Bahasa Pejabat yang Tak Bermartabat dan Kerap Merendahkan Rakyat
Pernyataan nirempati pejabat publik di Indonesia bukanlah hal baru. Dari kabinet hingga parlemen, dengan entengnya mereka melontarkan pernyataan yang meremehkan penderitaan rakyat. Saking seringnya, kita pun jadi bertanya-tanya: apakah sebenarnya ini adalah kesalahan ucap atau memang inilah cerminan dari relasi kuasa yang timpang?
Setiap kali pernyataan tersebut dilontarkan, amarah publik meletup. Meski bukan berupa kekerasan fisik, kata-kata mereka meninggalkan luka yang sama seriusnya. Bahasa yang seharusnya menjadi sarana komunikasi justru dipakai sebagai alat untuk menegaskan jarak sosial. Secara tak langsung, kita bisa melihat betapa rendahnya posisi rakyat, khususnya perempuan, dalam negara yang seharusnya berdemokrasi ini.
Baca juga: Penangkapan Perempuan: Figha Lesmana & Larasati sebagai Bentuk Represi di Ruang Publik
Meremehkan Kesulitan Masyarakat Kecil
Baru sehari menjabat sebagai Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang menggantikan Sri Mulyani, justru langsung menuai kontroversi. Ia menyebut bahwa tuntutan 17+8 hanya merupakan aspirasi “masyarakat kecil”. Dalam klarifikasinya, ia menambahkan, “Jika saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6%, 7%, itu akan hilang dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo.”
Ucapannya, memperlihatkan pola pikir teknokratis yang hanya melihat pertumbuhan ekonomi makro sebagai indikator hilangnya ketidakadilan sosial. Padahal, situasi di Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tidak selalu merata. Sebagian besar keuntungan dinikmati elite, sementara rakyat tetap dipersulit.
Perempuan tentu merasakan dampak yang berlapis. Dari sektor informal, 66% perempuan masih bergelut dengan ketidakadilan ekonomi, hukum, dan sosial. Perempuan pekerja rumah tangga, buruh migran, dan ibu rumah tangga di kampung miskin harus mengatur dapur di tengah harga pangan yang melambung. Mereka yang paling sering berhadapan dengan masalah struktural yang direduksi Purbaya hanya menjadi persoalan perut.
Padahal, seperti yang ditulis Kabeer (2015) bahwa kemiskinan juga merupakan process, yaitu hasil dari relasi kuasa, struktur ekonomi, dan kebijakan negara yang memiskinkan kelompok marginal secara sistematis. Ini diperlihatkan oleh situasi perempuan pekerja informal yang tak diberi rekognisi atas kerja reproduktif dan pengasuhan yang mereka lakukan setiap hari.
Baca juga: Bendera One Piece dan Simbol Perlawanan Perempuan di Bulan Kemerdekaan
Kekerasan Simbolik dan Seksisme Terselubung
Kasus lainnya juga memperlihatkan bagaimana kekerasan simbolik bekerja lewat bahasa. Bourdieu dalam Distinction (1984) mengatakan bahwa kekerasan simbolik dapat tampil dalam bentuk komentar santai, candaan, atau pernyataan resmi. Namun, dampaknya ia menempatkan rakyat dalam posisi subordinat.
Contohnya, ketika Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno yang memberikan keterangan nirempati. Ketika ditanya mengenai kasus balita di Sukabumi yang meninggal akibat cacingan, ia menjawab dengan singkat, "Ngantuk." Padahal, ini adalah isu serius yang berlapis; minimnya akses terhadap layanan kesehatan, nihilnya pengecekan kesehatan rutin, hingga pemiskinan oleh negara.
Ucapan itu, justru menyingkirkan martabat keluarga yang berduka, sekaligus meremehkan kejadian serupa yang dialami jutaan anak di Indonesia. Pola ini dapat dibaca pula dengan bahasa patriarki yang kerap merendahkan perempuan. Rakyat miskin juga diposisikan tidak penting karena pengalaman mereka selalu dianggap berharga saat nyawa telah tiada. Kekerasan simbolik inilah yang membuat rakyat terbiasa menerima ketidakadilan seolah-olah itu hal normal.
Baca juga: Dari Janda ke Perempuan Kepala Keluarga: Mengubah Bahasa, Menghapus Stigma
Masalah Pendidikan yang Terpinggirkan
Masalah serupa muncul ketika Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani, menyinggung soal gaji guru dan dosen. Ia menyatakan bahwa gaji rendah tenaga pendidik merupakan “tantangan bagi keuangan negara”. Lalu, ia mempertanyakan apakah seluruh pembiayaan harus ditanggung negara atau bisa ada “partisipasi masyarakat”.
