Menolak Lupa: Rekomendasi Buku untuk Menyuarakan Ingatan Kolektif Tragedi 1998
Mei adalah bulan untuk merawat ingatan. Karena, Indonesia harus diingatkan kembali pada luka kolektif yang belum sepenuhnya sembuh, yaitu tragedi Mei 1998. Rangkaian kerusuhan, kekerasan rasial, penculikan aktivis, dan pelanggaran hak asasi manusia menuju Reformasi adalah sejarah kelam yang tak boleh dilupakan. Sudah lebih dari dua dekade, namun suara-suara korban dan keluarganya masih menggema, menuntut keadilan yang tak kunjung datang.
Di tengah upaya pengaburan sejarah sebenarnya, kita perlu menjaga ingatan dan meneruskan perjuangan. Salah satunya melalui buku fiksi maupun nonfiksi, sebagai ruang alternatif pendokumentasian sejarah, menyampaikan kesaksian, dan menghidupkan kembali diskusi publik. Karena kini, sejarah yang asli jarang tertulis dalam buku sekolah. Maka, buku-buku ini hadir sebagai alternatif merawat ingatan. Sehingga, membaca buku di bulan Mei juga bentuk perlawanan menolak lupa. Berikut adalah enam buku yang wajib dibaca.
1. Laut Bercerita – Leila S. Chudori
Leila S. Chudori menghadirkan narasi yang kuat tentang hilangnya para aktivis dalam pusaran kekerasan negara menjelang Reformasi. Melalui tokoh fiksi Biru Laut, seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan pro-demokrasi, Laut Bercerita menggambarkan penderitaan para aktivis yang diculik dan disiksa di tempat-tempat tak dikenal. Yang membuat novel ini begitu menyentuh adalah pendekatannya yang humanis, karena ia tak hanya menggambarkan aktivis sebagai tokoh politik, tetapi sebagai manusia biasa yang punya keluarga, sahabat, dan cinta.
Di babak kedua, novel ini diceritakan lewat sudut pandang adik Laut, Asmara Jati. Ia menggambarkan trauma keluarga korban penculikan yang tak pernah mendapat kejelasan tentang nasib orang yang mereka cintai. Laut Bercerita bukan sekadar novel sejarah, tetapi juga kesaksian atas luka dan kehilangan yang dialami oleh banyak keluarga Indonesia pada 1998. Buku ini menjadi pengingat bahwa reformasi tak hanya lahir dari politik, tetapi juga dari pengorbanan pribadi yang tak terhitung jumlahnya.
2. Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman – Afifah Afra
Dalam Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman, Afifah Afra membawa pembaca menyelami tragedi Mei 1998 dari perspektif perempuan Tionghoa. Tokoh utamanya, Mei Hwa, adalah penyintas kekerasan seksual yang kehilangan keluarganya dalam kerusuhan rasial di Jakarta. Novel ini tidak hanya mengangkat aspek historis, tetapi juga memperlihatkan bagaimana identitas, trauma, dan ketidakadilan terus membekas bahkan bertahun-tahun setelah tragedi terjadi.
Apa yang membuat buku ini penting adalah keberaniannya untuk membicarakan isu yang selama ini dianggap tabu: kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan. Dalam sejarah resmi, isu ini seringkali diabaikan, bahkan disangkal. Namun melalui fiksi, Mei Hwa menjadi suara bagi mereka yang selama ini dibungkam. Sehingga, ini adalah bacaan penting untuk memahami kompleksitas kekerasan berbasis gender dan etnis dalam konteks sejarah Indonesia.
Baca juga: Kerusuhan Mei 1998: Luka Sejarah dan Ketegangan Rasial yang Disederhanakan
3. Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 – Muhidin M. Dahlan
Berbeda dengan karya fiksi, buku ini adalah dokumentasi sejarah yang menyajikan data dan kronologi penculikan aktivis secara mendalam. Muhidin M. Dahlan menyusun arsip-arsip penting, testimoni, dan laporan media yang merekam bagaimana negara menggunakan aparatnya untuk membungkam suara-suara kritis menjelang kejatuhan Soeharto.
