Di tengah kebahagiaan orang-orang dan suara sound system yang menggema, saya justru merasa gelisah saat menghadiri salah satu pesta pernikahan. Alunan lagu yang membuat para tamu bersenandung pelan, mengusik indra pendengaran saya. Irama Tarling khas Cirebon seperti menghipnotis mereka, namun tidak dengan saya yang merasa lirik itu terlalu getir untuk dijadikan hiburan.
Lagu itu adalah “Keder Balike”. Dinyanyikan Diana Sastra, dengan cepat ia menjadi lagu yang populer di kalangan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Dengan alunan nada riang khas tarling Cirebonan, lagu berbahasa Jawa ini dianggap sebagai hiburan rakyat, pengisi panggung, atau pengiring tari daerah. Sayangnya, liriknya tak seindah musiknya, sebab ia menyuarakan kegelisahan perempuan yang terjebak dalam situasi pernikahan yang sarat akan patriarki.
Relasi Kuasa yang Timpang dalam Rumah Tangga
Kesiksa diri kula difitnah ning laki (diri saya tersiksa difitnah suami)
Nuduh kula nyeleweng karo tangga (menuduh saya selingkuh dengan tetangga)
Salah tanpa bukti kakang ngajari rabi (salah tanpa bukti, suami menuduh istri)
Dari awal lagu ini dibawakan, saya merasa hidup perempuan sudah sangat berat. Bagaimana tidak? Perempuan dalam lirik tersebut dipaksa menanggung kesalahan yang bahkan tidak pernah ia lakukan. Bayangkan, seorang istri yang setia justru harus menelan pahitnya fitnah dari suami sendiri. Realitas ini menunjukkan bagaimana laki-laki yang merasa berkuasa dengan mudahnya melontarkan tuduhan tak berdasar.
Fitnah ini mencerminkan bagaimana patriarki memberikan legitimasi pada laki-laki untuk mengontrol, bahkan menghancurkan, kehidupan perempuan hanya lewat kata-kata. Tuduhan perselingkuhan yang dilemparkan tanpa bukti bisa membuat perempuan kehilangan martabat, rumah, hingga penghidupan. Sementara laki-laki tetap dianggap memiliki kuasa penuh untuk menentukan nasib rumah tangganya.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, posisi perempuan dalam lagu ini menggambarkan ketidakadilan struktural. Ketika seorang istri difitnah, ia tidak hanya menghadapi stigma sosial, tetapi juga risiko kehilangan akses ekonomi karena nihilnya aset, pekerjaan, atau perlindungan hukum yang memadai.
Baca juga: Bunuh Diri Karena Permasalahan Struktural Sejatinya Adalah Femisida
Hilangnya "Sosok" Sandaran Perempuan
Kulo karo laki emong gawe salah (saya tidak ingin berbuat salah kepada suami)
Rumasa kula orang due wong tua (karena saya tidak punya orang tua)
Ironisnya, bait selanjutnya semakin menggambarkan perempuan yang berusaha untuk tidak berbuat salah. Sebab, suaminya adalah sandaran satu-satunya. Situasi ini membuat posisi perempuan semakin rapuh; tak punya aset atau perlindungan sosial, juga nihilnya kehadiran keluarga sebagai dukungan emosional.
Ketika perempuan terjebak dalam situasi “tidak boleh salah”, hal ini semakin mengukuhkan posisi suami yang memegang kendali penuh atas ekonomi, aset, dan keputusan keluarga. Kepatuhan perempuan pun terjadi karena adanya ketakutan hilangnya sandaran hidup. Sehingga, pernikahan dijadikan sebagai satu-satunya bentuk perlindungan.
Perempuan yang sering bertahan dalam relasi timpang meski dirugikan seperti ini, menunjukkan apa yang disebut Mairal (2015) sebagai Fortunata Syndrome. Ketika mereka tetap setia, memaafkan, rela menanggung penderitaan, bahkan berbuat apa saja demi menyenangkan sang pasangan. Pada akhirnya, jeratan ekonomi pun bertransformasi menjadi jeratan emosional bagi perempuan.
Baca juga: Antara Rasa Bersalah dan Tubuh yang Menjerit: Dilema Seksualitas Istri dalam Pernikahan
Ketika “Keder Balike” Menjadi Cerminan Sosial
Di pegat ning laki (Dicerai oleh suami)
Sun keder balike (bingung kembali)
Bli duwe umah (tidak punya rumah)
Arep ngeprag ning sapa (mau bersandar ke siapa)
“Keder Balike” atau arti harfiahnya adalah bingung kembali mencerminkan realitas sosial banyak perempuan di sekitar kita kita. Terbatasnya ruang karena sistem yang mengekang ruang gerak, memaksa mereka bergantung pada laki-laki. Hal ini karena masyarakat mereduksi peran perempuan sebagai istri dan pengurus rumah tangga tanpa mendapat kesempatan.
