Bunga namanya, pagi itu dia kembali termangu di depan wastafel dapurnya. Perempuan itu menatap kran cucian piring itu dengan tatapan kosong. Entah apa yang ada di benaknya. Hingga mata perlahan menetes dan membasahi pipinya. Tak perlu berapa lama pecahlah isak tangisnya.
Mengapa bunga menangis? Bunga sendiri sulit mendefinisikannya. Dia merasakan emosi yang sulit dinamai. Perasaan bersalah kah, atau marah? Pagi tadi, suaminya mengajaknya berhubungan seks. Namun, Bunga yang bangun kesiangan dan panik langsung menolak ajakan tersebut. Terburu-buru perempuan itu membangunkan 3 malaikat kecilnya yang masih tertidur lelap. Bergegas pula Bunga menyiapkan sarapan dan bekal sekolah untuk mereka.
Usai mengurus anak-anak, Bunga menghampiri suaminya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Bunga merasa bersalah karena tadi menolak ajakannya. Dia berniat meminta maaf sambil memeluknya. Namun, sang suami dengan kasar menepis pelukannya. Sambil bersungut-sungut, laki-laki itu berkata, “Udah aku bilang, laki-laki itu butuh seks! Kalo kamu tolak terus, aku pusing. Gimana aku bisa kerja?” diiringi suara bantingan pintu.
Bunga menarik nafas panjang. Dia tidak ingat lagi kapan mengantarkan anak-anaknya sekolah dan kapan suaminya berpamitan pergi. Dalam benaknya hanyalah pagi yang harusnya hangat itu, berubah menjadi panas; penuh sulutan amarah. Isak tangisnya luap dalam keheningan–diiringi dengan derasnya air yang mengalir. Seolah keran itu turut prihatin dan tak dibiarkannya bergulir seorang diri. Namun, Bunga tetaplah sendiri, di dapur itu, di rumah itu.
Perlakuan suaminya membuatnya merasa kecil. Ada perasaan bersalah namun juga kecewa dan marah. Bunga menolak bukan tanpa alasan. Seringnya suaminya pulang larut malam saat dia sudah lelah. Dengan kerja domestiknya, bisnis online di rumah, dan kerja-kerja tak terlihat lainnya. Memang kadang Bunga menolak, tapi seringnya perempuan berlesung pipit itu tetap menanggapi ajakan walau dengan fisik yang lelah.
Bunga berusaha menjadi istri yang baik–sebaik yang dia bisa. Ia ingat betul bagaimana sang suami sering menekankan seks adalah kebutuhan utama laki-laki. Ceramah seorang ustazah pun menari dalam benaknya. Dikatakan, otak laki-laki memang dipenuhi soal seks, jika tak terpenuhi akan memengaruhi keseharian mereka. Sebagai istri, tugasnya hanya memaklumi agar rumah tangga sakinah, begitu katanya. Bunga menyimaknya diam-diam, mencoba memahami dan percaya.
Tapi pagi ini, batinnya bergejolak, akalnya bertanya, nuraninya menolak diam. Benarkah pusingnya suami menjadi tanggungjawabku? Sebenarnya Sakinah untuk siapa? Mengapa aku tidak ditanya alasanku menolak? Mengapa kebutuhanku untuk istirahat tidak sama pentingnya dengan kebutuhan suamiku akan seks? Bukankah aku juga ingin menikmati, bukan sekadar memenuhi?
Bukan Tidak Mau, Bunga Hanya Lelah
Bagaimana tidak, sejak semua anggota keluarganya masih terlelap, roda aktivitasnya sudah berputar. Menyiapkan sarapan, seragam sekolah, dan bekal, mengantar anak sekolah, kembali membereskan rumah yang tak pernah rapi, memasak 3 kali sehari, menjemput anak, menemani belajar dan seterusnya hingga semuanya terlelap. Ini bukan hanya daftar tugas, tapi maraton fisik dan mental tanpa henti.
Energi terkuras habis. Kalau bisa dibayangkan mungkin tubuh Bunga seperti baterai yang terus dipakai tanpa diisi ulang sepenuhnya. Di ujung hari, saat semua kelelahan itu terakumulasi, pikirannya penat dan mata berat. Suaminya datang hanya untuk mengajak seks. Tubuhnya otomatis menolak. Bukan karena tidak mau, tidak cinta, bukan juga karena benci. Tetapi karena tidak ada lagi sisa energi. Rasanya sudah tak ada lagi gairah, karena kelelahan ekstrim tak bertepi.
Namun, bukannya memahami, laki-laki itu mengeluarkan jurus andalannya–dengan ancaman seolah-olah dunia dan akhirat berada dalam genggam tangannya, “Kamu udah gak peduli sama kebutuhanku, ya? Gak papa kalo aku nyari di luar? Mau dilaknat malaikat?” Bunga merasa semakin dikecilkan. Padahal, dia hanya sedang lelah. Tapi kenapa lelahnya selalu dianggap dosa? Kenapa penolakan kecil itu membuatnya seolah melanggar janji sakral?
Berulang kali Bunga coba menjelaskan, bahwa seks seharusnya menjadi ruang berbagi cinta, keintiman, dan kebahagiaan. Ia bukanlah tugas, bukan juga kewajiban sepihak. Karena Bunga ingin merasa diinginkan, bukan ditagih. Tapi, setiap kali perempuan itu menyampaikan, yang didapat hanyalah ceramah khas patriarki.
