Film Women from Rote Island (Perempuan Berkelamin Darah) telah dirilis pada tahun 2023, dengan Jeremias Nyangoen sebagai sutradara debut. Film ini telah memenangkan empat penghargaan di Festival Film Indonesia 2023 yang kemudian dirilis di bioskop pada bulan februari 2024 dan baru-baru ini Netflix menayangkan film tersebut dan berada di 10 rekomendasi film di Netflix. Film ini membawa penonton ke dalam kehidupan perempuan-perempuan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, yang dihadapkan pada realitas keras patriarki, kekerasan seksual, dan trauma yang mendalam. Mengangkat isu kekerasan seksual yang jarang tersentuh dalam media arus utama, film ini menawarkan narasi yang menyentuh hati sekaligus membuka mata tentang kondisi perempuan Adat yang tinggal di pulau Indonesia.
Cerita berfokus pada keluarga Orpa dan kedua anaknya, Martha dan Bertha. Setelah kehilangan suaminya, Orpa harus segera menguburkannya, tetapi ia memutuskan untuk menunda penguburan demi menunggu kepulangan Martha, anak sulungnya yang bekerja di Malaysia. Namun, penundaan ini membawa konsekuensi berat. Dalam adat setempat, seorang perempuan yang keluar rumah sebelum penguburan dianggap melanggar norma dan dianggap pamali. Ketika Orpa pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia malah menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang anak laki-laki yang menggesekkan kelaminnya ke tubuh Orpa. Alih-alih mendapat perlindungan, masyarakat justru menyalahkan Orpa karena dianggap melanggar adat.
Martha akhirnya pulang ke kampung halaman dengan kondisi yang memprihatinkan. Tatapan kosong dan perilaku anehnya menjadi tanda trauma mendalam akibat kekerasan seksual yang ia alami saat bekerja di Malaysia. Meski enggan berbicara, perlahan terungkap bahwa ia menjadi korban kekerasan seksual oleh majikannya. Trauma tersebut membawa Martha ke titik di mana ia harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Orpa membawa Martha ke rumah sakit di Rote, tetapi kondisinya memerlukan rujukan ke rumah sakit besar di Kupang untuk mendapatkan perawatan psikiater.
Namun, alih-alih mendapatkan ruang aman, Martha kembali menjadi korban. Trauma yang ia alami dimanfaatkan oleh pelaku lain yang hampir memperkosanya, tetapi ia diselamatkan oleh adiknya, Bertha. Sayangnya, insiden ini memicu stigma di masyarakat. Martha dianggap "berbahaya" dan "gila," sehingga ia dipasung di luar rumah oleh masyarakat setempat. Pemasungan ini tidak menghentikan penderitaan Martha, ia kembali menjadi korban pemerkosaan oleh sosok misterius hingga akhirnya Bertha menemukan bahwa Martha hamil.
Orpa yang mengetahui hal ini merasa hancur. Sebagai seorang ibu, ia merasa gagal melindungi anak-anaknya. Penderitaannya semakin dalam ketika Bertha menghilang selama beberapa hari. Dalam waktu singkat, Orpa kehilangan banyak hal, suaminya, keamanan Martha, Bertha, dan bahkan uang seadanya yang ia miliki untuk mengganti kerugian materi akibat Martha yang mengamuk setelah hampir menjadi korban kekerasan seksual lagi saat itu.
Kekuatan dalam film ini adalah kemampuannya mengemas kompleksitas hubungan antara perempuan, keluarga, dan komunitas dalam sistem sosial yang menormalisasi ketidakadilan gender. Orpa dan anak-anaknya menjadi korban ganda: korban kekerasan dan korban stigma masyarakat yang didominasi oleh norma patriarki. Orpa, Martha dan Bertha merepresentasikan perempuan adat yang terus berjuang di tengah tekanan sosial.
