Tulisan Kawan
Monday, 07 April 2025
0
59
Antara Perempuan, Pendidikan, dan Mahar: Apakah Perempuan Masih Dianggap sebagai Komoditas?
Perjuangan perempuan untuk meraih kebebasan dan kesetaraan belum sepenuhnya usai. Meskipun tokoh-tokoh perempuan seperti R. A. Kartini, Dewi Sartika, dan Cut Nyak Dien telah membuka jalan dan mengangkat martabat perempuan untuk terlibat dalam berbagai bidang kehidupan, nyatanya perempuan modern masih harus berjuang melawan belenggu budaya patriarki yang mengikat. Salah satu bentuk pengekangan itu terlihat dari cara masyarakat memandang perempuan berpendidikan tinggi melalui lensa nilai mahar.
Pendidikan Tinggi sebagai Alat Pemberdayaan Perempuan
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi alat pemberdayaan bagi perempuan untuk meraih kemandirian dan kebebasan. Melalui pendidikan, perempuan tidak hanya memperoleh pengetahuan, tetapi juga kepercayaan diri untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Mereka bisa mengejar karier, berkontribusi pada masyarakat, dan menjadi agen perubahan dalam lingkungannya.
Namun, dalam masyarakat patriarki, pendidikan tinggi sering dianggap sebagai ancaman. Perempuan yang berpendidikan tinggi dianggap “sulit diatur” atau “terlalu mandiri,” sehingga nilai mahar mereka pun dinilai lebih tinggi sebagai bentuk “kompensasi” atas kemandirian tersebut. Padahal, seharusnya pendidikan tinggi menjadi bukti bahwa perempuan memiliki nilai lebih, bukan hanya sekadar objek yang dinilai berdasarkan mahar.
Benturan antara Pendidikan Tinggi dan Nilai Mahar
Benturan antara pendidikan tinggi dan nilai mahar terjadi ketika perempuan berusaha keluar dari norma-norma tradisional yang membatasi mereka. Di satu sisi, perempuan berpendidikan tinggi ingin dihargai berdasarkan prestasi dan kemandirian mereka. Di sisi lain, masyarakat patriarki masih memandang mereka melalui lensa tradisional, di mana nilai mahar menjadi ukuran utama.
Dampak dari benturan ini sangat luas. Perempuan seringkali terjebak dalam dilema: menuruti harapan keluarga dan masyarakat, atau mengejar kebebasan dan kemandirian. Tidak jarang, mereka yang memilih untuk menolak tradisi mahar tinggi dihadapkan pada stigma dan tekanan sosial. Hal ini tidak hanya merugikan perempuan secara individu, tetapi juga menghambat kemajuan masyarakat secara keseluruhan.
Perempuan yang berhasil meraih pendidikan dan prestasi gemilang justru dihadapkan pada stereotip seperti, “Perempuan dengan pendidikan tinggi makin susah dapat jodoh,” “Perempuan yang punya gelar, pasti maharnya tinggi,” atau “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya kembali ke dapur?”. Penulis sendiri pernah merasakan langsung tekanan semacam ini, di mana pendidikan tinggi seolah menjadi beban, bukan kebanggaan bahkan tidak diapresiasi. Perspektif seperti ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga memicu persoalan lain yang terus menyudutkan posisi mereka. Perempuan seolah-olah selalu menjadi ancaman yang harus diwaspadai, bukan mitra yang setara.
Dalam masyarakat patriarki, perempuan berpendidikan tinggi sering dipandang hanya melalui nilai mahar, seolah harga diri mereka ditentukan oleh seberapa besar mahar yang bisa mereka bawa ke pelaminan. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi kebanggaan, bukan sesuatu yang justru mengurangi nilai mereka di mata calon suami. Seharusnya entitas nilai mahar dikembalikan pada nilai adat yang sebenarnya, bukan sebagai ajang untuk “membeli perempuan” karena latar belakang pendidikannya.
Perempuan sering dihadapkan pada situasi yang sulit. Di masyarakat, ada anggapan bahwa perempuan yang tidak mendapat kesempatan pendidikan yang sama sering dianggap "tidak masalah jika diberi mahar dengan nilai kecil". Sebaliknya, perempuan yang berpendidikan tinggi dianggap "maharnya pasti mahal". Pandangan seperti ini harus menjadi perhatian bersama agar perempuan tidak lagi diobjektifikasi hanya karena masalah mahar yang terkesan membatasi dan mengatur. Perempuan berhak menentukan nasibnya sendiri. Pendidikan tinggi yang diraih bukanlah ajang untuk membandingkan, bukan juga sebagai tolak ukur nilai mahar baik itu mahal atau murah. Setiap perjuangan perempuan adalah bentuk penghargaan terhadap dirinya sendiri, bukan untuk dinilai dengan angka atau label tertentu. Seharusnya perlakuan terhadap perempuan sama di mata adat, karena semua perempuan punya nilai dan martabat yang harus dihargai.