Suaminya berkali-kali mengingatkan bahwa setelah menikah, restu orang tua itu beralih ke restu suami. Bahwa ketaatan itu juga mencakup ke ranah paling intim. Sebagai imam, sudah kewajibannya juga mengingatkan istri tentang azab menolak ajakan suami.
Dikutipnya hadis yang sama, berulang kali, “Dilaknat malaikat hingga pagi hari.” sampai Bunga hafal di luar kepala. Diperkuat lagi dengan teori lama tentang otak laki-laki yang katanya penuh urusan seks. Seakan-akan itu adalah kebenaran yang tak bisa dibantah.
Kalau sudah begini, Bunga sering kali terpaksa bungkam. Kalimat demi kalimat yang dilontarkan sang suami seperti garis tak terlihat yang mengiring tubuhnya tunduk. Bahwa hasratnya kini bukan miliknya sendiri, dan energinya bisa diabaikan demi “kemaslahatan” rumah tangga.
Sebenarnya, Bunga bisa saja membantah. Bisa saja dia sampaikan teori itu sudah banyak terbantahkan. Tapi sering kali keinginan itu dia kubur rapat-rapat. Bunga sudah tak punya tenaga. Jadi dia simpan saja semuanya dalam diam, dalam tubuhnya sendiri yang terus dituntut memberi, tapi jarang sekali diminta bicara.
Mitos Kebutuhan Seksual Laki-laki
Bunga teringat, ia pernah membaca penelitian dari sebuah universitas di luar negeri, Ohio State University. Isinya hampir bertolak belakang dengan teori yang selama ini ia dengar dari hampir semua orang di sekitarnya. Isinya mengatakan laki-laki tak selalu lebih sering memikirkan seks dibanding perempuan. Itu semua tergantung pada seseorang memaknai seks, bukan jenis kelaminnya.
Selama ini, hampir semua orang di sekitarnya, mengatakan bahwa laki-laki adalah pusat dari seks itu sendiri. Sementara Bunga pernah sekali terpikir kenapa perempuan seperti dirinya tak dianggap punya kebutuhan? Kenapa hanya laki-laki yang disebut “pusing” jika tidak terpenuhi, sementara ia hanya dianggap “alasan”? Bunga mulai curiga, jangan-jangan “pusing” itu bukanlah fakta biologis, tapi produk dari harapan terhadap maskulinitas yang terlalu sempit.
Pertanyaan itu terus menghantui Bunga. Batinnya bertarung antara rasa bersalah dan dilema. Di satu sisi Bunga mencintai suaminya dan tidak ingin dicap sebagai istri durhaka, namun di sisi lain Bunga juga mempunyai kebutuhan untuk dirinya sendiri. Bukankah Bunga juga manusia sama seperti suaminya yang mempunyai kehendak, batasan, dan rasa lelah yang valid?
Tetapi dalam kehidupan rumah tangga Bunga justru merasa seperti sakelar lampu yang bisa diganti seenaknya. Ia juga seperti televisi yang terus dipaksa menyala, dipaksa menghibur dan hanya menjadi objek dari penontonnya. Walaupun sudah merasa lelah. Tapi toh, dia memang selalu diabaikan, karena itu sudah jadi ‘tugas’ dan ‘kewajibannya’.
Dan, sayangnya, Bunga lebih sering mengalah pada keadaan. Banyak dari pilihannya yang diambil berasal dari kepasrahan akan takdir kehidupan. Yang memang tak memberinya banyak ruang untuk memilih. Pada akhirnya, Bunga kehilangan kemampuan untuk mengatakan “ya” dengan tulus atau “tidak” tanpa dibebani rasa bersalah.
Wujud Keintiman yang Setara
Bunga hanya bisa berharap, semoga perempuan-perempuan lain yang mengalami hal serupa berani menyuarakan pengalamannya. Bahwa perasaan yang dia alami bukanlah sekadar drama rumah tangga, melainkan cerminan telanjang bagaimana patriarki telah menorehkan luka sosial dalam ikatan pernikahan yang sakral. Hingga perempuan merasa terasing dari tubuhnya.
Dalam benaknya, Bunga selalu bermimpi: semoga akan ada lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berbicara, didengar, dan dipahami. Karena kisahnya adalah sebenar-benarnya ekspektasi usang yang perlu dibongkar matang-matang. Sebab relasi perlu dibangun dengan sehat; bahwa kebutuhan seksual perempuan seperti Bunga juga layak divalidasi, dan dihargai persetujuannya. Juga, dibantukan dalam setiap prosesnya.
Bukankah lebih baik jika beban domestik dibagi secara adil? Agar perempuan seperti dirinya juga memiliki ruang untuk diri sendiri, merawat tubuh dan jiwanya. Agar keintiman bisa lahir dari kehadiran yang utuh, bukan dari tubuh yang separuhnya dipaksa mengalah.
Karena sesungguhnya, kisah Bunga memperlihatkan; di balik pintu rumah yang damai, sering kali ada medan perang sunyi. Tempat perempuan bertarung dengan akal, tubuh, hasrat, dan doktrin sosial yang sejak lama menempatkannya dalam posisi mengalah. Kalau boleh, Bunga ingin mengajukan pertanyaan: Sudahkah kita benar-benar mendengar jeritan di balik senyum lelah itu, atau kita masih terpaku pada norma-norma lama yang memenjarakan?
Jundi
Ketika kata taat di jadikan senjata untuk memenuhi semua kebutuhan laki2.Ketika istri di peluk ketika dibutuhkan saja.