Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan Ajarkan Isu Disabilitas adalah Isu Kita Semua

Dalam Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan (2024), Muhammad Khambali tidak sekadar menulis tentang kondisi sosial penyandang disabilitas. Ia mengajak kita untuk menelusuri bagaimana bahasa, kebijakan, dan narasi publik telah membentuk atau justru mengaburkan ketimpangan yang mereka hadapi. Buku ini membongkar realitas bagaimana disabilitas diperlakukan dalam masyarakat Indonesia, bukan hanya sebagai kondisi fisik, tetapi sebagai konstruksi sosial yang sarat diskriminasi.

Dari “Cacat” ke “Disabilitas”: Sebuah Eufemisme Bahasa

Perjalanan istilah dari penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas menunjukkan adanya kesadaran bahwa bahasa mempengaruhi cara kita memperlakukan manusia. Istilah “disabilitas” mulai dipakai secara resmi setelah Indonesia meratifikasi UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) dan mengesahkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016. Setelah itu, kata “cacat” secara resmi diganti dengan “disabilitas” untuk menghapus makna peyoratif dan stigma yang melekat.

Namun, meskipun bahasa telah diperhalus, praktik sosial kita masih tertinggal jauh, seperti minimnya fasilitas penunjang (guiding block yang rusak, misalnya) dan stigma bahwa mereka tidak mampu mengambil keputusan sendiri atau selalu butuh pendamping, sehingga eufemisme bahasa pun belum otomatis menghadirkan kesetaraan dalam perlakuan. Karena, perubahan istilah tanpa perubahan struktur hanyalah “kosmetik” semata.

Inklusi yang Hanya Slogan

Kata “inklusi” kini menjadi bagian dari hampir setiap dokumen kebijakan dan visi misi institusi, terutama di sektor pendidikan. Sayangnya, dalam banyak kasus, kata ini hanya berhenti sebagai jargon. Representasi penyandang disabilitas masih menjadi yang paling sedikit, bahkan paling mudah disingkirkan dari ruang-ruang sosial dan institusional.

Sekolah-sekolah umum yang belum siap secara infrastruktur, kurikulum, maupun pemahaman guru, sering kali tetap menempatkan anak-anak difabel dalam posisi liyan–yang lain. Alhasil, mereka dikembalikan ke sekolah luar biasa (SLB), yang justru mereproduksi pemisahan dan mempertebal stigma.

Segregasi pendidikan ini bukan hal baru. Dalam Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan, Khambali menjelaskan bahwa pada masa kolonial Belanda, pendidikan untuk anak-anak difabel diselenggarakan oleh pihak swasta dan dilihat tidak lebih dari kegiatan amal. Artinya, sejak awal, pendidikan untuk difabel memang tidak dipandang sebagai hak yang setara, melainkan sebagai belas kasih semata.

Inklusi Bukan Sekadar Transfer Tempat

Namun, mengintegrasikan anak-anak penyandang disabilitas ke sekolah umum sering kali dipersepsikan sebagai langkah inklusif. Namun dalam praktiknya, “inklusi” tersebut kerap kali hanya berupa pemindahan lokasi, bukan perubahan paradigma. Anak-anak difabel ditempatkan di ruang yang sama secara fisik, tetapi tidak disediakan dukungan yang setara secara struktural, kurikulum, maupun kultural. Akibatnya, yang terjadi bukanlah partisipasi aktif dan bermakna, melainkan isolasi di tengah keramaian.

Barang kali kita perlu mengingat bahwa inklusi sejati bukanlah tentang membuat orang “yang berbeda” menjadi “seperti kita”, tetapi tentang menciptakan ruang ketika perbedaan diterima dan dihargai secara setara. Dalam Can We Live Together? Equality and Difference (2000) oleh sosiolog Perancis, Alan Tourine menekankan masyarakat demokratis harus menjawab dua tuntutan yang tampaknya kontradiktif, yaitu (1) tuntutan atas kesetaraan; (2) dan tuntutan atas pengakuan terhadap perbedaan. 

Jika masyarakat hanya menekankan pada kesetaraan formal tanpa pengakuan terhadap perbedaan, maka mereka yang memiliki identitas “lain” akan terus-menerus mengalami eksklusi simbolik dan kultural, bahkan jika secara hukum mereka telah “diikutsertakan”.

Gagasan bahwa kita harus “menyamaratakan” semua individu demi mencapai kesetaraan adalah hal yang keliru. Justru, melihat dan menerima perbedaan adalah bagian esensial dari kehidupan bersama. Karena, inklusi berarti menciptakan tatanan sosial yang mengakui, merayakan, dan menjamin hak perbedaan.

Isu Disabilitas Adalah Isu Kita Semua: Memahami Interseksionalitas

Disabilitas tidak berdiri sendiri sebagai identitas sosial. Seorang perempuan yang mengalami disabilitas, misalnya, menanggung beban ganda atau bahkan berlapis diskriminasi. Jika perempuan dalam masyarakat patriarkal sering kali diposisikan dalam struktur yang timpang, maka perempuan penyandang disabilitas mengalami penindasan yang berkali-kali lipat.

Fenomena tersebut menggambarkan konsep interseksionalitas oleh Kimberlé Crenshaw bahwa diskriminasi dan penindasan memiliki lapisan yang jarang kita sadari. Dengan menggunakan perspektif interseksionalitas, kita akan memahami bahwa identitas sosial seseorang tidak bisa dipisahkan. Gender, ras, kelas, dan disabilitas saling berkaitan dalam membentuk pengalaman ketidakadilan. 

Itulah mengapa, isu disabilitas bukan hanya soal perbedaan fisik, tapi nihilnya keadilan sosial oleh negara. Ia juga menyangkut bagaimana kita, sebagai masyarakat, mengatur relasi kuasa, akses terhadap hak-hak dasar, dan membangun sistem yang adil untuk semua. Isu disabilitas bukan hanya milik mereka yang hidup dengan hambatan, tapi menjadi tanggung jawab kolektif kita.

Melalui Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan, Khambali membuka mata kita bahwa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas tidak hanya mengendap dalam kebijakan dan kelembagaan, tapi juga hidup dalam bahasa, narasi, dan praktik sehari-hari. Buku ini tidak hanya mengajak kita memahami disabilitas sebagai isu struktural, tapi juga menantang kita untuk berpikir ulang tentang makna inklusi yang sejati.

Karena, jika inklusi hanya sebatas jargon tanpa transformasi sistemik, kesetaraan akan tetap berputar dalam janji-janji kosong. Percayalah bahwa kesetaraan sejati bukan lahir dari kata-kata yang diperhalus, tapi dari keberanian kita dan negara untuk mengubah sistem yang timpang.

0 comments

Leave a Comment