Hal yang menarik dari film ini adalah penggunaan aktor lokal dan dialog dalam dialek asli Rote. Hal ini memberikan keaslian pada cerita, membuatnya terasa organik dan dekat dengan realitas. Selain itu, tradisi budaya Rote seperti musik Sasando dan tenun ikat ditampilkan sebagai elemen penting yang tidak hanya memperkaya cerita tetapi juga memberikan penghormatan kepada warisan budaya setempat. Namun, film ini tidak berfokus menjadi representasi budaya, melainkan mengkritisi bagaimana norma-norma tradisional dapat memperkuat sistem patriarki yang merugikan perempuan.
Mengangkat Isu Kekerasan Seksual Perempuan Adat
Film ini selain mengangkat isu kekerasan seksual, tetapi juga menggambarkan isu kekerasan seksual yang terjadi dalam perempuat adat. Seringkali, isu kekerasan seksual dalam masyarakat adat terbentur oleh adat istiadat sehingga sering dianggap sesuatu yang wajar. Perempuan adat kerap menghadapi kekerasan seksual yang berlapis-lapis akibat kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang mendukung ketidakadilan. Ruang aman bagi perempuan adat hampir tidak ada, seperti yang tergambar melalui pengalaman Martha dan Orpa. Martha tidak hanya menjadi korban kekerasan seksual di luar negeri, tetapi juga terus dianiaya bahkan ketika ia kembali kerumahnya. Ketidakmampuan masyarakat untuk memberikan perlindungan dan justru mengucilkan korban menunjukkan bagaimana norma-norma patriarki dan adat dapat melanggengkan siklus kekerasan.
Selain itu, film ini mengungkap betapa sulitnya perempuan adat untuk mendapatkan keadilan. Hukum adat yang cenderung bias gender sering kali tidak memberikan perlindungan bagi perempuan, sementara stigma sosial membuat korban enggan untuk melapor. Peran keluarga sebagai pelindung utama juga digambarkan tidak efektif, seperti yang dialami Orpa, yang meskipun berusaha keras melindungi keluarganya, tidak mampu melawan tekanan sosial yang sangat kuat. Melalui cerita ini, memberikan perspektif bahwa perubahan mendalam dalam struktur sosial dan budaya diperlukan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan seksual yang didapatkan oleh perempuan adat memang sering terjadi dan bahkan berlapis-lapis. Berdasarkan penelitian Jurnal Perempuan, Vol. 29 No. 1 kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan adat sering melibatkan kekerasan berlapis, yang dipengaruhi oleh struktur patriarki, ketimpangan relasi kuasa, dan diskriminasi sistemik dalam masyarakat adat. Perempuan adat enggan melaporkan kasus yang mereka alami karena berbagai alasan, termasuk stigma sosial yang mempermalukan korban, ketakutan akan reaksi negatif dari keluarga dan komunitas, serta dominasi relasi kuasa oleh pelaku yang sering kali memiliki posisi kuat dalam struktur adat. Selain itu, minimnya akses terhadap sistem keadilan formal, ketidakpercayaan pada efektivitas hukum, dan keterbatasan pengetahuan serta akses terhadap proses pelaporan juga menjadi kendala besar. Hambatan ini diperparah dengan bias gender dalam sistem adat maupun hukum negara yang seringkali mengutamakan harmoni komunitas daripada keadilan bagi korban.
Women from Rote Island adalah film yang berani dan penting untuk ditonton. Dengan mengangkat isu yang sering kali diabaikan, film ini membuka dialog tentang perlunya perubahan sosial yang mendukung perempuan. Kisah Orpa, Martha dan Bertha bukan hanya sekedar cerita dalam film, namun cerita ini sering terjadi pada perempuan adat. Dari film ini, dapat menjadi sebuah "peringatan pahit" yang mengingatkan kita akan betapa beratnya perjuangan hidup sebagai perempuan di tengah adat dan budaya yang masih kuat dipengaruhi oleh sistem patriarki.
0 comments