Pernyataan ini kemudian dipelintir menjadi hoaks seolah-olah guru adalah beban negara. Namun, meski sudah diklarifikasi, publik tetap mengingat nada elitis dalam ucapan tersebut. Bahwa, tenaga pendidik sudah lebih dulu diposisikan sebagai beban fiskal, bukan investasi jangka panjang untuk kualitas manusia Indonesia.
Padahal, guru memiliki kesenjangan yang tinggi pada upahnya. Bahkan, gaji guru di Indonesia termasuk yang terendah di ASEAN, dengan rentang Rp1,2–7,6 juta untuk PNS. Sementara guru honorer jauh lebih rendah lagi, sering kali hanya berkisar ratusan ribu hingga di bawah UMR. Situasi ini menegaskan bahwa pernyataan Sri Mulyani menutup mata pada fakta ketidakadilan struktural dalam dunia pendidikan.
Baca juga: Jeritan Perempuan dalam Kebijakan Sawit Berkelanjutan, Namun Tak Berkeadilan
Wakil Rakyat yang Merendahkan
Tak berhenti di situ, kemarahan rakyat kian memanas setelah pernyataan anggota DPR, Sahroni yang menyebut bahwa orang-orang yang ingin membubarkan DPR adalah “orang tolol”. Kontroversi juga muncul dari ucapan Rahayu Saraswati yang dinilai meremehkan perjuangan para pencari kerja. Bahasa elitis juga tampak jelas dalam pernyataan Deddy Sitorus yang menyebut adanya perbedaan kelas sosial antara elite dan “rakyat jelata”. Ucapan ini menegaskan jarak sosial yang lebar antara mereka yang berkuasa dan masyarakat biasa.
Jika ditarik lebih jauh, pola komunikasi ini sebenarnya bagian dari budaya politik elitis yang sudah lama mengakar di Indonesia. Gaetano Mosca dalam The Ruling Class (1896) menyebut bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada minoritas kecil yang menguasai mayoritas. Vilfredo Pareto kemudian melengkapinya dalam The Mind and Society (1916) dengan konsep “sirkulasi elite”. Bahwa, elite bisa berganti wajah, tetapi pola dominasinya tetap sama. Kekuasaan terus berputar di tangan segelintir orang.
Dominasi ini juga dipelihara bukan hanya lewat kebijakan, tetapi juga lewat retorika dan komunikasi politik. Ucapan-ucapan yang meremehkan aspirasi atau penderitaan rakyat menjadi bentuk simbolik dari kekuasaan. Mereka bisa bicara seenaknya karena posisi sosial memberi legitimasi. Pola komunikasi ini berfungsi untuk menjaga wibawa dan hegemoni, meski di saat yang sama menyingkirkan suara rakyat kecil dari wacana publik.
Kecenderungan pejabat publik untuk meremehkan penderitaan rakyat juga menunjukkan bagaimana sisa-sisa budaya feodalisme masih melekat kuat. Rakyat diperlakukan seolah bawahan yang harus tunduk, sementara pejabat menuntut penghormatan tanpa harus memberi pengakuan balik. Inilah wajah paradoks demokrasi Indonesia: secara formal kita setara, tetapi secara simbolik masih terikat dalam relasi tuan dan abdi. Dalam situasi semacam ini, suara rakyat sering kali hanya menjadi ornamen, bukan penentu arah kebijakan.
Pada akhirnya, rangkaian ucapan pejabat publik yang merendahkan rakyat memperlihatkan kegagalan ganda negara. Fraser dalam Justice Interruptus (1997) mengungkapkan kegagalan negara dalam dua hal. Pertama, kegagalan redistribusi (pembagian sumber daya yang adil). Negara gagal memastikan pembagian sumber daya yang adil, seperti gaji guru yang jauh tertinggal.
Kedua, kegagalan rekognisi (pengakuan terhadap martabat dan suara warga) yang terlihat dari cara elite berbicara. Mereka justru merendahkan pengalaman hidup rakyat miskin, seolah-olah jerih payah dan penderitaan mereka tidak sah untuk diakui.
Dan, kegagalan ini paling keras dirasakan oleh perempuan, terutama mereka yang hidup di lapisan bawah. Perempuan bukan hanya menanggung beban pemiskinan struktural, tetapi juga terus-menerus diremehkan oleh bahasa kekuasaan yang menganggap suara mereka tidak sah. Ketika elite politik memilih merendahkan alih-alih mendengarkan, suara perempuan semakin dipinggirkan. Padahal, merekalah yang paling paham dan terdampak oleh ketidakadilan.

Social Media Kami