Setiap 21 April, bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini. Di sekolah-sekolah, kantor pemerintahan, hingga ruang-ruang komunitas, peringatan ini kerap dirayakan dengan cara yang sama berulang kali: mengenakan kebaya, lomba memasak, merias diri, atau mendandani anak-anak perempuan agar terlihat menarik. Kartini seolah-olah hadir hanya sebagai simbol perempuan Indonesia yang anggun, penurut, dan feminin–sesuai dengan standar ideal perempuan dalam masyarakat patriarki. Namun, bila membuka kembali surat-surat Kartini dan menelusuri pemikirannya, kita akan menemukan kenyataan yang jauh berbeda.
Kartini bukan sekadar sosok perempuan yang anggun dalam balutan kebaya. Ia adalah pemikir progresif, pemberontak budaya patriarki, dan pelopor pemikiran emansipasi yang melampaui zamannya. Sayangnya, api perjuangan Kartini yang radikal itu telah direduksi, disederhanakan, bahkan dijinakkan oleh penguasa, khususnya rezim Orde Baru, menjadi simbol kebaya belaka, sampai saat ini.
Pemikiran Kartini yang Melawan Arus
Dalam surat-suratnya yang diabadikan dalam Kartini: The Complete Writings 1898–1904 (Editor Joost Coté), Kartini dengan lantang menyuarakan kritik terhadap tradisi dan struktur sosial feodal yang menindas perempuan. Kartini menolak sistem pingitan, pernikahan paksa, dan anggapan bahwa perempuan hanya layak menjadi istri dan ibu rumah tangga. Ia menulis tentang pentingnya pendidikan, bukan hanya untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan. Baginya, pendidikan adalah jalan menuju kebebasan berpikir dan kemerdekaan jiwa.
Kartini hidup dalam masyarakat Jawa yang kental dengan hierarki sosial dan adat istiadat yang mengekang perempuan bangsawan. Sebagai putri priyayi, ia tahu betul bagaimana sistem itu bekerja dan bagaimana ia menjadi korban. Alih-alih tunduk, Kartini justru menjadikan pengalamannya sebagai bahan refleksi dan kritik. Dalam suratnya kepada E.H. Zeehandelaar, ia menulis, “Aku ingin bebas. Aku ingin berdiri sendiri. Aku ingin tidak tergantung pada siapa pun. Aku ingin menjadi manusia yang merdeka.”
Pernyataan itu bukan hanya ekspresi personal, tetapi juga bentuk kesadaran politik dan sosial yang membelenggu. Kartini memandang perempuan bukan sebagai pelengkap laki-laki, melainkan sebagai individu yang utuh dan layak mendapatkan hak yang setara. Inilah yang menjadikan Kartini bukan hanya tokoh pendidikan, tetapi juga seorang pemikir feminis awal di Indonesia.
Kartini sendiri, dalam surat-surat pribadinya, juga menunjukkan penolakan terhadap gelar kebangsawanan yang melekat padanya. Ia lebih senang disebut hanya sebagai “Kartini” tanpa embel-embel kehormatan feodal, seperti “Raden Ajeng” atau “Raden Ayu”. Dalam salah satu suratnya kepada Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899, ia dengan tegas menulis,“Panggil aku Kartini saja–itulah namaku”. Ungkapan sederhana ini sebenarnya menyimpan makna yang dalam, yaitu penolakan terhadap hierarki sosial feodal yang mengistimewakan bangsawan dan merendahkan rakyat biasa. Dalam konteks masyarakat Jawa dengan struktur sosial sangat kaku dan gelar sebagai simbol kekuasaan, keberanian Kartini untuk merelakan gelar tersebut adalah bentuk perlawanan yang radikal.
Bagi Pramoedya Ananta Toer, hal ini bukan sekadar gestur personal, melainkan cerminan dari kesadaran politik Kartini yang sudah sangat maju. Dalam Panggil Aku Kartini Saja (2003), Pramoedya menyebut Kartini sebagai prototipe manusia Indonesia modern karena telah memiliki spirit antifeodalisme sekaligus antikolonialisme dalam pikiran dan tindakannya. Ia menempatkan Kartini bukan sekadar sebagai pahlawan perempuan, melainkan sebagai intelektual awal bangsa yang telah merumuskan cita-cita kemerdekaan bahkan sebelum gagasan itu mengemuka secara luas.
Penolakan terhadap gelar kebangsawanan ini juga dapat dibaca sebagai bentuk kritik terhadap struktur kuasa kolonial yang menjadikan bangsawan pribumi sebagai alat kekuasaan Belanda. Dalam sistem indirect rule, para priyayi ditempatkan sebagai perpanjangan tangan kolonial untuk mengatur rakyat. Dengan menolak identitas priyayi, Kartini seolah sedang melepaskan diri dari peran itu.
