Aurat, Kritik Sosial, dan Represi: Kekerasan Simbolik dalam Pemecatan Sepihak ‘Twister Angel’, Vokalis Perempuan Band Sukatani

20 Februari silam, masyarakat digegerkan dengan video permintaan maaf Sukatani kepada Kapolri dan institusi kepolisian melalui akun Instagram resmi mereka, @sukatani.band. Mereka juga mengumumkan penarikan lagu tersebut dari semua platform musik dan meminta pengguna media sosial untuk menghapus video atau lagu “Bayar Bayar Bayar” yang sudah terlanjur beredar. Aksi ini dilakukan karena lagu “Bayar Bayar Bayar” memuat kritik terhadap praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian.

Dalam video tersebut, band asal Purbalingga ini tampil tanpa topeng dan membuka identitas asli mereka ke publik. Padahal, selama ini Sukatani selalu menjaga anonimitas dengan menggunakan topeng balaclava sebagai ciri khas penampilan mereka. Hal ini membuat masyarakat merasa janggal dan menduga bahwa video tersebut diunggah karena ada intimidasi dari pihak tertentu.

Dugaan tersebut pun dikonfirmasi langsung oleh Sukatani seminggu setelahnya bahwa mereka mendapatkan tekanan dan intimidasi terus menerus dari pihak kepolisian sejak Juli 2024. Kejadian ini membuat Sukatani dirugikan baik secara materiil maupun nonmateriil, salah satunya adalah pemecatan sepihak Twister Angel sebagai guru di SDIT Mutiara Hati. 

Sukatani juga menjelaskan duduk perkara pemecatan sepihak ini yang tidak memberikan ruang dan kesempatan bagi Twister Angel untuk berbicara. Hal ini karena dalam surat pemecatan yang diterima Twister Angel, sama sekali tidak dijelaskan apakah keikutsertaannya sebagai vokalis Sukatani adalah pelanggaran berat. Namun, dilansir Tempo, Ketua Yayasan yang membawahi SDIT Mutiara Hati, hanya mengakui adanya pelanggaran kode etik yayasan,  terutama pada aspek etika pergaulan dan berpakaian.

Setelah kejadian ini, kemudian Sukatani pun memutuskan bergabung dengan YLBHI Semarang untuk mendapat pengawalan hukum selama masa transisi dan kembali ke panggung tanpa menyanyikan “Bayar Bayar Bayar”.

Pengaturan Tubuh Perempuan dalam Konstruksi Aurat

Mengutip Suara.com, Kepala Sekolah SDIT Mutiara Hati, Eti Endarwati menjelaskan bahwa pelanggaran kode etik Twister Angel ditunjukkan dalam video-video di akun YouTube resmi Sukatani yang menurutnya membuka aurat dan tidak sesuai dengan syariat Islam. Dalam konteks ini, alasan “membuka aurat” digunakan sebagai pembenaran administratif serta memperlihatkan bagaimana norma keagamaan dan budaya kerap digunakan untuk mengatur tubuh perempuan.

Kasus pemecatan Twister Angel dengan alasan auratnya “terbuka” adalah bentuk pembatasan ruang gerak perempuan yang didasari cara pandang yang bias terhadap identitas muslimnya. Padahal, perempuan berkerudung tetap memiliki hak untuk bersuara dan memberikan kritik terhadap sistem yang menindas dirinya. Hal ini juga merefleksikan cacat logika pada level institusi pendidikan karena memasuki ranah privat Twister Angel–caranya berbusana–di luar sekolah.

Situasi ini terjadi bukan tanpa sebab. Sesuai dengan pernyataan Amina Wadud, seorang tokoh feminis Islam, bahwa saat ini jilbab sudah dianggap seperti dasar kebenaran dan dipandang sebagai kesopanan dalam masyarakat. Sehingga, pemahaman ini membuat jilbab dijadikan simbol dan identitas yang seragam bagi seluruh perempuan Muslim. Dan, tanpa disadari, jilbab yang awalnya menjadi simbol pembebasan pun beralih menjadi penindasan, seperti yang dialami oleh Twister Angel.

Jika merujuk pada konsep performativitas oleh Judith Butler, seorang tokoh queer, fenomena ini terjadi karena praktik sosial yang membentuk gender kita secara terus-menerus. Dengan kata lain, apa yang kita lihat sebagai “perempuan” dan “laki-laki” adalah hasil konstruksi sosial yang menyebabkan adanya standar-standar tertentu agar seseorang bisa dikatakan sebagai perempuan atau laki-laki.