Mahar dalam Budaya Patriarki
Mahar, dalam banyak budaya patriarki, bukan sekadar simbol penghormatan atau pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan. Lebih dari itu, mahar sering kali menjadi alat untuk mengukuhkan dominasi laki-laki dan mengontrol perempuan. Dalam sistem patriarki, mahar dipandang sebagai “harga” yang harus dibayar untuk “memiliki” seorang perempuan. Nilai mahar yang tinggi sering dianggap sebagai cerminan status sosial keluarga perempuan, tetapi dibalik itu, ia juga menjadi beban yang membatasi kebebasan perempuan.
Mahar juga menjadi penanda bahwa perempuan masih dipandang sebagai objek, bukan subjek yang memiliki hak atas dirinya sendiri. Dalam konteks ini, perempuan berpendidikan tinggi sering dihadapkan pada dilema: apakah mereka harus menuruti tradisi yang menuntut mahar tinggi, atau menolak dan dianggap melawan budaya yang berlaku?
Kembalikan Nilai Mahar pada Budaya Sebenarnya
Mahar (disebut juga maskawin) berasal dari bahasa Arab "mahr" atau "mahram", yang secara harfiah berarti "pemberian wajib". Dalam konteks pernikahan, mahar adalah pemberian dari calon suami kepada calon istri sebagai bentuk komitmen dan ketulusan hati. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maskawin adalah pemberian pihak pengantin laki-laki (misalnya emas, barang, kitab suci) kepada pengantin perempuan pada waktu akad nikah, dapat diberikan secara kontan ataupun secara utang. Salah satu daerah yang menerapkan tradisi perkawinan adat dengan mahar adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Di NTT, mahar dikenal dengan istilah "belis" dan memiliki peran sentral dalam pernikahan adat. Beberapa fungsi belis antara lain: Penentu Keabsahan Pernikahan – Tanpa belis, pernikahan dianggap belum sah secara adat. Penghargaan kepada Perempuan dan Keluarganya – Belis menjadi simbol penghormatan kepada mempelai perempuan dan orang tuanya, terutama sebagai pengakuan atas pengorbanan ibu yang telah membesarkannya ("air susu ibu"). Pengikat Hubungan Antar-Keluarga – Proses pemberian belis mempererat ikatan antara keluarga mempelai laki-laki dan perempuan. Transisi Status Perempuan – Belis menandai perpindahan perempuan dari keluarga asalnya ke keluarga suami.
Bagi masyarakat NTT, belis bukan sekadar tradisi simbolis, melainkan memiliki nilai budaya yang mendalam: Pelestarian Adat – Belis menjadi bagian dari upacara yang telah turun-temurun dilestarikan. Penghargaan Martabat Perempuan – Pemberian belis mengangkat derajat perempuan, menunjukkan bahwa pernikahan bukan hanya urusan individu, tetapi juga melibatkan dua keluarga. Bukan Sekadar Materi – Meski berupa barang atau hewan ternak, esensi belis terletak pada makna di balik pemberiannya, bukan pada nilai ekonomis semata. Mahar (atau belis) dalam masyarakat NTT bukan hanya syarat pernikahan, tetapi juga wujud penghormatan, ikatan sosial, dan warisan budaya yang terus dijaga relevansinya hingga kini.
Dalam perkembangannya, praktik pemberian mahar (belis) telah mengalami komodifikasi yang mengubah esensinya secara fundamental. Nilai-nilai luhur yang semula melekat pada tradisi ini sebagai simbol penghormatan dan ikatan sosial, kini telah bergeser menjadi indikator status sosial yang bersifat materialistis. Berdasarkan penelitian Neonnub dan Habsari (2018), besaran belis saat ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti: (1) strata ekonomi keluarga perempuan dan (2) tingkat pendidikan calon mempelai perempuan. Fenomena ini mengindikasikan adanya transformasi makna dari nilai-nilai kearifan lokal menjadi praktik yang cenderung diskriminatif.
