Feminine Energy dan Masculine Energy: Narasi Palsu Pemberdayaan yang Memenjarakan Perempuan
Sejak beberapa tahun terakhir, media sosial dipenuhi konten yang mempromosikan konsep feminine energy dan masculine energy. Banyak dari konten ini mengajak perempuan untuk “mengaktifkan” feminine energy-nya agar bisa mendapatkan pasangan laki-laki dengan masculine energy yang sepadan. Laki-laki dengan energi maskulin dianggap ideal karena diasosiasikan sebagai provider, pelindung, dan pemimpin dalam hubungan romantis. Di sisi lain, perempuan diarahkan untuk menjadi lembut, anggun, tidak dominan, dan bergantung pada laki-laki.
Meski tampak seperti transformasi yang ditawarkan feminis radikal-kultural, namun narasi ini dibungkus dengan retorika yang melanggengkan nilai-nilai patriarki. Misalnya, masih banyak yang percaya bahwa perempuan yang feminin adalah sosok yang didambakan laki-laki dengan kodrat maskulinnya. Implikasinya, perempuan yang dianggap terlalu maskulin pun tak akan menemukan cinta sejatinya.
Konstruksi Gender dan Penjara Energi Biner
Konsep feminine dan masculine energy berakar dari cara pandang esensialis yang membatasi individu berdasarkan jenis kelamin biologisnya. Perempuan diasosiasikan dengan sifat lembut, emosional, penyayang, pasif, dan penurut, sedangkan laki-laki diasosiasikan dengan kekuatan, ketegasan, dominasi, dan rasionalitas. Konsep ini kemudian diformulasikan ulang dalam istilah spiritual dan psikologis yang populer di media sosial, dan secara tak sadar mempertahankan pola pikir patriarkal.
Ketika perempuan yang berani dan tegas dianggap “terlalu maskulin” dan laki-laki yang lembut dan sensitif dianggap “kurang jantan”, maka sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan bentuk baru dari toxic femininity dan toxic masculinity. Alhasil, konsep ini pun memaksa kita untuk menyesuaikan diri dengan peran-peran kaku dan biner yang dibentuk oleh masyarakat patriarki.
Alih-alih membebaskan, konsep ini menciptakan tekanan baru. Perempuan dituntut untuk menekan aspek maskulin dalam dirinya seperti keberanian, ambisi, dan logika demi dianggap feminin. Sementara laki-laki dipaksa menekan aspek feminin seperti kepekaan dan kelembutan demi dianggap maskulin. Dan, siapa pun yang tidak mengikuti aturan tersebut akan dianggap menyimpang.
Baca juga: Mereka Mencintai Perempuan Sederhana Dengan Syarat dan Ketentuan
Androgini sebagai Visi Emansipasi Gender
Secara psikologi, Carl Gustav Jung, menjelaskan bahwa sebenarnya manusia memiliki dimensi feminin dan maskulin dalam dirinya tidak terbatas pada jenis kelamin biologisnya. Jung memperkenalkan konsep anima dan animus sebagai aspek psikis yang ada dalam setiap individu. Anima adalah sisi feminin yang ada dalam diri laki-laki, mencakup emosi, kepekaan, kelembutan, dan empati. Sementara animus adalah sisi maskulin dalam diri perempuan, mencakup keberanian, logika, kekuatan, dan ketegasan.
Konsep ini menunjukkan keseimbangan sisi feminin dan maskulin merupakan bagian dari keutuhan psikologis seseorang. Seseorang tak akan berkembang secara utuh jika hanya memelihara satu sisi dan menekan sisi lainnya. Justru, pengenalan dan penerimaan terhadap anima dan animus dalam diri masing-masing adalah kunci kematangan emosional dan spiritual.
Sementara, melihat pemikiran feminis, Kate Millet dalam Sexual Politics (1970) menekankan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukanlah sesuatu yang bersifat biologis, melainkan hasil dari proses sosialisasi budaya yang menanamkan stereotip gender sejak dini. Oleh karenanya, Millet mengkritik keras sistem patriarki yang mempolarisasi sifat kepribadian berdasarkan jenis kelamin, yang membatasi perempuan dan laki-laki untuk berekspresi.
Padahal, baik perempuan dan laki-laki pun memiliki sifat maskulin maupun feminin di dalam dirinya. Karena itu, masyarakat yang ideal bagi Millett adalah masyarakat androgini ketika setiap orang bebas mengembangkan seluruh spektrum sifat manusiawi (feminin dan maskulin) tanpa dikungkung oleh peran gender yang kaku. Misalnya, laki-laki tak akan takut menunjukkan empati atau sikap lembut tanpa dianggap lemah, begitu juga perempuan yang diberi ruang berambisi, berpikir kritis tanpa khawatir dicap terlalu dominan.