Permasalahannya pun kompleks; sang suami enggan memberikan izin, ditambah minimnya akses pendidikan dan lapangan kerja formal. Maka tidak heran jika sistem semacam ini dapat membentuk rantai ketergantungan yang melemahkan posisi perempuan. Akibatnya, ketika terjadi konflik rumah tangga, perempuan menjadi pihak yang paling rentan mengalami kekerasan.
Bahkan, walaupun perempuan diizinkan untuk bekerja di luar rumah, mereka juga tetap mengalami beban ganda, bahkan multibeban. Seperti yang dikritik Betty Friedan dalam The Feminine Mystique (1974), jika laki-laki tidak turut dilibatkan atau ditarik masuk ke ranah domestik, perempuan justru akan menghadapi penindasan baru. Akibatnya, alih-alih terbebas, mereka justru menjadi korban opresi ganda; terbebani di ruang publik dan tetap terikat di ruang domestik.
Baca juga: Bahasa Pejabat yang Tak Bermartabat dan Kerap Merendahkan Rakyat
Perempuan yang Terkapasitasi pun Jadi Korban
Jadi perempuan jangan terlalu kuat, nanti cowok takut.
Jadi perempuan jangan terlalu pinter, nanti cowok minder.
Jadi perempuan jangan terlalu sukses, nanti cowok ngga ada yang deketin kamu, lho.
Jadi perempuan jangan terlalu ngejar karier, kapan laki-laki mau nikahin kamu?
Kalimat-kalimat di atas bukan sekadar jokes, ia adalah tekanan dan stigma terhadap perempuan yang diwariskan lintas generasi. Saya sendiri beberapa kali melihatnya berseliweran di media sosial, baik dalam bentuk unggahan, komentar, maupun perbincangan ringan.
Steorotip seperti ini justru mematikan potensi perempuan untuk mandiri dan berkembang. Ketika perempuan dianggap keluar dari batasan hanya karena ingin menempuh pendidikan tinggi, mengejar karier, menjadi sukses, mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan standar normatif dan perempuan ‘ideal’ yang ditentukan masyarakat, bukan dengan cita-cita dan potensi mereka sendiri.
Secara tak langsung, hal tersebut berimplikasi pada rendahnya angkatan kerja perempuan (36,32%) jika dibandingkan laki-laki (45,81%), menurut data Badan Pusat Statistik (2024). Hal lain yang diungkapkan Chang (2006) menjadi penyebabnya adalah banyak perempuan yang berhenti kerja setelah memiliki anak karena mendapat diskriminasi di tempat kerja, seperti hak cuti yang tak sesuai dengan undang-undang.
Juga, Jordan dan Zitek (2012) menunjukkan adanya marital status bias karena perempuan yang menikah dipersepsikan kurang berdedikasi dan lebih layak diberhentikan. Sementara, laki-laki justru mendapat keuntungan dari status pernikahan mereka. Hal ini memperlihatkan bagaimana sistem, mulai dari keluarga, pekerjaan, hingga negara, bekerja sama dalam melemahkan posisi perempuan.
Karenanya, lagu tradisional seperti “Keder Balike” juga perlu dibaca sebagai arsip budaya yang menyimpan suara perempuan. Melalui lirik-liriknya, perempuan bisa mengungkap ketidakadilan yang mereka alami, sekaligus mengkritik sistem-sistem yang mengekang mereka.
Jangan biarkan pesan penting di dalamnya terkubur hanya karena dianggap sebagai hiburan semata. Kalau tidak, kita hanya akan terus menari di atas kisah getir perempuan, lalu bertepuk tangan seolah-olah itu hanyalah lelucon budaya. Lagu ini seharusnya menjadi peringatan, bahwa situasi perempuan dalam pernikahan memiliki kompleksitas berlapis.
Dari lagu “Keder Balike”, ada pelajaran penting mengenai bagaimana suara perempuan telah lama ada, hanya saja sering diabaikan. Mereka sudah berteriak sejak dulu, tapi suaranya dikemas dalam nada agar “aman” bagi telinga-telinga patriarki. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus memperlakukannya sebagai hiburan semata, atau berani menjadikannya peringatan untuk membongkar ketidakadilan?
0 comments