Dampak dari komersialisasi belis ini bersifat multidimensional. Pertama, terjadi objektifikasi perempuan yang semakin sistemik, dimana nilai seorang perempuan direduksi menjadi sekadar latar belakang keluarga dan prestasi akademiknya (Nursaptini et al., 2019). Kedua, muncul ketimpangan sosial yang signifikan, karena praktik ini memberatkan keluarga dari kalangan ekonomi lemah, sebagaimana diungkapkan dalam penelitian Santoso dkk. (2023). Ketiga, tekanan psikologis terhadap perempuan semakin meningkat, karena mereka dipaksa untuk mengejar pendidikan tinggi bukan untuk aktualisasi diri, melainkan sebagai strategi untuk meningkatkan nilai "jual" dalam pernikahan. Lebih lanjut, Ghazaly (2019) dalam kajian fikih munakahat-nya menegaskan bahwa esensi mahar dalam Islam seharusnya bersifat simbolik dan affordable, bukan menjadi beban materi yang memberatkan. Ironisnya, sebagaimana diamati Akbar (2024), praktik kontemporer justru mengubah pernikahan menjadi semacam transaksi ekonomi yang kompleks. Kondisi ini tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai agama, tetapi juga mengikis makna sakral dari institusi pernikahan itu sendiri.
Mahar harus dikembalikan pada esensi adat yang sebenarnya—sebagai simbol penghormatan, bukan alat transaksi yang mengobjektifikasi perempuan. Saat ini, praktik pemberian mahar sering disalahartikan sebagai 'harga' yang harus dibayar laki-laki untuk 'membeli perempuan', terutama jika perempuan berpendidikan tinggi. Hal ini justru menempatkan perempuan dalam posisi dilematis: di satu sisi, mahar seharusnya menjadi bentuk apresiasi, tetapi di sisi lain, ia berubah menjadi beban yang mengekang hak perempuan atas tubuh dan hidupnya sendiri. Pendidikan perempuan tidak boleh dijadikan alasan untuk menaikkan nilai mahar, seolah-olah gelar akademik adalah komoditas yang bisa diperjualbelikan. Justru, pendidikan seharusnya memampukan perempuan untuk mandiri dan menentukan pilihannya sendiri, termasuk dalam hal pernikahan. Masyarakat perlu menyadari bahwa mahar bukanlah tolak ukur status perempuan, melainkan wujud komitmen dan penghargaan sesuai nilai adat yang luhur. Jika mahar terus dipahami secara materialistis, maka tradisi ini hanya akan melanggengkan ketidaksetaraan. Saatnya kita menolak objektifikasi perempuan melalui mahar dan mengembalikannya pada makna aslinya: pemberian tulus yang tidak membebani, tetapi memuliakan.
Perjuangan perempuan yang memiliki pendidikan tinggi adalah cermin dari pertarungan antara tradisi dan modernitas. Perlu ditekankan bahwa perempuan berhak atas kehidupannya sendiri. Meraih pendidikan tinggi tidak semata-mata agar dinilai dengan mahar yang tinggi, tetapi untuk mencapai cita-cita yang akan menopang kehidupan masa depannya. Namun, setiap langkah yang mereka ambil menuju kesetaraan adalah bukti bahwa nilai mahar tidak boleh lagi menjadi penjara bagi kemajuan perempuan. Perempuan berpendidikan tinggi bukanlah ancaman, melainkan aset berharga bagi masyarakat. Sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap mahar dan perempuan, dari yang semula memandang mereka sebagai objek yang dinilai, menjadi subjek yang memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dengan demikian, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua.
Referensi
Akbar, S. (2024). Eksistensi Mahar dalam Perkawinan : antara Simbol Status Sosial dan Kewajiban Agama The Existence of Dowry in Marriage : Between Symbol of Social Status and Religious
Santoso, S., Hasanah, U., & Natassha, Y. (2023). TINJAUAN SOSIO-TEOLOGIS TERHADAP KONSEP. 4, 157–169.
Nursaptini, Sobri, Sutisna, Syazali, Widodo. (2019) Budaya Patriarki dan Akses Perempuan dalam Pendidikan, B. . AL-MAIYYAH. 12(2).
Ghazaly, H. Abdul Rahman. (2019). Fiqh munakahat. Prenada Media
Neonnub, F. I., & Habsari, N. T. (2018). Belis: Tradisi perkawinan masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengah Utara (Kajian historis dan budaya tahun 2000-2017). Jurnal Agastya, 8(1).

Maria Paskalia Aninda
Share On :
Previous Post
Langkah Kecil Menuju Perubahan: Peran Pendidikan dalam Gerakan Perempuan
Next Post
Social Media Kami