Feminine Energy adalah Toxic Feminine
Dalam pemikiran feminis postmodern, Luce Irigaray menjadi salah satu tokoh penting yang mengkritik bagaimana budaya patriarki mendefinisikan “feminin”. Dalam karyanya This Sex Which Is Not One (1985), Irigaray menyatakan feminitas perempuan dikonstruksikan dan dikonseptualisasikan berdasarkan parameter maskulin. Artinya, feminitas didefinisikan bukan dari pengalaman perempuan itu sendiri, melainkan dari sudut pandang laki-laki dan demi kepentingan laki-laki.
Konsep seperti feminine energy yang belakangan populer justru sering menjadi alat penyeragaman ekspresi perempuan. Alih-alih membebaskan, konsep ini menciptakan tekanan baru karena perempuan diminta menjadi lembut, anggun, dan tunduk agar dianggap “feminim”, sementara perempuan yang kuat, vokal, mandiri, atau mengambil peran kepemimpinan dianggap “tidak sesuai kodrat” atau bahkan “tidak layak dicintai”. Pada akhirnya, ia pun mempersempit spektrum ekspresi perempuan dan membungkam keberagaman identitas mereka.
Irigaray menyerukan agar perempuan merebut kembali otonomi tubuh dan bahasanya. Pengalaman khas perempuan seperti menstruasi, melahirkan, dan merawat harus dilihat sebagai sumber kekuatan, bukan kelemahan. Dan, feminitas tidak boleh didefinisikan secara sempit, tetapi harus dipahami sebagai spektrum, baik itu melalui kelembutan atau kekuatan. Karena pada dasarnya, tak ada satu cara menjadi perempuan yang paling sah.
Namun, tidak semua feminis setuju bahwa sifat maskulin dan feminin harus diseimbangkan. Dalam aliran feminis radikal-kultural, Marilyn French justru menekankan bahwa nilai-nilai feminin, seperti empati, kasih sayang, dan relasi, sebagai dasar moral yang lebih unggul dibandingkan nilai-nilai maskulin yang sering diasosiasikan dengan dominasi dan kekerasan. Menurut French, sifat-sifat feminin itu yang seharusnya menjadi fondasi etika sosial baru.
French dalam Beyond Power (1985) juga percaya bahwa seksisme adalah bentuk penindasan paling awal, yang kemudian menjadi model bagi bentuk penindasan lainnya seperti rasisme dan klasisme. Karena itu, membongkar dominasi laki-laki atas perempuan adalah langkah awal membongkar seluruh sistem hierarki sosial.
Jadi, walau Irigaray dan French berbeda pandangan, mereka saling mengkritik penyeragaman ekspresi perempuan. Irigaray menekankan pentingnya perempuan menciptakan definisi dan bahasanya sendiri yang bebas dari logika patriarki. Sementara French mendorong pergeseran nilai menuju feminitas sebagai kekuatan etis utama. Sehingga, keduanya menolak dominasi patriarki, baik yang memaksakan maskulinitas sebagai norma, maupun yang membatasi feminitas dalam kerangka sempit yang justru melemahkan potensi perempuan.
Baca juga: Sisi Lain Dari Trend Tradwife yang Diromantisasi
Ketika Feminitas Dikapitalisasi
Salah satu persoalan serius dari kampanye feminine energy ini adalah komersialisasi produk-produk perempuan. Banyak konten dibuat demi menjual produk, kelas daring, atau pelatihan “mengaktifkan energi feminin”. Hal ini pun membuat feminitas dikomodifikasi menjadi gaya hidup yang bisa dibeli, mulai dari cara berpakaian, cara bicara, cara berjalan, hingga cara bersikap.
Bukan hanya itu, beberapa konten kreator membuat konten feminine energy hanya untuk mendapatkan audiens, engagement, dan tentunya popularitas yang dapat memberikan keuntungan pribadi tanpa melihat bahwa itu adalah bentuk patriarki baru yang sebenarnya memenjarakan perempuan.
Secara tak sadar, ini adalah ulah kapitalisme patriarkal yang menyusup untuk mengontrol dan mengeksploitasi perempuan melalui citra “perempuan ideal” demi cinta dan pengakuan. Akibatnya, pandangan ini bisa membuat perempuan terus-menerus merasa kurang, tidak cukup feminin, dan harus terus memperbaiki diri agar diterima oleh sistem yang sebenarnya menindasnya.
Sudah waktunya kita berhenti mengukur diri dengan standar sempit, seperti feminine energy atau masculine energy. Perempuan tak harus lembut untuk dianggap layak, dan laki-laki tak harus keras untuk dihormati. Menjadi diri sendiri, dengan sifat yang beragam, adalah bentuk kebebasan yang sesungguhnya. Karena, feminitas bukanlah topeng yang harus dipakai agar diterima, tapi ruang untuk mengekspresikan dan merayakan siapa kita.

Social Media Kami