Keberaniannya menolak struktur ketidakadilan, baik yang dibangun oleh budaya sendiri (feodalisme), maupun yang dipaksakan dari luar (kolonialisme), yang seharusnya dirayakan. Maka ketika Kartini berkata “panggil aku Kartini saja”, ia tidak sedang merendahkan dirinya, melainkan mengangkat derajat semua orang. Manusia semestinya dihargai bukan lewat gelar atau darah keturunan, tetapi karena pikiran, keberanian, dan perjuangannya.
Kartini dan Jejak Pemikiran Kiri
Pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno, pemikiran Kartini dihidupkan kembali oleh kelompok-kelompok progresif. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sebuah organisasi perempuan berhaluan kiri, menjadikan Kartini sebagai simbol perjuangan perempuan melawan patriarki dan kolonialisme. Majalah mereka, Api Kartini, menunjukkan warisan Kartini berupa semangat pembebasan dan keberanian untuk menggugat tatanan.
Kartini juga menjadi rujukan bagi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebagai tokoh progresif yang berani menyuarakan ketidakadilan. Pemikiran Kartini dianggap sejalan dengan nilai-nilai antifeodalisme dan antiimperialisme yang saat itu menjadi semangat zaman.
Namun, setelah peristiwa 1965 dan naiknya Orde Baru, segala yang berbau kiri dan progresif dibersihkan dari sejarah. Gerwani dibubarkan dengan stigma mengerikan, Lekra dilenyapkan, dan pemikiran-pemikiran kritis dikubur dalam diam. Kartini pun tidak luput dari proses depolitisasi ini. Sosoknya yang dulu dianggap subversif diromantisasi menjadi tokoh nasional yang jinak, tradisional, dan sesuai dengan nilai-nilai keluarga Orde Baru.
Politik Kebaya dan Ibuisme Negara
Salah satu strategi Orde Baru dalam mengaburkan kontribusi pemikiran kritis Kartini melalui simbolisasi kebaya. Kebaya, yang dimaknai sebagai simbol nasionalisme dan perlawanan budaya kolonial, dialihfungsikan menjadi simbol domestikasi perempuan. Kebaya bahkan dijadikan seragam wajib bagi organisasi perempuan, seperti PKK dan Dharma Wanita, yang tugas utamanya adalah mendukung peran domestik perempuan sebagai istri dan ibu.
Kini, peringatan Hari Kartini seperti kembali ke masa itu. Lomba memasak, merangkai bunga, mendandani anak-anak perempuan dengan kebaya dan sanggul, dan kegiatan seremonial lainnya hanya menekankan nilai-nilai kepatuhan, keanggunan, dan keibuan. Kartini direduksi menjadi “ibu yang baik” dalam narasi ibuisme negara, konsep yang dijelaskan dengan tajam oleh Julia Suryakusuma.
Mengembalikan Kartini ke Tempatnya yang Layak
Kini, lebih dari seratus tahun kematian Kartini, sebagai perempuan muda Indonesia kita punya tugas besar guna merebut kembali makna Kartini yang sesungguhnya. Hari Kartini bukan tentang lomba kebaya. Bukan tentang seberapa anggun perempuan tampil di atas panggung. Hari Kartini adalah hari untuk menghidupkan kembali kritiknya, keberaniannya, dan semangat pembebasannya.
Kebaya tidak perlu ditolak, tapi harus dikembalikan maknanya. Ia bukan simbol penundukan, tapi bisa menjadi simbol perlawanan, jika dipakai dengan kesadaran akan sejarahnya. Namun, yang paling penting bukanlah apa yang kita kenakan, melainkan bagaimana kita berpikir kritis dengan terus menyuarakan hak-hak perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Karena, Kartini mewariskan pada kita api intelektual, bukan sekadar busana.
Hari ini, perjuangan perempuan masih panjang. Ketimpangan gender masih nyata. Kekerasan terhadap perempuan terus terjadi. Hak perempuan atas pendidikan, kesehatan reproduksi, dan ruang politik masih sering diabaikan. Dalam konteks inilah, pemikiran Kartini mengingatkan kita. Perempuan tidak boleh dibungkam, tidak boleh dikurung dalam rumah, dan tidak boleh diatur oleh sistem yang menganggap mereka lebih rendah.
Kartini telah membuktikan bahwa seorang perempuan muda dari Jepara, dalam keterbatasannya, mampu memikirkan ulang sistem yang menindasnya dan merumuskan gagasan-gagasan yang jauh melampaui zamannya. Memperingati Kartini adalah memperingati keberanian untuk berpikir, menggugat, dan membebaskan diri.
Dan semestinya, Hari Kartini tidak hanya menjadi seremoni tahunan yang hampa makna, melainkan momen untuk menyalakan kembali obor pemikirannya guna membakar ketidakadilan, menolak pembungkaman, dan menyalakan harapan bagi masa depan yang lebih setara. Jadi, mari kita rayakan apa yang ia pikirkan, perjuangkan, dan tinggalkan sebagai warisan intelektual; kebebasan, keberanian, dan kesetaraan.
0 comments