan mendukung serikat-serikat pekerja ojol yang aktif menyuarakan hak para pengemudi, termasuk isu-isu yang khas dialami oleh perempuan. Memberikan ruang pada mereka untuk berbicara saat demo, memperhatikan suara mereka di media sosial, dan terus menyuarakan keadilan kerja adalah bentuk dukungan kecil yang bisa berdampak besar.

Pemerintah pun tidak bisa terus menerus bersikap netral seolah semua ini adalah urusan bisnis privat. Negara perlu hadir melalui pembentukan regulasi yang menjamin perlindungan sosial dan hukum yang layak bagi para pekerja gig economy, terutama pengemudi ojol perempuan. Bukan hanya omon-omon, seperti pemberian THR ke ojol, yang realisasinya sangat jomplang di lapangan. Juga, status “mitra” seharusnya tidak menjadi tameng untuk menghindar dari kewajiban terhadap pekerja.

Hari Kebangkitan Nasional adalah momentum untuk mengenang semangat solidaritas dan perjuangan bersama atas nama keadilan para pekerja. Ini adalah saatnya kita memperluas makna kebangkitan, yang tidak hanya mengingat kebangkitan melawan penjajahan masa lalu, tetapi juga kebangkitan melawan ketimpangan struktural masa kini yang dibungkus dalam kapitalisme berwajah teknologi dan promosi diskon.

0 comments

Leave a Comment