Jeritan Perempuan dalam Kebijakan Sawit Berkelanjutan, Namun Tak Berkeadilan
Indonesia dikenal sebagai raja minyak sawit dunia. Dengan 14,5 juta hektar lahan dan produksi 45 juta ton pada 2021, kita menyumbang lebih dari separuh pasokan sawit global. Tak hanya itu, sektor ini juga menyerap lebih dari 17 juta tenaga kerja dan menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Di kota-kota besar, seperti Jakarta, narasi sawit pun dirangkai sedemikian rupa sebagai komoditas berharga bagi Indonesia. Sawit ada di mana-mana; makananmu hingga kosmetikmu–begitu katanya. Tak lupa pula tagar mujarab #SawitItuBaik, seakan-akan mengaburkan realitas yang terjadi di perkebunan dengan sistem yang tak kunjung memihak.
Padahal, di balik angka-angka besar dan cerita sukses ekspor itu, ada suara yang jarang terdengar, yaitu buruh perempuan sawit. Mereka bekerja keras setiap hari, tapi tak diakui, tak dilindungi, bahkan kerap dieksploitasi. Bahkan, dalam kebijakan yang seharusnya mengakomodasi kebutuhan mereka, sebagai pekerja rentan.
Baca juga: Perempuan adalah Sebenar Benarnya Kelas Pekerja
Kebijakan “Berkelanjutan” Tapi Tak “Berkeadilan”?
Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) 2019–2024. Tujuannya pun terbilang positif, yaitu menyeimbangkan ekonomi dan lingkungan. Bahkan, di bawah Presiden Prabowo, pemerintah berencana melanjutkannya dalam RPJMN hingga 2029.
Sayangnya, saat membedah isi kebijakannya, saya menemukan hampir isi di dalamnya berbicara hal-hal teknis, seperti sertifikasi, data, infrastruktur, dan produktivitas. Lantas, saya bertanya-tanya: di mana hak-hak buruh perempuan? Yang ternyata, tak disebut secara tegas, padahal fakta di lapangan menunjukkan mereka adalah separuh dari tenaga kerja di perkebunan sawit.
Realitas Buruh Perempuan: Kerja Keras, Upah Rendah, Tak Dilindungi
Berbagai hasil penelitian menunjukkan kenyataan yang menyedihkan bagi buruh perempuan. Banyak dari mereka yang bekerja lebih dari 8 jam sehari. Mayoritas pekerjaan mereka mungkin terlihat mudah, seperti mencabuti rumput, menyemprot pestisida, dan memupuk pohon. Dengan waktu kerja yang tak terbatas, mereka tetap berisiko terpapar zat-zat kimia dari proses penyemprotan dan pemupukan.
Selain itu, buruh sawit perempuan juga rentan mendapatkan upah minim nan diskriminatif. Perempuan lajang yang bekerja seharusnya mendapat Rp25.000/hari. Namun, bagi buruh yang bekerja karena “ikut suami”, mereka hanya dibayar Rp200 per kilogram buah sawit. Tentunya, upah ini jauh lebih rendah dibanding buruh laki-laki.
Hal lain yang membuat saya miris adalah para buruh ini bekerja tanpa K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang memadai. Meski sudah bekerja bertahun-tahun, status mereka tetaplah buruh lepas yang tak berhak atas akses ke jaminan kesehatan, bahkan cuti haid atau melahirkan. Ditambah lagi, sanitasi sebagai kebutuhan dasar perempuan pun terabaikan. Mereka juga rentan mengalami pelecehan seksual di balik tingginya pohon-pohon sawit yang membisu. Semuanya terjadi karena kerja perempuan–terlebih mereka yang membantu sang suami–tak dianggap penting. Padahal, merekalah yang menopang produktivitas sawit setiap hari.
Baca juga: 19 Jam Bekerja Upah Tak Seimbang Cerita Pilu Seorang Bidan Honorer di Sulawesi Tengah
Perempuan, Kerja Ganda, dan Sistem yang Abai
Pekerjaan perempuan yang menjaga keberlangsungan sawit setiap harinya, sering kali tak dianggap penting. Padahal, buruh perempuan di perkebunan sawit memikul beban ganda; bekerja di kebun dengan waktu yang tak terbatas sambil tetap menjalankan peran domestik di rumah. Jika melihat lebih dekat, sebagian besar kerja para buruh sawit di lapangan ini termasuk dalam kerja-kerja perawatan, seperti merawat tanaman, menyemprot pestisida, memberi pupuk, hingga membersihkan semak. Tapi sayangnya, itu semua dianggap sebagai “bantuan untuk suami”, bukan sebagai pekerjaan utama yang layak dihargai.
Silvia Federici dalam Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation (2004) menilai sistem yang memadukan kapitalisme dan budaya patriarki ini menggantungkan keberlanjutannya pada tenaga kerja perempuan yang murah dan pekerjaan rumah tangga yang tak dibayar. Ini menunjukkan negara dan perusahaan sama-sama menutup mata terhadap fakta bahwa tanpa kerja-kerja buruh perempuan ini, industri sawit tak akan berjalan mulus.