Pada kasus Twister Angel, penampilan panggungnya dengan baju punk dan topeng balaclava dianggap sebagai pakaian yang menyimpang dari standar aurat perempuan yang “diatur” dalam kerangka budaya. Pemecatan sepihak Twister Angel pun menunjukkan pemaksaan aurat digunakan sebagai konsekuensi atas “penyimpangan” dalam berpakaian ala muslimah yang “seharusnya”.

Kekerasan Simbolik yang Tidak Terlihat

Pemecatan Twister Angel dengan alasan pelanggaran kode etik berbusana juga mencerminkan bentuk kekerasan simbolik yang bekerja melalui konstruksi sosial terhadap perempuan. Dalam kacamata patriarki, perempuan selalu ditempatkan dalam kerangka normatif yang kaku karena mereka dituntut untuk selalu menjaga penampilan agar tidak menyimpang dari apa yang dianggap “layak” oleh masyarakat.

Menurut Pierre Bourdieu, seorang sosiolog asal Prancis, kekerasan simbolik merupakan mekanisme kekuasaan yang halus namun efektif karena bekerja melalui internalisasi norma-norma yang dianggap “alami”. Dampak psikologis dan kultural dari kekerasan simbolik ini sangat mendalam. Perempuan yang kerap kali jadi korban, akan selalu dituntut untuk patuh terhadap standar tertentu. Tanpa disadari, hal ini akan menjadi kesadaran kolektif yang berpotensi menghambat munculnya wacana kritis dan perlawanan progresif.

Secara tidak langsung, institusi pendidikan dan aparat kepolisian memanfaatkan perdebatan tentang aurat sebagai senjata politik untuk melegitimasi tindakan represif terhadap Twister Angel. Dengan menekankan aspek penampilan, perhatian publik dialihkan dari kritik substantif terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang sebenarnya disuarakan oleh Sukatani. Strategi ini pun mengirimkan pesan simbolis bahwa perempuan yang berani menentang atau menyimpang dari norma akan selalu dihukum.

Intimidasi Negara terhadap Kritik Sosial Melalui Seni

Ekspresi seni dalam lagu “Bayar Bayar Bayar” merupakan wujud kritik sosial yang berani terhadap institusi kepolisian yang korup. Dituangkan melalui lirik-lirik sederhana dan relate dengan bahasa sehari-hari, kritik dalam lagu ini diujarkan secara frontal terhadap kondisi nyata yang terjadi di institusi kepolisian saat ini. 

Sayangnya, dalam merespons kritik tersebut, pihak kepolisian justru melakukan tindakan represif–yang justru semakin melegitimasi kebobrokannya. Mereka menelanjangi dan memaksa Twister Angel untuk mengungkap identitas aslinya ke publik. Padahal, Twister Angel yang berprofesi sebagai guru berusaha menganonimitaskan dirinya saat melakukan kritik melalui Sukatani.

Identitas Twister Angel tidak hanya ditandai oleh profesi dan perannya sebagai pendidik, tetapi juga sebagai agen perlawanan yang menolak untuk diam saja melihat praktik korupsi di mana-mana. Kritik yang dilontarkan melalui lagu “Bayar Bayar Bayar” bukan hanya soal menantang praktik korupsi, tetapi juga merupakan sikap politis seniman yang menolak untuk dikotak-kotakkan oleh standar yang ditetapkan oleh kekuasaan yang represif.

Situasi ini menggambarkan interseksionalitas yang digagas Kimberlé Crenshaw, yaitu penindasan berlapis yang dialami perempuan saat berada di persimpangan berbagai peran, seperti pendidik, seniman, dan aktivis. Dalam kasus ini, Twister Angel sebagai perempuan mengalami diskriminasi berlapis melalui identitas gendernya, politik, budaya, bahkan agama.

Pada akhirnya, mekanisme intimidasi negara dan pengalihan fokus isu turut memperkuat kontrol atas ekspresi perlawanan. Alih-alih menghadapi kritik secara asertif, pihak berwenang memilih untuk meng-kambing-hitam-kan persoalan yang ada dengan aspek pelanggaran norma aurat sebagai alasan pemecatan. 

Taktik ini tidak hanya melemahkan pesan politik yang disampaikan melalui karya seni, tetapi juga mengirimkan sinyal bahwa perempuan yang menyuarakan kritik dalam lapisan interseksionalitas akan menghadapi konsekuensi yang berat. Dengan demikian, mekanisme ini mencerminkan strategi kompleks untuk meredam perlawanan kritis dan mempertahankan kekuasaan yang ada melalui kekerasan simbolik terhadap perempuan.

0 comments

Leave a Comment