Menjawab Stigma “Feminazi” dan “Radikal” yang Melekat pada Gerakan Feminisme
Setiap melihat diskursus gender war di X, saya kerap menemukan komentar yang melabeli orang sebagai “feminazi” atau “radikal”. Terlebih, jika ia vokal soal hak-hak perempuan. Masyhurnya penggunaan term ini membuat saya terganggu. Sebab, ia digunakan untuk mendiskreditkan gerakan feminisme, dengan mengasosiasikan feminis dengan ekstremisme atau kebencian terhadap laki-laki.
Istilah “feminazi” ini memposisikan feminisme dengan ideologi fasis–yang penuh dengan kekerasan dan penindasan. Padahal, feminisme jauh dari apa yang dilakukan nazi. Namun, tak peduli siapa yang berbicara atau seberapa valid argumennya, begitu seorang perempuan menunjukkan keberanian untuk bersuara, label-label itu datang lebih cepat dari logika.
“Feminazi” yang Merendahkan Perjuangan Feminisme
Istilah “Feminazi” pertama kali dikenalkan Rush Limbaugh, seorang komentator konservatif asal Amerika. Ia menggunakan istilah ini untuk merendahkan kaum feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan, khususnya feminis yang memilih pro-choice dalam isu aborsi.
Term yang cukup provokatif ini, sebenarnya merupakan bentuk penghinaan yang disengaja untuk menggambarkan feminis sebagai kelompok ‘radikal’ (yang mereka maksud ekstrem) dan penuh kebencian. Padahal, tujuan dasar dari feminisme itu adalah kesetaraan, bukan penindasan kepada laki-laki yang sering disalahartikan.
Baca Juga: Potret Pembatik Perempuan di Lereng Gunung Ungaran
Namun, fenomena ini juga dapat dilihat sebagai backlash. Susan Faludi dalam Backlash: The Undeclared War Against American Women (1991) menyebut backlash sebagai serangan balik terhadap pencapaian feminisme yang dianggap terlalu banyak tuntutan. Di tengah naiknya gerakan perempuan, reaksi konservatif datang sebagai usaha sistematis untuk menyeret perempuan kembali ke “tempatnya”.
Begitu pula dengan kata “feminazi” yang kemudian menjadi senjata kultural. Yang kini, hadir bukan hanya untuk menghina, tapi juga untuk mendiskreditkan siapa pun yang berani bersuara lantang soal ketidakadilan.
Feminis Radikal? Padahal, Gerakan Kami Tak Tunggal
Selain “feminazi”, istilah lain yang sering dipakai untuk mendiskreditkan perjuangan perempuan adalah “feminis radikal”. Namun, sayangnya, mereka seperti tak memahami apa makna kata ‘radikal’ itu sendiri. Padahal, radikal memiliki makna yang sangat mendalam, yaitu kembali ke akar persoalan guna membongkar sistem sampai ke fondasi paling dasar.
Sebagai seorang feminis, kami selalu dituntut untuk kritis, bertanya, dan berpihak pada yang tertindas; menggunakan akal dan hati sebagai pijakan utama. Sebab, merekalah yang menjadi korban paling terdampak dari sistem yang dibuat orang-orang berkuasa. Oleh karenanya, jika merujuk pada definisi ‘radikal’ di atas, upaya transformasi seorang feminis memang harus radikal.
Tak hanya itu, ‘radikal’ kerap dilekatkan pada perjuangan yang mengarah pada gerakan barat. Bentuknya perjuangannya pun dianggap sama rata. Padahal, jika merujuk pada sejarah feminisme radikal itu sendiri, mereka hadir guna mengkritik feminisme liberal. Saat itu, mereka hanya mengupayakan reformasi sistemik, seperti kesetaraan hukum dan politik. Namun lupa bahwa tubuh perempuan juga mengalami penindasan.
Aspek yang dikritik para feminis radikal adalah penindasan terhadap seksualitas, motherhood, dan reproduksi (hamil, melahirkan) perempuan. Mereka sering disalahpahami karena pendekatannya yang memang lebih direct dan vokal. Karena tubuh adalah akar eksistensi perempuan, maka perjuangan ini pun dilakukan secara radikal. Alasannya? untuk membongkar persoalan dari akarnya.
Feminis radikal di Indonesia pun memiliki fokus yang sangat khas. Salah satu isu penting yang diangkat adalah femisida, yaitu pembunuhan perempuan karena gendernya. Banyak kasus terjadi karena penolakan cinta atau kekerasan dalam relasi, tapi jarang diakui sebagai kejahatan sistemik. Karenanya, mereka berjuang agar tubuh perempuan dihargai, bukan dikontrol atau dimiliki.
Posfeminisme: Dari Gerakan Kolektif ke Individu
Jika orang-orang bertanya, mengapa feminis sekarang seperti berada di koridor yang berbeda? Mengapa tiap orang membawa masalahnya masing-masing untuk didebatkan? Jawabannya adalah karena kini kita berada di era posfeminisme. Ketika banyak hak formal perempuan dianggap sudah diperoleh, seperti bersekolah, bekerja, dan hak memilih. Karenanya, muncul pertanyaan: masihkah kita perlu menjadi feminis?