Yang lebih menyedihkan, kebijakan nasional seperti Inpres RAN KSB pun tak menyinggung pentingnya melindungi dan mengakui kerja reproduktif ini. Negara seolah menerima begitu saja bahwa tugas rumah tangga adalah “kodrat perempuan” sehingga tak perlu dihargai atau dilindungi dengan kebijakan atau payung hukum, yang sifatnya mutlak. Padahal, jika kita berbicara keberlanjutan yang adil, kerja-kerja ini justru harus menjadi perhatian utama. Karena, kita perlu menyadari bahwa sawit bukan hanya menyoal sertifikasi atau produktivitas, tapi juga soal menghargai mereka yang menopang industri ini dengan tenaga dan pengorbanan yang sering tak terlihat.
Langkah Nyata Menuju Sawit yang Benar-Benar Berkelanjutan
Jika kebijakan seperti RAN KSB dan berbagai inisiatif keberlanjutan hanya berfokus pada aspek lingkungan dan ekonomi tanpa menyentuh dimensi keadilan gender, maka keberlanjutan itu sejatinya timpang. Menurut saya, langkah pertama yang harus diambil adalah memastikan bahwa revisi Inpres Nomor 6 Tahun 2019 atau Inpres pengganti untuk periode 2025–2029 secara eksplisit mencantumkan perspektif gender yang inklusif. Karena menurut Bartlett dalam Feminist Legal Methods (1990) tidak cukup hanya menyebutkan “perlindungan perempuan” secara umum karena kebijakan harus merinci langkah konkret yang menjamin kesetaraan hak.
Misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan perlu mengeluarkan peraturan menteri yang melarang diskriminasi upah berbasis gender, menjamin hak cuti haid dan maternitas dengan sanksi tegas bagi perusahaan pelanggar, serta mewajibkan kepesertaan jaminan sosial (seperti BPJS) bagi semua jenis status kerja, termasuk pekerja lepas dan harian.
Tak kalah penting, standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) juga harus mencakup fasilitas kesehatan reproduksi yang layak, mulai dari akses sanitasi hingga layanan kesehatan perempuan yang komprehensif. Protokol pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender (KBG) di tempat kerja harus tersedia dan diterapkan secara tegas. Proses penyusunan kebijakan ini pun harus berubah. Buruh perempuan tak boleh hanya jadi simbol atau pelengkap dalam forum-forum formal. Mereka harus dilibatkan secara langsung, baik melalui organisasi buruh perempuan, serikat pekerja, dan forum komunitas, agar kebijakan mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan.
Baca juga: 19 Jam Bekerja, Upah Tak Seimbang: Cerita Pilu Seorang Bidan Honorer di Sulawesi Tengah
Transparansi juga menjadi kunci. Pemerintah dan perusahaan harus mewajibkan pelaporan data terpilah gender yang mencakup jumlah pekerja, upah, jam kerja, insiden kecelakaan, dan kasus kekerasan. Data ini penting untuk memantau ketimpangan dan memastikan akuntabilitas. Selain itu, setiap perusahaan harus menjalankan penilaian dampak gender dan uji tuntas (gender impact assessment & due diligence) di seluruh rantai pasoknya, lalu mempublikasikan hasilnya secara terbuka.
Tak kalah penting adalah pengakuan terhadap kerja reproduksi perempuan, yakni pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan yang menopang industri tetapi sering tak terlihat. Menurut saya, negara perlu merancang skema insentif, tunjangan, atau perlindungan sosial khusus untuk meringankan beban ganda ini. Karena, kerja-kerja inilah yang sesungguhnya menopang keberlangsungan ekonomi negara. Namun, semua langkah ini tak akan mampu terwujud jika nihilnya kolaborasi antara masyarakat sipil. Oleh karena itu, siapa pun kita, dan apapun latar belakangnya, penting untuk terus mengawal implementasi, melakukan pemantauan independen, dan terus mendorong perbaikan berbasis hak. Karena tanpa suara kita yang telah terkapasitasi, suara buruh perempuan sawit akan tetap tersisih dan keberlanjutan hanya menjadi jargon tanpa keadilan.
Maka, sawit yang berkelanjutan adalah memberikan akses keadilan sosial bagi buruh perempuan yang selama ini termarjinalkan. Inpres RAN KSB dan kebijakan sawit masih abai terhadap diskriminasi yang mereka alami. Karenanya, momentum kebijakan RPJMN 2025–2029 harus dimanfaatkan untuk memastikan kesetaraan gender dan pekerjaan layak menjadi inti keberlanjutan. Sebab, sawit baru bisa disebut berkelanjutan jika adil juga bagi perempuan yang menopang industrinya.

Social Media Kami