Melalui buku ini, kita dapat memahami bagaimana kekuasaan bekerja secara represif, dan bagaimana gerakan mahasiswa menghadapi risiko nyata dalam memperjuangkan demokrasi. Buku ini juga menunjukkan bagaimana pelanggaran hak asasi manusia sering dibungkus dalam narasi “penertiban” atau “stabilitas negara”. Dengan membaca buku ini, kita diajak tidak menerima begitu saja versi resmi sejarah, dan mulai menggali perspektif korban dan penyintas.
4. Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah – Naning Pranoto
Dalam Mei Merah 1998, Naning Pranoto memilih sudut pandang yang tak biasa, yaitu arwah korban kekerasan seksual yang bercerita tentang hidup dan kematiannya. Kisah ini kemudian bersinggungan dengan perjalanan anaknya yang mencari jati diri dan mencoba memahami sejarah ibunya. Buku ini menghadirkan dimensi spiritual dan psikologis dalam tragedi 1998 yang jarang dibicarakan.
Naning Pranoto berhasil menghadirkan suara-suara yang tak bisa lagi berbicara karena kematian. Melalui pendekatan metaforis, novel ini menantang kita untuk merenungkan ulang makna keadilan dan ingatan. Ini adalah karya fiksi yang penuh empati, dan sangat relevan untuk memahami dampak panjang dari kekerasan negara terhadap individu dan keluarga mereka.
5. Lelaki di Tengah Hujan – Wenri Wanhar
Novel ini membawa kita ke suasana kampus dan jalanan, tempat para mahasiswa merumuskan strategi dan idealisme mereka untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Lelaki di Tengah Hujan adalah potret kehidupan anak muda Indonesia tahun 1998 yang penuh semangat, tetapi juga diliputi ketakutan dan ketidakpastian. Dibalut dalam kisah persahabatan dan cinta, buku ini memperlihatkan bahwa perjuangan tidak selalu bersifat heroik, tetapi juga rapuh dan personal.
Bagi generasi muda yang tidak mengalami langsung masa reformasi, novel ini bisa menjadi pintu masuk untuk memahami atmosfer sosial-politik menjelang kejatuhan Soeharto. Ia memberi wajah pada sosok yang kerap dipandang sebatas angka oleh negara; mahasiswa, aktivis, dan rakyat biasa. Mereka semua turun ke jalan bukan karena mereka ingin menjadi pahlawan, tetapi karena tak ingin hidup dalam ketakutan lagi.
6. Pasung Jiwa – Okky Madasari
Okky Madasari dikenal sebagai penulis yang konsisten mengangkat tema kebebasan, ketidakadilan, dan pembungkaman dalam karyanya. Dalam Pasung Jiwa, ia menggambarkan bagaimana kekuasaan politik dan sosial mengontrol identitas individu. Walau tidak secara eksplisit mengambil latar tahun 1998, atmosfer represif dan ketakutan yang digambarkan dalam novel ini sangat relevan dengan konteks Indonesia menjelang reformasi.
Tokoh utama dalam novel ini adalah Sakti, yang hidupnya selalu dibatasi oleh norma, kekuasaan, dan stigma. Dalam banyak hal, ia mewakili suara-suara yang terbungkam pada masa Orde Baru. Novel ini adalah refleksi atas bagaimana kekuasaan bukan hanya menindas melalui senjata, tetapi juga melalui norma, agama, dan moralitas.
Baca juga: Menolak Lupa Kekerasan dan Femisida di Bulan Mei 1998
Melawan Lupa, Menjaga Ingatan
Mengakhiri Mei dengan membaca buku-buku tentang atau berlatar 1998 bukan hanya bentuk refleksi, tetapi juga tindakan politik. Di tengah arus deras pelupaan, revisi sejarah, rezim yang ingin membangkitkan kembali orde baru dan banalitas media sosial, menjaga ingatan kolektif adalah tanggung jawab moral setiap warga negara.
Buku-buku ini adalah pengingat bahwa negara masih belum mengakui dan menyelesaikan pelanggaran HAM. Melalui membaca, kita tak hanya mengenang, tetapi juga meneruskan tujuan perjuangan. Karena membaca adalah upaya mengingat kembali keadilan yang belum selesai, untuk suara-suara yang masih dibungkam, dan untuk masa depan Indonesia yang benar-benar merdeka.

Social Media Kami