Baca Juga: Triple Roles Perempuan Bali: Realitas yang Dibalut oleh Budaya Patriarki
Dalam Postfeminism(s) and the Arrival of the Fourth Wave (2017), Nicola Rivers menyebut bahwa posfeminisme sering dibingkai sebagai masa pasca-perjuangan. Ketika, isu-isu struktural digeser jadi urusan personal sehingga hal ini menimbulkan ketegangan dalam gerakan. Misalnya, pemberdayaan perempuan sering disederhanakan menjadi kebebasan memilih produk, gaya hidup, atau “perempuan mandiri” yang bisa membeli apa pun tanpa laki-laki.
Akhirnya, feminisme hadir hanya sebagai personal branding, bukan gerakan sosial. Padahal, seperti dikritisi Rivers, pendekatan ini bisa membuat feminisme kehilangan urgensi politisnya karena ketimpangan struktural tak mampu dilawan dengan pilihan individu saja. Feminisme sejatinya memastikan semua perempuan dan kelompok marginal, terlepas dari kelas, ras, dan lokasi, punya akses yang setara.
Tapi, penting juga diingat bahwa feminisme memang tumbuh lewat perdebatan internal. Para feminis dari generasi ke generasi selalu saling mengkritik. Dari feminis klasik seperti Mary Wollstonecraft atau Simone de Beauvoir, sampai ke feminis kontemporer seperti bell hooks, hingga Chimamanda Ngozi Adichie–mereka saling mengoreksi, memperluas, dan menyempurnakan makna perjuangan. Jadi, kritik Rivers terhadap gerakan feminis kontemporer tidak salah.
Dan, upaya yang mereka lakukan bukan berarti feminis terpecah belah. Tapi, mengindikasikan bahwa feminisme adalah gerakan yang terus relevan dengan zaman. Jadi, kalau ada feminis yang saling berdebat, itu adalah tanda berkobarnya api gerakan ini. Sebab kritik dalam feminisme adalah bagian dari cinta dan tanggung jawab untuk menjaga agar ia tak elitis dan stagnan.
Kenapa Label Itu Berbahaya (dan Siapa yang Diuntungkan)?
Namun, label-label di atas memiliki dampak yang lebih dalam sehingga membuat banyak perempuan enggan mengidentifikasi diri sebagai feminis. Padahal dalam praktiknya, mereka mungkin sudah mendukung nilai-nilai feminisme, seperti kesetaraan, penolakan terhadap kekerasan, serta penghormatan atas pilihan dan tubuh perempuan. Namun, karena istilah “feminisme” sudah dibungkus dengan stigma, banyak yang akhirnya memilih diam atau menjauhinya.
Ketika sebuah gerakan diserang melalui label negatif, fokus publik cenderung akan bergeser dari isi perjuangan ke gaya komunikasinya. Perempuan yang bicara tegas dianggap emosional atau perempuan yang mengkritik sistem dianggap membenci laki-laki. Akibatnya, esensi perjuangan tidak lagi terdengar, karena yang dibicarakan hanya soal caranya menyuarakan, bukan substansinya.
Lagi-lagi Faludi mengingatkan bahwa setiap kemajuan perempuan hampir selalu diikuti dengan gelombang balik yang mencoba menggagalkannya. Salah satu bentuk backlash itu adalah upaya melemahkan kredibilitas gerakan perempuan dengan label sinis. Ia bekerja sebagai mekanisme yang membuat status quo tetap nyaman.
Baca Juga: Sydney Sweeney dalam Bayang-bayang Gaze yang Membelenggu
Namun, di tengah kenyataan itu, saya juga merasa perlu untuk berefleksi. Mungkin, sebagai bagian dari gerakan feminis, kami juga masih perlu mengembangkan strategi komunikasi yang lebih membumi. Mungkin kami belum cukup menjelaskan bahwa feminisme bukanlah gerakan yang ingin mendominasi, melainkan menyeimbangkan. Bahwa kemarahan dalam feminisme bukan soal kebencian, tetapi karena cinta yang besar terhadap keadilan dan kemanusiaan.
Sebagai feminis, saya tidak sedang menjaga identitas untuk kelompok tertentu. Justru, saya ingin membuka feminisme yang inklusif, agar semakin banyak orang paham bahwa feminisme bukanlah suatu ancaman. Ia adalah gerakan yang lahir dari kesadaran bahwa hidup yang adil bukan hanya baik untuk perempuan, tapi untuk semua orang. Karena keadilan, seharusnya tidak pernah menjadi sesuatu yang menakutkan untuk diperjuangkan.
Ps. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam feminisme secara periodik, saya menyarankan kalian untuk membaca Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (6th Edition) (2024) karya Rosemarie Tong dan Tina Fernandes Botts. :)

Social Media Kami