Mansplaining: Ketika Suara Perempuan Kurang Didengar
Prok! Prok! Prok!
Suara tepuk tangan menggelegar seisi ruangan kelas. Bersamaan dengan sahut-sahutan penduduk kelas bersorak sorai menyambut opini salah satu murid laki-laki yang terdengar “keren”. Sekilas saya dengar teman perempuan saya bersorak menyanjung namanya sambil bilang bahwa ia keren.
Saat itu saya hanya melihat teman-teman sekelas riang bertepuk tangan. Rasanya agak sebal, karena opini yang baru saja diutarakan teman saya hanya mengulang dan menjiplak apa yang saya sampaikan sebelumnya. Tak lama kemudian saya mencoba berpikir, “Ah, hal itu memang biasa terjadi, kali.” Mencoba untuk tenang dengan tidak memikirkan hal-hal yang perlu dikesali.
Namun, lama-lama saya resah juga. Mengapa seringkali suara perempuan yang bicara di publik tidak ikut disorot dan disanjung layaknya suara laki-laki? Pikiran ini muncul setelah saya beberapa kali mengalami hal-hal serupa di tempat sesederhana ruang kelas.
Lama tidak memikirkan hal tersebut, saya menemukan sedikit curhatan dari postingan Instagram Bivitri Susanti, seorang akademisi dan pakar hukum tata negara. Rupanya, ia juga sering mengalami hal yang sama. Dalam takarirnya, ia menulis, “Kadang argumen yang baik bisa dianggap remeh karena yang bicara perempuan. Beberapa kali, saya berbicara satu hal lalu ada laki-laki yang mengulang argumen saya, tapi yang dijadikan acuan argumen orang itu. Semata karena yang dianggap “harusnya” berdebat dan pintar itu laki-laki.”
Dari situlah, saya berkenalan dengan fenomena “Mansplaining”. Hal ini terjadi ketika seorang laki-laki menjelaskan sesuatu atau melakukan sesuatu dengan cara yang terlalu mendominasi. Hal itu juga dapat menimbulkan perilaku yang merendahkan perempuan, hanya karena laki-laki terlihat lebih dominan.
Hal ini mungkin setidaknya pernah terbesit di pikiran beberapa perempuan, walau sekali. Karena kejadian seperti ini banyak terjadi di lingkungan kita.
Setelah saya mencari tahu lebih banyak, banyak pro kontra antar gender dalam diskursus mengenai hal ini. Melalui pengalamannya di media sosial, Kim Goodwin merangkum berbagai opini masyarakat ke dalam tulisan artikelnya di BBC.com. Setelah ia mengunggah diagram untuk mengetahui perilaku mansplaining, cuitannya mendapat banyak reaksi dari netizen media sosial X.

Diagram di atas adalah panduan untuk mengetahui jika sikap seseorang termasuk mansplaining atau tidak. Pada akhirnya, diagram ini berlaku untuk siapa saja, tidak terbatas gendernya. Namun, bukan berarti siapa pun bisa saling merendahkan dengan adanya fenomena ini.
Saya sempat berpikir, bagaimana bisa fenomena ini dibiarkan jadi kebiasaan? Dari mana asalnya?
Sebetulnya tidak perlu membuang banyak waktu untuk berpikir dari mana asalnya hal ini terjadi, karena setiap perbuatan yang merugikan perempuan asalnya dari sifat patriarki yang mengakar di pemikiran masyarakat kita.
Tentunya, diskursus ini menuai banyak pro kontra dari berbagai sudut pandang. Banyak perempuan yang merasa resah terhadap sikap tersebut. Namun sebaliknya, dari sudut pandang laki-laki, banyak pula yang beranggapan bahwa sikap mansplaining sudah umum dilakukan.
Perlu dipahami bahwa mansplaining hanya terjadi jika seorang laki-laki ingin terlihat mendominasi, bisa dengan mengulang argumen lawan bicaranya, bisa juga dengan merasa perlu menjelaskan sesuatu lebih banyak kepada perempuan. Ketika mendengar kesengajaan laki-laki dalam mendominasi, rasanya akan berbeda dengan laki-laki yang betul-betul memahami alur komunikasi atau menghargai ruang diskusi secara setara.
Di lingkungan saya, pengalaman serupa tidak hanya terjadi kepada saya. Kawan-kawan sejawat, sekelas, bahkan sekelompok organisasi saya pun kerap kali mengalaminya. Beberapa kali saya mendengar keluhan mereka yang merasa pendapatnya kurang dihargai hanya karena orang lain “tidak percaya” dengan pendapat mereka.
Sebagai teman senasib, saya memahami betul perasaan kawan-kawan saya. Padahal, sebagai sesama mahasiswa dan anggota organisasi, kami sama-sama belajar banyak hal untuk berkembang. Tetapi, jika dalam praktiknya komunikasi seperti itu terus dipertahankan, maka akan membentuk lingkungan yang tidak mendukung kami untuk berkembang.
Mansplaining mengakibatkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan sosial. Adanya perilaku tersebut membuat interaksi yang tidak sehat antar gender. Maksudnya, dengan terbiasa dalam menanamkan pikiran untuk menerima argumen laki-laki saja akan mendorong wujud ketidaksetaraan gender.
Lainnya, adanya mansplaining juga memunculkan rasa kurang dihargai dalam suatu forum. Jika kebiasaan ini selalu dimaklumkan, akan menghambat pola komunikasi yang tumbuh dalam suatu forum atau kelompok.
Ada baiknya setiap orang dapat menumbuhkan dan menjaga rasa menghargai satu sama lain. Setelahnya, edukasi tentang kesetaraan gender mulai diajarkan secara bertahap untuk sadar dan memahami akar masalah penyanjungan pendapat, argumen, atau opini dari gender tertentu bukanlah hal yang perlu dinormalisasi.
Perempuan di ruang publik bukanlah pengalaman baru. Kami, kita, mereka semua juga berhak memiliki ruang untuk menyalurkan ide yang setara. Argumen baik tetaplah argumen baik tanpa perlu melihat penampilan orang yang menyampaikan. Kita sebagai perempuan punya hak dan kebebasan yang sama dengan yang lain untuk belajar, menjadi pintar, dan bersuara.

Social Media Kami